3/25/2019

Kegoncangan Kaum Quraisy di Makkah

Kegoncangan Kaum Quraisy di Makkah

  Tentara Quraisy yang pertama kali tiba di Makkah dari Badr ialah seorang yang bernama Haisuman bin ‘Abdillah Al-Khuza’iy. Setelah ia sampai di Makkah sudah tentu mendapat beberapa pertanyaan oleh orang-orang yang tinggal di Makkah terutama ketua-ketua Quraisy yang tidak ikut ke Badr. Ketika itu ia menjawab dengan sebenarnya, “Bahwa tentara Quraisy hancur luluh dikalahkan oleh tentara Muhammad, kepala-kepala dan pahlawan-pahlawan Quraisy binasa. Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, Abul Bakhtari, Walid bin ‘Utbah, Syaibah bin Rabi’ah dan Umayyah bin Khalaf, Zam’ah bin Aswad, Nubaih bin Hajjaj dan Munabbih bin Hajjaj terbunuh, dan barisan tentara Quaisy kocar-kacir”. Demikianlah Haisuman menerangkan kekalahan tentara Quraisy di Badr.

Kemudian setelah Haisuman, datanglah tentara Quraisy yang dapat melarikan diri bersama-sama ke Makkah, lalu masing-masing sebelum mendapat pertanyaan dari ketua dan kepala-kepala Quraisy, sudah menceritakan kepada penduduk Makkah, bahwa tentara Quraisy dikalahkan oleh tentara Muhammad. Oleh sebab itu banyak orang-orang Quraisy di Makkah yang menangis, dan waktu itu juga Abu Lahab jatuh sakit.
Diriwayatkan, tentang kematian Abu Lahab adalah demikian. Tatkala tentara Quraisy pulang ke Makkah sebagai tentara yang kalah, dan banyak diantara para ketua mereka yang mati dalam pertempuran tersebut, maka Abu Sofyan bin Harits dibawa ke suatu tempat dekat sumur Zam-zam. Ketika itu datanglah Abu Lahab dan terus bertanya kepada Abu Sufyan bin Harits, “Bagaimana khabarnya ?”. Abu Sufyan tentu saja menjawab apa adanya. Dikala itu orang banyak pun datang di tempat itu dan mengelilingi Abu Sufyan.  Setelah Abu Lahab mendapat keterangan yang jelas dari Abu Sofyan bin Harits, ia jatuh pingsan. Sebelumnya ia sempat memukul dengan keras pada Abu Rafi’ (budak ‘Abbas bin Abdul Muththalib), karena Abu Rafi’ dianggap menghina kepada dirinya. Setelah itu Abu Lahab jatuh sakit, karena dalam hatinya merasa terpukul lantaran kekalahan tentaranya yang tidak disangka-sangka.
Dan tujuh hari kemudian ia meninggal. Setelah itu, kaum Quraisy mengadakan permusyawaratan dengan segera. Dalam permusyawaran tersebut mereka memutuskan :
1. Bahwa kaum Quraisy tidak diperkenankan meratapi pada orang-orang yang telah mati terbunuh di Badr. Sebab jika meratapi bisa mengkhawatirkan, kalau-kalau sampai didengar oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya lalu mereka mencerca dan bertambah sombong terhadap kaum Quraisy.
2.  Bahwa kaum Quraisy semuanya jangan tergesa-gesa menyuruh orang supaya menebus pada orang-orang yang tertawan. Karena kalau tergesa-gesa dikhawatirkan tebusan dibikin mahal oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya.
3. Bahwa mereka yang tertawan biarlah mereka terpenjara, dan kaum Quraisy hendaklah tahan menerima cobaan yang hebat itu pada sementara waktu, hingga nanti datang suatu kesempatan yang lapang dan baik untuk keperluan menebus kepada mereka yang tertawan.
Demikian keputusan permusyawaratan kaum Quraisy waktu itu. Tetapi bagi kaum perempuan Quraisy yang ditinggal mati oleh suaminya, sekalipun sudah ada keputusan tersebut, mereka tetap meratapinya lebih dari satu bulan. Waktu itu seorang perempuan Quraisy yang tidak meratap hanya seorang yang bernama Hindun (isteri Abu Sufyan) anak perempuan ’Utbah. Padahal ketika itu ia kematian bapaknya dan seorang anaknya.
