9/01/2015

Meninggalnya Khadijah istri Nabi SAW

Meninggalnya Khadijah istri Nabi SAW

Siti Khadijah wafat dalam usia kurang lebih 65 tahun. Adapun lamanya beliau bersuami dengan Nabi SAW kurang lebih selama 25 tahun. Dari perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khadijah, dapatlah kedua fihak merasakan kenikmatan dan kebahagiaan hidup dari perkawinan itu. Siti Khadijah telah melahirkan enam orang anak, dua laki-laki dan empat perempuan, yaitu sebagai berikut :
1.  Al-Qasim. Inilah putra yang sulung. Sebab itu maka Nabi SAW digelari "Abul Qasim" (Bapaknya Qasim). Gelar atau panggilan yang demikian itu adalah adat kebiasaan bangsa Arab, yakni putra yang sulung itulah yang dipergunakan untuk gelar bagi si ayah. Al-Qasim Meninggal baru berumur kurang lebih dua tahun.
2.  Zainab. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh Abul-'Ash bin Ar-Rabi', dan ia meninggal dunia di Madinah pada tahun ke-8 Hijrah.
3.  Abdullah. Putera inilah yang oleh ayahnya (Nabi SAW, diberi gelaran dengan Ath-Thayyib dan Ath-Thahir, dan meninggal dunia waktu masih kecil.
4.  Ruqayyah. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh 'Utbah bin Abu Lahab, lalu diceraikan. Kemudian diambil isteri oleh shahabat 'Utsman bin Affan, dan meninggal dunia pada tahun ke-2 Hijrah.
5.  Ummu Kultsum. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh 'Utaibah bin Abu Lahab, lalu diceraikan. Kemudian setelah Ruqayyah meninggal dunia, lalu Ummu Kultsum diambil isteri oleh shahabat 'Utsman bin Affan. Ia meninggal dunia di Madinah pada tahun ke-9 Hijrah.
6.  Fathimah. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh shahabat 'Ali bin Abu Thalib, seorang pemuda dari anak paman Nabi SAW sendiri pada tahun ke-2 Hijrah; dan wafat pada tahun ke-11 Hijrah, beberapa bulan sesudah wafatnya Nabi SAW.

