Khitan
1.
Sejarah
Khitan
Khitan
sudah dilakukan orang sejak ribuan tahun yang lalu. Dan riwayat yang paling kuat
menunjukkan bahwa khitan itu pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS,
sebagaimana riwayat berikut :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اخْتَتَنَ
اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ
بِالْقَدُوْمِ. البخارى 7: 143
Dari
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan
setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau khitan dengan menggunakan
kampak”.
[HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اخْتَتَنَ
اِبْرَاهِيْمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَ هُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً
بِالْقَدُوْمِ. مسلم 4: 1839
Dari
Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim 'AS berkhitan
saat beliau berusia delapan puluh tahun dengan menggunakan kampak". [HR.
Muslim juz 4, hal. 1839]
Keterangan
:
Kalau
dibaca bilqoduum, artinya “dengan
kampak”,
tetapi kalau dibaca bilqodduum, artinya “di
kota Qoddum”,
di daerah Syam.
Mulai
saat itulah khitan telah menjadi syari’at (peraturan) pada ummat Nabi Ibrahim
dan keturunannya. Nabi Muhammad SAW meneruskan syari’at itu untuk dilaksanakan
oleh ummatnya.
Telah
kita ketahui bahwa pokok-pokok ajaran yang telah disampaikan Allah kepada Nabi
Ibrahim AS pada umumnya diteruskan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW,
sehingga menjadi ajaran Islam.
Di
dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ
حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.
Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah”.
[QS. An-Nahl : 123]
Dari
perintah Allah tersebut maka banyak kita ketahui ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk ummatnya (ummat Islam), seperti ibadah hajji, qurban dan termasuk
khitan, meneruskan apa yang telah disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim
AS.
2.
Anjuran untuk berkhitan
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ،
اَلْخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ وَ
تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ. البخارى 7: 143
Dari
Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, :Fithrah itu ada lima : 1.
Khitan, 2. Mencukur rambut kemaluan, 3. Mencabut bulu ketiak, 4. Memotong kumis,
dan 5. Memotong kuku”.
[HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ اَوْ
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ، اْلخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ وَ تَقْلِيْمُ
اْلاَظْفَارِ وَ نَتْفُ اْلاِبِطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ. مسلم 1: 221
Dari
Abu Hurairah
dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Fithrah itu ada lima, atau lima hal termasuk
fithrah, yaitu : 1. khitan, 2. mencukur bulu kemaluan, 3. memotong kuku, 4.
mencabut bulu ketiak, dan 5. Memotong kumis”.
[HR. Muslim juz 1, hal. 221]
Keterangan
:
Fithrah,
bisa berarti sunnah, kebiasaan yang dilakukan oleh para Nabi, dan bisa pula
berarti Ad-Diin (agama).
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّهُ جَاءَ
اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَ: قَدْ اَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَلْقِ
عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ. يَقُوْلُ احْلِقْ. قَالَ: وَ اَخْبَرَنِي آخَرُ اَنَّ
النَّبِيَّ ص قَالَ ِلآخَرَ مَعَهُ: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ
اخْتَتِنْ. ابو داود 1: 98، رقم: 356
Dari
'Utsaim bin
Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW
seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Buanglah
rambut kafirmu". Maksudnya, "Cukurlah". Dan (ayahnya ‘Utsaim) berkata : Shahabat
yang lain telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada orang
lain yang bersamanya, "Cukurlah rambut kafirmu dan
berkhitanlah".
[HR. Abu Dawud juz 1, hal. 98, no. 356]
Keterangan
:
Hadits
ini dla’if, karena sanadnya munqathi’ sedangkan ‘Utsaim dan ayahnya adalah
majhul. Demikian dikatakan oleh Ibnul Qaththan, dalam Talkhiishul Habiir juz 4,
hal. 223, no. 1806. Dan ‘Abdaan berkata : ‘Utsaim adalah putranya Katsiir,
sedangkan Katsiir putranya Kulaib, Kulaib adalah seorang
shahabat.
3. Definisi Khitan
Khitan
menurut bahasa artinya “yang dipotong”. Asal katanya : Khotana – yakhtinu –
khotnan, artinya “memotong”.
Adapun
menurut ‘ulama fiqh, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut
:
اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى
تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى
قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ
اْلفَرْجِ.
Khitan
bagi laki-laki ialah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga
terbuka kepala dzakar seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit
bagian berupa kulit yang berada di atas lubang kemaluan (yang menutup
kelenthit). [Diambil dari Syarah Muslim oleh Imam Nawawiy]
4. Waktunya berkhitan
Tidak
ada ketentuan dalam agama umur berapa anak harus dikhitan. Ada beberapa riwayat
sebagai berikut :
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّهُ جَاءَ
اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَ: قَدْ اَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَلْقِ
عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ. يَقُوْلُ احْلِقْ. قَالَ: وَ اَخْبَرَنِي آخَرُ اَنَّ
النَّبِيَّ ص قَالَ ِلآخَرَ مَعَهُ: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ
اخْتَتِنْ. ابو داود 1: 98، رقم: 356
Dari
'Utsaim bin
Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW
seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Buanglah
rambut kafirmu". Maksudnya, "Cukurlah". Dan (ayahnya ‘Utsaim) berkata : Shahabat
yang lain telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada orang
lain yang bersamanya, "Cukurlah rambut kafirmu dan
berkhitanlah".