Hindun, apabila kedatangan kawan-kawannya perempuan Quraisy dan ditanya, “Mengapa kamu tidak meratapi orang tuamu, saudaramu laki-laki dan pamanmu?”. Ia menjawab dengan congkak, “Buat apa saya menangisi mereka ? Kalau saya menangisi mereka lalu kedengaran oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya, tentu mereka akan mencerca saya, dan kaum perempuan dari Banu Khazraj juga mengejek kita. Demi Allah, jikalau rasa susah dari dadaku dapat lenyap dengan tangis, niscaya aku akan menangis. Tetapi kesusahan itu tidak mau lenyap dari dadaku, maka aku tidak perlu menangis. Demi Allah, haram bagi diriku berhias dengan minyak wangi selama aku belum memerangi Muhammad dan pengikut-pengikutnya”.
Dan pendek kata, saat itu pahlawan atau kepala Quraisy yang tampak, tinggal Abu Sufyan bin Harb yang nyata-nyata siang malam memusuhi Islam dan kaum muslimin, terutama kepada Nabi SAW.
Islamnya ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy dan sebab-sebabnya
Diriwayatkan, bahwa ketika itu diantara orang-orang Quraisy yang tertawan ada yang bernama Wahab bin ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy. Ayah Wahab, yaitu ‘Umair bin Wahab adalah seorang yang sangat memusuhi kepada Nabi SAW semenjak di Makkah. Sesudah terjadi perang Badr, anak laki-laki Wahab yang sangat dicintai oleh ayahnya ikut tertawan oleh tentara muslim. Oleh sebab itu, maka ‘Umair setiap hari, siang malam selalu susah hatinya dan bingung pikirannya, karena pikirannya selalu terbayang-bayang anaknya yang sedang ditawan itu. Kemudian pada suatu hari ia duduk bersama seorang kawan kepala Quraisy yang bernama Shafwan bin Umayyah. Sedang Shafwan ketika itupun tengah menanggung sedih dan susah juga, karena baru kematian bapaknya (Umayyah) di perang Badr.
‘Umair dan Shafwan duduk termenung bersama-sama di suatu tempat di dekat Ka’bah (Hijr), kedua-duanya selalu menyebut nama-nama kepala-kepala Quraisy yang terbunuh dan dimaksukkan di dalam sumur di Badr. Shafwan ketika itu antara lain berkata, “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah mereka”. Yakni, sesudah kematian pahlawan dan kepala-kepala Quraisy tersebut.
‘Umair bin Wahab menyahut, “Demi Allah, memang begitu ! Amat benarlah ucapanmu hai Shafwan. Demi Allah, seumpama aku tidak punya pinjaman yang banyak, yang kini aku belum dapat membayar, dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu kukhawatirkan makannya jika ku tinggal mati, niscaya aku akan datang kepada Muhammad dan akan kubunuh dia, karena hatiku sangat sakit padanya mengapa ia sampai berani menawan anak lelakiku yang kucintai ?”.
Shafwan berkata, “Ah, kalau betul-betul kamu ada kemauan begitu, kamu betul-betul hendak membunuh Muhammad, aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun anak-anakmu biar bersama anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Aku yang menanggung makannya selama aku hidup”.
Umair menyahut, “Betulkah begitu hai Shafwan ?”. Shafwan berkata, “Mengapa tidak ?. Kamu jangan khawatir !”.
Umair berkata, “Kalau memang betul-betul kamu sanggup, baiklah sekarang hal ini kita sembunyikan, dan jangan sampai ada seorangpun yang mendengar !”. Shafwan berkata, “Ya, baiklah ! Dan segeralah kamu kerjakan !”.
Kemudian masing-masing pulang, dan sesampai di rumah, ‘Umair bin Wahb lalu berkemas-kemas dan menyediakan alat-alat selengkapnya. Akhirnya ‘Umair berangkat dengan membawa senjata yang amat tajam, dan diantara yang dibawanya ialah pedangnya yang beracun.
Setelah sampai di Madinah, ‘Umair lalu mencari rumah Nabi SAW sambil menghunus pedangnya yang beracun tadi, dengan mata merah dan muka merah seolah-olah orang yang sedang mabuk sambil mengendarai untanya. Setelah sampai di Masjid, ia turun dari kendaraan dan mengikatkannya di sebuah pintu Masjid. Kebetulan waktu itu shahabat Umar bin Khaththab RA sedang duduk bersama-sama kaum muslimin di Masjid dan tengah bercakap-cakap satu sama lain tentang peperangan Badr yang baru saja selesai. Setelah ‘Umar RA mengetahui ‘Umair bin Wahb datang dengan muka yang tampak merah seraya menghunus pedangnya, maka ‘Umar lalu berkata :
هذَا اْلكَلْبُ عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرٌ، مَا جَاءَ اِلاَّ بِشَرًّ
“Ini anjing musuh Allah si ‘Umair. Ia tidak datang melainkan bermaksud jahat”.