Demikianlah kebahagiaan hidup, suasana rukun dan damai yang dilalui Nabi Muhammad SAW selama dalam perkawinannya dengan Siti Khadijah itu senantiasa hidup selama-lamanya di dalam kenangannya. Bahkan sudah bertahun-tahun Siti Khadijah meninggal dunia, kebaikannya senantiasa dikenang dan disebut-sebutnya. Sampai Siti 'Aisyah sendiri, isteri yang amat dikasihi Rasulullah SAW dan yang mempunyai kedudukan istimewa di sisi beliau lebih dari istri-istri yang lain, konon sampai merasa cemburu kepada Siti Khadijah yang telah lama meninggal dunia, lebih cemburu dari pada terhadap madunya yang lain-lain yang masih hidup, karena mendengar sanjungan Nabi SAW yang tak habis-habisnya tentang kebaikan Siti Khadijah isteri yang amat berbudi  itu.
Adapun tentang kematian Siti Khadijah dan Abu Thalib itu mana yang lebih dulu diantara keduanya ? Tentang ini para ulama tarikh ada berselisih pendapat. Sebagian ada yang mengatakan : Siti Khadijah terlebih dulu wafat dan sebulan kemudian Abu Thalib wafat. Dan sebagian yang lain mengatakan : Abu Thalib terlebih dulu wafat. Tetapi menurut keterangan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Bahwa kedua beliau itu wafat 6 bulan kemudian dari hari keluarnya dari pemboikotan di Syi'ib pada tahun ke-10 dari Bi'tsah atau 3 tahun sebelum hijrah. Siti Khadijah wafat tiga hari kemudian dari wafatnya Abu Thalib.
Dengan wafatnya istri dan paman beliau ini, berarti beliau kehilangan tulang punggung yang kuat. Sebab istri dan paman beliau ini sangat berjasa kepada beliau khususnya dan bagi kemajuan dakwah beliau kepada ummat umumnya. Dan disebabkan kedukaan dan kesedihan yang bertubi-tubi ini, beliau sendiri menamakan tahun itu dengan nama 'Aamul Huzni (tahun duka cita).
 Rasulullah SAW Menikah Dengan Saudah
Sepeninggal isteri beliau Khadijah yang sangat beliau cintai itu, kemudian beliau menikah dengan seorang janda yang bernama Saudah binti Zam'ah.
Saudah adalah seorang wanita bangsa Arab, termasuk keturunan Quraisy. Pada waktu itu ia telah menjadi wanita janda, karena suaminya bernama Sakran bin 'Amr telah meninggal. Ia dan suaminya sejak mengikut seruan Nabi SAW adalah termasuk orang yang terasing, karena diasingkan oleh orang tuanya dan ahli-familinya, yang dikala itu masih sama berkeras kepala, tidak mau mengikut kepada Nabi SAW, bahkan sebagian termasuk orang yang sangat merintanginya. Dan kedua-duanya dikala kaum Muslimin diperintahkan supaya berhijrah ke negeri Habsyi yang ke dua kali, mereka berdua termasuk orang yang ikut berhijrah, karena ke dua-duanya sangat khawatir terhadap kekejaman yang diperbuat oleh familinya yang masih musyrik. Sesudah kedua-duanya kembali pulang ke Makkah, maka tidak lama kemudian Sakran (suami Saudah) meninggal.
Dengan demikian Saudah setelah wafatnya suaminya, maka dengan sendirinya ia tambah terasing lagi, karena ia tetap mengikut seruan Nabi SAW. Oleh sebab itu dirasakanlah oleh Nabi SAW, betapa besar kesengsaraan yang ditanggung oleh Saudah itu.
Maklumlah, sebagai seorang wanita janda yang setia kepada Islam, sedang para familinya dan saudara-saudaranya masih tetap musyrik, bahkan ada pula yang sangat memusuhi tersiarnya Islam. Oleh karenanya sangat terasalah oleh Nabi SAW, bahwa penghidupan sehari-harinya tentu dalam kesempitan dan kesukaran.
Demikianlah, maka dikala itu dengan mufakat orang tuanya, Saudah dinikah oleh Nabi SAW
6. Rasulullah SAW Menikah Dengan 'Aisyah
Kemudian setelah berselang kurang lebih satu bulan dari hari perkawinan Nabi SAW dengan Saudah, lalu beliau menikah pula dengan Siti 'Aisyah binti Abu Bakar. Siti 'Aisyah ialah seorang puteri shahabat Abu Bakar, sedang beliau ini adalah seorang laki-laki yang pertama kali mengikut seruan Nabi SAW dan beriman kepadanya. Dan beliau ini adalah termasuk seorang hartawan besar di kota Makkah pada waktu itu, yang tidak sedikit kekayaannya dikorbankan untuk kepentingan da'wah Islam dan pengikut Islam yang menderita sengsara karena penganiayaan para musyrikin Quraisy.
Di dalam riwayat, perkawinan Nabi SAW dengan Siti 'Aisyah ini terjadi pada bulan Syawwal tahun ke-10 dari kenabian, dan beliau SAW tidak mengawini seorang gadis, melainkan dengan Siti 'Aisyah, yang pada waktu itu masih berumur tujuh tahun, namun Nabi SAW tidak berkumpul dengan 'Aisyah melainkan setelah hijrah di Madinah.
 Nabi SAW Berangkat Ke Thaif
Thaif ialah sebuah kota terletak di sebelah tenggara kota Makkah dan terkenal tanahnya subur-makmur sejak dahulu. Sebagai seorang manusia, Nabi SAW pun pada suatu saat merasa susah dan sedih. Dikala ditinggalkan wafat oleh kedua orang yang seakan-akan menjadi tulang punggung beliau selama itu, terasalah oleh beliau kedukaan dan kesedihan yang sangat, yang tidak ada taranya,
Setelah ketua-ketua dan pembesar-pembesar Musyrikin Quraisy mengetahui, bahwa beliau tidak lagi mempunyai tulang-punggung yang dapat melindungi diri beliau apabila disakiti dan dianiaya, atau apabila akan diperlakukan secara kejam, maka bertambah sangatlah mereka dalam merintangi dan memusuhi beliau. Setiap hari tidak ada hentinya beliau selalu menerima celaan, cercaan, penghinaan dan berbagai-bagai perbuatan yang menyakitkan diri beliau dari fihak musyrikin Quraisy.
Oleh sebab itu, teringatlah beliau bahwa di kota Thaif ada orang yang masih termasuk famili dekat dengan beliau, yaitu famili tunggal datuk dari keturunan Tsaqif. Dan di kota Thaif itu merekalah yang memegang kekuasaan Mereka itu ialah :
1. Abu Yalil bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi,
2. Mas'ud bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi, dan
3. Habib bin 'Amr bin'Umair Ats-Tsaqafi.
Ketiga-tiganya itu adalah brsaudara, dan masing-masing sedang menjabat kekuasaan di kota Thaif.
Dikala itu Nabi SAW berharap, bahwa setelah tiba di Thaif dan dapat bertemu dengan mereka, lalu beliau mengajak mereka itu untuk mengikut seruannya, kemudian akan diajak pula untuk ikut serta menggerakkan seruan (dakwah) beliau di kota itu. Dengan demikian, penduduk kota itu tentu akan segera mengikut seruan beliau, dan selanjutnya akan dapat juga mereka memberikan bantuan untuk kepentingan penyiaran Islam di kota Makkah. Maka ketika itu Nabi SAW berangkat ke Thaif dengan diam-diam bersama Zaid bin Haritsah (bekas budak belian Siti Khadijah yang telah diangkat sebagai anak Nabi SAW) dan dengan berjalan kaki.
Setiba di Thaif, Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah lalu mencari tempat kediaman orang yang ditujunya, yaitu kepala-kepala banu Tsaqif yang sedang menjabat di sana. Selanjutnya, setelah dapat bertemu dengan mereka, beliau lalu menyatakan maksud kedatangannya, yaitu selain untuk menyambung tali kasih sayang dengan mereka, beliau juga menganjurkan (mengajak) kepada mereka masing-masing supaya mengikut Islam.
Setelah mereka mendengar seruan beliau, seketika itu juga mereka marah, sama mencaci-maki dan mendustakan beliau dengan kata-kata yang sangat kasar, lalu mengusir dengan keras, supaya beliau lekas keluar dari rumah mereka, dan pergi dari kota Thaif. Jika tidak mau, beliau diancam akan dibunuh seketika itu juga.
Nabi SAW setelah mendengar celaan, caci-makian dan ancaman mereka, maka beliau langsung meminta diri kepada mereka seraya berkata, "Jikalau kamu tidak mau menerima kedatangan saya kemari, tidak mengapa ! Tetapi janganlah kedatangan saya kemari ini disiarkan kepada orang banyak dari penduduk kota ini".
 Penganiayaan Penduduk Thaif Kepada Nabi SAW
Selanjutnya, ketika Nabi SAW telah keluar dari rumah mereka, lalu mereka masing-masing memerintahkan kepada anak-anak dan budak belian supaya berteriak-teriak dan mencaci-maki serta menghina beliau. Dengan suara yang keras mereka disuruh memanggil orang banyak yang bertempat tinggal di sekelilingnya, supaya keluar dari rumah mereka masing-masing.
Oleh sebab itu, orang-orang yang tinggal di sekeliling mereka lalu keluar semuanya, dan datang berduyun-duyun akan mengeroyok Nabi SAW.
Kemudian kepala Bani Tsaqif menyuruh orang-orang yang telah datang di halaman rumah mereka supaya berkumpul dan berbaris di kanan kiri jalan yang dilalui Nabi SAW dan mereka supaya serentak mencaci-maki dan mencerca dengan perkataan-perkataan yang keji serta mendustakan Nabi SAW, Dan mereka disuruh melempari dengan batu dan pasir kepada beliau dan shahabatnya yang berjalan bersama beliau.
Karena orang yang menyuruh berbuat demikian tadi adalah orang-orang yang berkuasa dan berpengaruh, maka sudah tentu perintah itu selalu diikut saja oleh segenap penduduk banu Tsaqif yang ada di kota Thaif. Oleh sebab itu mereka lalu berkumpul dan berbaris di sekeliling jalan yang dilalui oleh Nabi SAW dan Zaid bin Haritsah, dengan serentak mereka berteriak-teriak mencaci maki, mencerca, menghina, mendustakan dan mengancam sambil melempari batu, krikil dan pasir kepada Nabi SAW, sehingga beliau luka parah dan berlumuran darah, sampai beliau dikala itu terpaksa berjalan dengan merangkak karena kesakitan. Setelah beliau kelihatan berjalan dengan merangkak, lalu mereka mengejek, mentertawakan dan mencaci-maki dengan kata-kata yang kasar dan keji.
Demikianlah singkatnya riwayat penganiayaan kaum Banu Tsaqif dan penduduk Thaif terhadap Nabi SAW. Adapun Zaid bin Haritsah ketika itu kepalanya sampai luka parah, dan mencucurkan darah kena lemparan batu.
 Do'a Nabi SAW Pada Waktu Itu
Setelah perjalanan Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah sampai di halaman kebun atau di balik pagar dari sebuah kebun kepunyaan 'Utbah dan Syaibah (kedua-duanya ini anak Rabi'ah), kedua orang bangsa Quraisy yang sangat memusuhi Nabi SAW di kota Makkah, maka orang-orang yang menganiaya dan melempari dengan batu tadi berhenti, dan mereka berlari bubar semuanya kembali ke rumah mereka masing-masing.
Kemudian Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah berteduh di tempat itu, di bawah pohon anggur sekedar untuk menghilangkan lelah dan jerih payah yang baru saja dirasakan, sambil melihat bengkak-bengkak dan luka-luka yang ada di kedua kaki dan betisnya seraya mengeringkan darah yang masih bercucuran dari kedua kakinya tadi. Tetapi ketika beliau beristirahat di tempat itu, tiba-tiba timbullah perasaan kurang enak dalam hati beliau kalau sampai lama beristirahat di tempat itu. Karena kebun itu kepunyaan 'Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah, yang kedua-duanya ini adalah termasuk orang yang memusuhi beliau di kota Makkah. Padahal justru pada waktu itu kedua orang musuh Islam itu sedang ada di kebun itu, dan keduanya telah melihat bahwa Nabi SAW sedang ada di balik pagar kebunnya. Kemudian Nabi SAW menengadah ke atas mengadukan kepedihan dan kesengsaraan yang dideritanya itu kepada Allah SWT sambil berdo'a dan menyerahkan diri kepada-Nya. Ucapan beliau itu ialah:
اَللّهُمَّ اِلَـيْكَ اَشْكُوْ ضَعْفَ قُوَّتـِى وَ قِلَّةَ حِيْلَـتِى وَ هَوَانـِى عَلَى الـنَّاسِ يَـا اَرْحَمَ الـرَّاحِمِـيْنَ. اَنــْتَ رَبُّ اْلمُسْتَضْعَـفِـيْنَ. وَ اَنــْتَ رَبـِّى اِلَى مَنْ تَكِـلُـنِى؟ اِلَى بَـعِيْدٍ يَـتَجَهَّمُنِى؟ اَمْ اِلَى عَدُوٍّ مَلَكَـتْهُ اَمْرِيْ؟ اِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلاَ اُبَالِى. وَ لكِنْ عَافِـيَـتَكَ هِيَ اَوْسَعُ لـِى. اَعُوْذُ بِـنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ اَشْرَقَتْ لَهُ الظُّـلُـمَاتُ وَصَلُحَ عَلَـيْهِ اَمْرُ الدُّنــْيَا وَ اْلآخِرَةِ مِنْ اَنْ تُنْزِلَ بِيْ غَضَبُكَ اَوْ يُحِلَّ عَلَيَّ سَخَطُكَ، لَكَ اْلعُتْـبَى حَتَّى تَرْضَى. وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِكَ.
"Ya Allah, Kepada Engkau-lah aku mengadukan kelemahan kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaanku pada manusia, ya Tuhan yang Maha Penyayang diantara orang-orang yang kasih sayang. Engkaulah Tuhan yang memelihara orang-orang yang lemah dan tertindas, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapa Engkau akan menyerahkan aku, apakah kepada musuh yang jauh yang amat benci kepadaku, ataukah kepada musuh yang Engkau beri kekuasaan terhadapku ? Jikalau Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak perduli, akan tetapi kemurahan Engkau lebih luas kepadaku, (itulah yang aku harapkan). Aku berlindung kepada Nur Wajah Engkau Yang Mulia, yang menerangi semua kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat. Semoga janganlah Engkau menjatuhkan kemarahan Engkau kepadaku atau menimpakan kepadaku kemurkaan-Mu, Engkaulah yang berhak mencaciku sehingga Engkau ridla, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu". [Sirah Ibnu Hisyam juz 2, hal. 268]

Demikianlah bunyi do'a Nabi yang dipanjatkan kehadlirat Allah SWT pada waktu itu, yang di dalam do'a itu jelas berisi keluhan dan penyerahan beliau kepada Allah semata.

1 komentar:

  1. hai saudaraku!!! kita sdh tau semua kan?bahwa Rasullulah tdk menikah sebelum meninggal khadijah (istri pertama Rasulullah). Makanya janganlah pernah berniat menikah selagi isteri pertama msh hidup karna itu sunah rasul.Jadi jangan mencari alasan berdsarkan agama untuk berpoligami kalau saudara umat Muhammad. Camkan itu!!!

    BalasHapus

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...