[HR. Abu Dawud juz 1, hal. 98, no. 356]
اِنَّ النَّبِيَّ ص خَتَنَ اْلحَسَنَ وَ اْلحُسَيْنَ يَوْمَ السَّابِعِ
مِنْ وِلاَدَتِهِمَا.
Sesungguhnya
Nabi SAW mengkhitan Hasan dan Husein pada hari ketujuh dari
kelahirannya.
[HR. Hakim dan Baihaqi, dari ‘Aisyah, dalam Talkhiishul Habiir juz 4, hal. 226,
no. 1808]
Keterangan
:
Kami
telah merunut pada kitab Mustadrak Al-Hakim, dan pada kitab Sunanul Kubra.
Baihaqiy yang dari riwayat ‘Aisyah, tidak kami dapatkan kata-kata “Nabi SAW
mengkhitan Hasan dan Husein pada hari ketujuh”. Walloohu
a’lam.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ
اْلحُسَيْنِ وَ خَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ اَيَّامٍ. البيهقى 8: 324
Dari
Jabir, ia berkata, “Rasulullah SAW mengaqiqahi Hasan dan Husein dan mengkhitan
keduanya pada hari ketujuh”.
[HR. Baihaqiy juz 8, hal. 324]
Keterangan
:
Hadits
ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Mutawakkil,
yang dilemahkan oleh Al-Albaniy di dalam Al-Irwaa’ul Ghaliil juz 4, hal.
383]
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مِثْلُ مَنْ
اَنْتَ حِيْنَ قُبِضَ النَّبِيُّ ص؟ قَالَ: اَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُوْنٌ. قَالَ: وَ
كَانُوْا لاَ يَخْتِنُوْنَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ. البخارى 7: 144
Dari
Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu ‘Abbas ditanya, “Seperti siapakah engkau
ketika Nabi SAW wafat ?”. Ia menjawab, “Saya pada waktu itu telah dikhitan.
(Ibnu ‘Abbas) berkata : Dan mereka (para shahabat) tidak mengkhitan anak
laki-laki melainkan setelah baligh”.
[HR. Bukhari juz 7, hal. 144]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قُبِضَ النَّبِيُّ ص وَ اَنَا خَتِيْنٌ. البخارى 7: 144
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Ketika Nabi SAW wafat, saya sudah
dikhitan.
[HR. Bukhari juz 7, hal. 144]
5.
Hukumnya Khitan
‘Ulama
berbeda pendapat dalam menentukan hukum Khitan.
1. Ada yang
berpendapat bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Ada yang berpendapat bahwa khitan itu sunnah,
baik bagi laki-laki maupun perempuan.
3. Ada yang berpendapat bahwa khitan itu wajib
bagi laki-laki, tetapi tidak wajib bagi perempuan.
6.
Tentang Khitan bagi wanita
Tentang
Khitan bagi wanita ini terjadi berbedaan pendapat dalam memahami dalil-dalil
yang ada. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa wanita juga harus berkhitan. Adapun
dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ،
اَلْخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ وَ
تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ. البخارى 7: 143
Dari
Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, :Fithrah itu ada lima : 1.
Khitan, 2. Mencukur rambut kemaluan, 3. Mencabut bulu ketiak, 4. Memotong kumis,
dan 5. Memotong kuku”.
[HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اِذَا جَاوَزَ اْلخِتَانُ اْلخِتَانَ فَقَدْ
وَجَبَ الْغُسْلُ، فَعَلْتُهُ اَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ ص
فَاغْتَسَلْنَا. الترمذى 1: 72، رقم: 108
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Apabila khitan bertemu khitan, maka sungguh telah wajib
mandi. Aku telah melakukannya dengan Rasulullah SAW, maka kami
mandi”.
[HR. Tirmidzi juz 1, hal. 72, no. 108]
Keterangan
:
Dari
hadits ini mereka memahami bahwa wanita juga harus berkhitan, karena disebutkan
“apabila khitan bertemu khitan”. Dan hadits “khomsun minal fihtrah” itu difahami
sebagai dalil umum, bagi laki-laki maupun wanita. Dan juga berdasar
hadits-hadits sebagai berikut :
عَنْ اَبِي اْلمَلِيْحِ بْنِ اُسَامَةَ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ النَّبِيَّ
ص قَالَ: اْلخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنّسَاءِ. احمد: 7: 381، رقم: 20744
Dari
Abul Malih bin usamah dari ayahnya, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Khitan itu
sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita”.
[HR. Ahmad juz 7, hal. 381, no. 20744]
Keterangan
:
Hadits
ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Al-Hajjaj bin Arthah, ia
seorang mudallis.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ
لِلرّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلنّسَاءِ. الطبرانى فى الكبير 11: 186، رقم: 11590
Dari
Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Khitan itu sunnah bagi kaum
laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita”.