Ketika itu kebetulan Nabi SAW sedang di rumah, maka seketika itu ‘Umar RA lari ke rumah Nabi SAW, lalu masuk ke dalam sambil berkata dengan suara keras :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، هذَا عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرُ بْنُ وَهْبٍ، قَدْ جَاءَ مُتَوَشِّحًا سَيْفُهُ
“Ya Rasulullah !  Itulah musuh Allah si ‘Umair bin Wahab telah datang dengan menyelempangkan pedangnya”.
Nabi SAW bersabda,
فَاَدْخِلْهُ عَلَيَّ
“Suruhlah dia masuk kepadaku”.
Setelah Nabi SAW bersabda demikian, maka ‘Umar RA tercengang dan segera menjemput ‘Umair, dan ia memegang tali pedang ‘Umair yang diikatkan pada lehernya. Dan karena ‘Umair tahu bahwa yang memegang tali pedangnya itu ialah Umar bin Khaththab, maka ia diam saja tidak berani berkata sepatahpun. Memang selamanya pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut kepada Umar RA.
Waktu itu ‘Umair diajak ‘Umar RA masuk ke rumah Nabi SAW sambil tali pedangnya yang beracun tadi dipegangi ‘Umar RA. Maka setelah sampai di hadapan Nabi, beliau SAW bersabda :
اَرْسِلْهُ يَا عُمَرُ، اُدْنُ يَا عُمَيْرُ
“Lepaskanlah hai Umar. Mendekatlah hai ‘Umair !”.
Shahabat Umar lalu melepaskan ‘Umair, dan ‘Umair lalu mendekat kepada Nabi SAW sambil berkata, “Selamat pagi hai Muhammad !”.
Karena penghormatan yang diucapkan ’Umair itu  adalah penghormatan secara Jahiliyah, maka Nabi SAW bersabda,
قَدْ اَبْدَ لَنَا اللهُ بِتَحِيَّةٍ خَيْرٌ مِنْ تَحِيَّتِكَ يَا عُمَيْرُ، وَ هِيَ السَّلاَمُ
“Sesungguhnya Allah telah menukar bagi kita dengan penghormatan yang lebih baik dari pada penghormatanmu hai ‘Umair. Penghormatan itu ialah Salam”.
Keadaan kaum Muslimin yang pada waktu itu sedang duduk bersama-sama di Masjid, diantara satu dengan yang lainnya berkata, “Marilah kita bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah, dan kita duduk di hadapan beliau. Orang lelaki Quraisy itu tentu hendak berbuat jahat kepada Rasulullah !”.
Lalu masing-masing bangkit dan segera datang ke rumah Nabi SAW kemudian masuk ke dalam rumah sambil masing-masing mengawasi ‘Umair.
Selanjutnya Nabi SAW bertanya kepada ‘Umair, “Hai ‘Umair, sesungguhnya kamu datang kemari ini dengan maksud apa ?”. Jawab Umair, “Ya Muhammad ! Saya datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu”.
Nabi SAW selanjutnya bersabda, “Tidak, yang benar saja. Kamu berdusta”.
‘Umair berkata, “Betul ya Muhammad, sungguh saya hendak bertemu dengan anak saya, dan saya hendak meminta kepadamu, supaya engkau berbuat baik pada anak saya itu”.
Nabi SAW bersabda, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu ?”.
‘Umair menjawab, “Pedang ini tidak ada gunanya bagi saya. Mudah-mudahan Allah menjelekkan pedang ini”.
Nabi SAW bersabda, “Tidak begitu ya ‘Umair, apakah kamu membenarkan jika aku menerangkan segala apa yang kamu maksud dalam kedatanganmu ini ?”.
‘Umair berkata, “Saya tidak datang kemari melainkan untuk itu, Muhammad”.
Nabi SAW dengan tersenyum lalu berkata, “Ah, tidak begitu. Mesti ada maksud lain yang terkandung dalam hatimu. Coba dengarkan, maksudmu datang kemari akan saya terangkan : Pada suatu saat yang lalu kamu duduk bersama-sama dengan Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kamu dengan Shafwan menyebut-nyebut kaum Quraisy yang terkubur di sumur Badr, lalu kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga berkata begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini dan begitu”.
‘Umair lalu bertanya, “Ya Muhammad, mengapa engkau tahu dengan jelas ? Padahal waktu itu tiada seorang pun yang tahu ?”.
Nabi SAW lalu bertanya, “Ya tentu saya tahu, karena ada yang memberitahukan kepadaku, dan betulkah semua yang saya katakan itu ?”.
‘Umair seketika itu juga berkata :
اَشْهَدُ اَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ
“Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya engkau pesuruh Allah”.
“Sungguh saya dulu mendustakan engkau Muhammad dengan segala apa yang telah engkau datangkan dari langit dan segala apa yang diturunkan kepada engkau. Perkara yang engkau katakan tadi, sungguh ketika saya bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak ada seorangpun yang tahu, melainkan aku sendiri dan Shafwan. Sesungguhnya demi Allah saya sekarang mengerti dan sangat percaya, bahwa segala apa yang datang kepada engkau itu tidak lain dan tidak bukan kecuali dari Allah sendiri”.
Kemudian Nabi SAW bersabda kepada para shahabatnya :
فَقّهُوْا اَخَاكُمْ دِيْنَهُ وَ اقْرَئُوْهُ اْلقُرْآنَ وَ اَطْلِقُوْا لَهُ اَسِيْرَهُ
“Ajarkanlah pada saudaramu ini (‘Umair) tentang agamanya, dan bacakanlah padanya Al-Qur’an, dan lepaskanlah tawanannya (anaknya)”.
Setelah beberapa waktu ‘Umair dan anaknya berada di Madinah, ketika itu Shofwan selalu mengharap-harap akan kedatangannya, karena akan menanyakan khabar tentang terbunuhnya Muhammad (Nabi SAW).
Setelah Shafwan lama menunggu ‘Umair belum datang juga, maka pada suatu waktu Shafwan tidak tahan lagi dan terpaksa menanyakan khabarnya ‘Umair kepada seseorang yang acap kali pergi ke Madinah.
Maka ketika Shafwan mendapat jawaban oleh yang ditanya, bahwa ‘Umair telah masuk Islam, menjadi pengikut Muhamad, seketika itu Shafwan sangat terperanjat sambil berkata, “Mengapa begitu ? Kalau ‘Umair betul-betul telah menjadi pengikut Muhammad, saya bersumpah : Demi Allah, selama aku hidup, tidak akan bercakap-cakap lagi dengan  ‘Umair dan tidak akan memberi sesuatu kepada 'Umair”.
Selanjutnya ‘Umair meminta izin kepada Nabi SAW untuk ke Makkah bersama anaknya, dan ia berkata, “Ya Rasulullah ! Dulu saya seorang pembela bagi pemadam cahaya Allah, sangat menyakitkan kepada orang-orang yang mengikuti agama Allah dan amat menyakitkan kepada tuan yang sebenarnya tuan itu pesuruh Allah. Oleh sebab  itu saya akan pulang ke Makkah, dan saya mohon izin kepada tuan, saya nanti di Makkah akan berseru kepada kawan-kawan saya Quraisy supaya mereka itu ikut kepada Allah dan pesuruh-Nya, dan supaya mereka ikut agama Islam. Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah. Dan jika mereka tidak mau mengikuti, saya hendak menyakitkan mereka sebagaimana dulu saya menyakitkan sahabat-shahabatmu”.
Ketika itu oleh Nabi SAW dibolehkan berbuat demikian itu, lalu ia berangkat pulang ke Makkah bersama anaknya.
Diriwayatkan, bahwa ‘Umair sesampainya di Makkah, maka dengan sungguh-sungguh ia berseru kepada kaum Musyrikin terutama kepada Shafwan. Dan pada suatu hari ia datang kepada Shafwan dengan berkata, “Hai Shafwan, kamu ini seorang ketua Quraisy tetapi mengapa kamu berbuat memuja dan menyembah kepada batu-batu yang tidak berdaya itu ? Apakah begitu itu agama yang benar ? Demi Allah, sekarang saya telah bersaksi, bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba Allah dan pesuruh-Nya. Saya berseru kepadamu, hendaklah kamu ikut kepada seruan Muhammad”.
Shafwan ketika itu tidak menjawab sepatah katapun, karena ia sengaja menepati janjinya (sumpahnya) sendiri. Dan dari dakwahnya ‘Umair bin Wahb ini banyak orang masuk Islam. Selanjutnya ‘Umair tetap menjadi seorang Islam sejati hingga wafatnya.

Demikianlah singkatnya riwayat Islamnya ‘Umair dan sebabnya ketika itu, dan jika mengingat akan Islamnya shahabat Umar bin Khaththab RA, maka terasalah, bahwa Islamnya ‘Umair tersebut tidak jauh berbeda dengan riwayat Islamnya Shahabat Umar RA, yakni permulaannya sengaja hendak membunuh Nabi SAW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...