[HR. Thabrani, dalam Al-Kabir, juz 11, hal. 186, no. 1159]
Keterangan
:
Hadits
riwayat Thabrani ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam Sunanul Kubra juz
8, hal. 824, dan ia berkata, “Haadzaa isnaadun dla’iifun (ini sanad yang lemah),
yang benar hadits tersebut adalah mauquf.
عَنْ اُمِ عَطِيَّةَ اْلاَنْصَارِيَّةِ اَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ
تَخْتِنُ بِاْلمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: لاَ تُنْهِكِيْ فَاِنَّ
ذلِكِ اَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَ اَحَبُّ اِلَى الْبَعْلِ. ابو داود 4: 368، رقم: 5271
Dari
Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah, bahwasanya ada seorang wanita yang biasa mengkhitan
di Madinah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jangan kamu habiskan, karena yang
demikian itu lebih menyenangkan bagi wanita dan lebih disukai oleh suami”.
[HR.Abu
Dawud juz 4, hal. 368, no. 5271]
Keterangan
:
Hadits
ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Hassan, ia
majhul.
عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: كَانَتْ بِاْلمَدِيْنَةِ امْرَأَةٌ
تَخْفِضُ النّسَاءَ يُقَالُ لَهَا اُمُّ عَطِيَّةَ. فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ
ص: اخْفِضِى وَلاَ تُنْهِكِى فَإِنَّهُ اَنْضَرُ لِلْوَجْهِ وَ اَحْظَى عِنْدَ
الزَّوْجِ. الحاكم 3: 603، رقم: 6236
Dari
Dlahhak bin Qais, ia berkata : Dahulu di Madinah ada seorang wanita yang biasa
mengkhitan anak-anak perempuan, ia bernama Ummu ‘Athiyah. Maka Rasulullah SAW
bersabda kepadanya, “Khitanlah, dan jangan kamu habiskan, karena yang demikian
itu lebih mencerahkan wajah, dan lebih menyenangkan suami”. [HR. Hakim juz 3, hal. 603, no.
6236]
Keterangan
:
Hadits
ini dalam sanadnya ada seorang rawi bernama ‘Abdul Maalik bin ‘Umair yang masih
diperselisihkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَفَعَهُ: يَا نِسَاءَ اْلاَنْصَارِ،
اِخْتَضِبْنَ غَمْسًا وَ احْفِضْنَ وَ لاَ تُنْهِكْنَ فَاِنَّهُ اَحْظَى عِنْدَ
اَزْوَاجِكُنَّ وَ اِيَّاكُنَّ وَ كُفْرَانَ النّعَمِ.
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, ia mengatakannya dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Hai para
wanita Anshar, pakailah pewarna kuku yang merata dan berkhitanlah, dan janganlah
kalian habiskan, karena yang demikian itu lebih menyenangkan suami-suami kalian,
dan hati-hatilah kalian dari mengkufuri ni’mat”.
[HR. Al-Bazzaar dari Ibnu ‘Adiy, dalam Takhiishul Habiir juz 4, hal.
225]
Keterangan
:
Hadits
ini dla’if, karena dalam sanadnya Al-Bazzar ada perawi bernama Mandil bin ‘Aliy,
ia dla’if. Dan dalam sanadnya Ibnu ‘Adiy ada perawi bernama Khalid bin ‘Amr
al-Qurasyiy, ia lebih dla’if dari pada Mandil. [Talkhiisul Habiir juz 4, hal.
225]
Sebagian
‘ulama memahami bahwa khitan itu khusus untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita
tidak ada hadits yang shahih dan sharih (secara tegas) yang menyuruh wanita
untuk berkhitan.
Adapun
hadits tentang “apabila khitan bertemu khitan maka wajib mandi”, itu tidak mesti
menunjukkan bahwa wanita itu berkhitan. Tetapi maksud hadits itu “apabila
kemaluan laki-laki bertemu kemaluan wanita (bersetubuh), maka wajib mandi”.
Walloohu a’lam.
7.
Tentang walimah Khitan
Kami
tidak menemukan hadits Nabi SAW yang shahih yang membahas tentang walimah
khitan. Hanya, ada riwayat yang dla’if sebagai berikut :
عَنِ اْلحَسَنِ قَالَ: دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ اَبِى اْلعَاصِ اِلَى
خِتَانٍ فَاَبَى اَنْ يُجِيْبَ فَقِيْلَ لَهُ، فَقَالَ: اِنَّا كُنَّا لاَ نَأْتِى
اْلخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ لاَ نُدْعَى لَهُ. احمد 6: 270، رقم: 17928
Dari
Al-Hasan, ia berkata : ‘Utsman bin Abul ‘Ash pernah diundang untuk mendatangi
acara khitan, lalu ia menolak menghadirinya. Kemudian dia ditanya, maka ia
menjawab, “Sesungguhnya kami di masa Rasulullah SAW tidak pernah mendatangi
acara khitan dan tidak pernah ada undangan untuk itu”.
[HR. Ahmad juz 6, hal. 270, no. 17928]
Keterangan
:
Riwayat
ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ibnu Ishaaq, yaitu
Muhammad, ia mudallis.
Walloohu
‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar