2/12/2020

Sejarah Islam

Beberapa kejadian sehubungan dengan perang bani Musthaliq

Setelah kaum muslimin tiba di Madinah, ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubaiy datang menemui Rasulullah SAW, lalu berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّهُ بَلَغَنِى اَنَّكَ تُرِيْدُ قَتْلَ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ فِيْمَا بَلَغَكَ عَنْهُ، فَاِنْ كُنْتَ فَاعِلاً فَمُرْلِى بِهِ، فَاَنَا اَحْمِلُ اِلَيْكَ رَأْسَهُ. فَوَ اللهِ لَقَدْ عَلِمَتِ اْلخَزْرَجُ مَا كَانَ بِهَا مِنْ رَجُلٍ اَبَرُّ بِوَالِدِهِ مِنّى وَ اِنّى اَخْشَى اَنْ تَأْمُرَ بِهِ غَيْرِى فَيَقْتُلُهُ فَلاَ تَدَعُنِى نَفْسِى اَنْ اَنْظُرَ اِلَى قَاتِلِ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ يَمْشِى فِى النَّاسِ. فَاَقْتُلَهُ، فَاَقْتُلُ مُؤْمِنًا بِكَافِرٍ فَاَدْخُلُ النَّارَ.
Ya Rasulullah, sesungguhnya saya dengar engkau ingin membunuh ‘Abdullah bin Ubay berkenaan apa yang diperbuat terhadapmu. Jika benar engkau ingin melakukannya, maka perintahlah aku. Aku bersedia membawa kepalanya ke hadapanmu. Demi Allah, orang-orang suku Khazraj telah sama mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih berbhakti kepada ayahnya daripada diriku. Aku khawatir jika engkau memerintahkan kepada orang lain selain aku untuk membunuhnya, lalu aku tidak tahan melihat pembunuh ‘Abdullah bin Ubay berjalan di tengah masyarakat, sehigga aku membunuhnya. Ini berarti aku membunuh seorang mukmin karena membela seorang kafir, sehingga aku masuk neraka.

Lalu Nabi SAW menjawab :
بَلْ نَتَرَفَّقُ بِهِ وَ نُحْسِنُ صُحْبَتَهُ مَا بَقِيَ مَعَنَا
Bahkan kita akan bertindak lemah lembut dan berlaku baik kepadanya, selama dia masih tinggal bersama kita. [Al-Bidayah 4:546]
Sejak itulah apabila ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul mengemukakan suatu pendapat atau ucapan, selalu ditentang dan dikecam oleh kaumnya. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada ‘Umar bin Khaththab, “Bagaimanakah pandanganmu, wahai ‘Umar ? Demi Allah, seandainya engkau membunuhnya pada hari kau katakan kepadaku “bunuhlah dia”, niscaya orang-orang akan ribut. Tetapi, seandainya aku perintahkankamu untuk membunuhnya sekarang, apakah kamu akan membunuhnya juga ?”. Jawab ‘Umar, “Demi Allah, aku telah mengetahui bahwa keputusan Rasulullah SAW lebih besar berkahnya daripada pendapatku”.

Shahabat minta fatwa kepada Nabi SAW tentang ‘azl
Setelah pembagian tawanan perang Bani Musthaliq kepada para shahabat lalu diantara para shahabat meminta fatwa kepada Nabi SAW tentang ‘azl sebagaimana hadits di bawah ini :
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ رض قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى غَزْوَةِ بَنِى اْلمُصْطَلِقِ، فَاَصَبْنَا سَبَايَا مِنَ اْلعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النّسَاءَ وَ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا اْلعُزْبَةُ وَ اَحْبَبْنَا اْلعَزْلَ فَسَأَلْنَا عَنْ ذلِكَ رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: مَا عَلَيْكُمْ اَنْ لاَ تَفْعَلُوْا، فَاِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ قَدْ كَتَبَ مَا هُوَ خَالِقٌ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Abu Sa’id RA, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam perang Banil Musthaliq, lalu kami memperoleh tawanan-tawanan dari orang-orang ‘Arab, kemudian kami mempunyai keinginan kepada para wanita, sedang kami sangat berat membujang dan kami suka ‘azl, lalu kami tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka jawab beliau, “Tidak mengapa bagimu untuk melakukannya, karena Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar telah menentukan apa yang akan Dia ciptakan sampai yaumul qiyamah”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Dengan jawaban Rasulullah SAW tersebut jelaslah kebolehan tentang ‘azl.

Perkawinan Nabi SAW dengan Juwairiyah
Sebagaimana diketahui bahwa diantara para tawanan Banu Musthaliq ada seorang anak perempuan dari pembesar kaum tersebut yang bernama Barrah (Barirah) binti Al Harits bin Abi Dlirar yang kemudian diberi nama Juwairiyah oleh Nabi SAW dan diambil istri oleh beliau SAW.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata, bahwa setelah Rasulullah SAW membagi tawanan-tawanan Banu Musthaliq, Juwairiyah jatuh pada bagian Tsabit bin Qais bin Syamsy atau menjadi bagian anak pamannya. Lalu Juwairiyah ingin menebus dirinya. Juwairiyah adalah seorang puteri yang cantik rupawan lagi sangat menarik siapapun yang melihatnya. Kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW untuk minta tolong dalam menebus dirinya. Ia berkata : Saya Juwairiyah puteri Al Harits pemimpin kaum, saya telah tertimpa bencana sebagaimana telah engkau ketahui, dan saya akan dibebaskan kalau saya bisa menebus diri saya. Oleh karena itu tolonglah saya”. Rasulullah  SAW bersabda, “Apakah kamu mau yang lebih baik dari itu ? Yaitu aku akan bayar tebusanmu lalu aku mengawinimu ?”. Juwairiyah menjawab, “Ya, mau”. Kemudian Rasulullah SAW melakukannya.
Setelah kaum muslimin mendengar khabar bahwa Rasulullah SAW telah mengawini Juwairiyah maka mereka sama membicarakan tawanan yang ada pada mereka masing-masing (karena dengan perkawinan tersebut, berarti orang-orang tawanan itupun merupakan keluarga isteri Rasulullah SAW).  Akhirnya mereka sama melepaskan (memerdekakan) para tawanan dari Banu Musthaliq yang sudah menjadi bagian mereka masing-masing. Maka ketika itu dibebaskanlah seratus keluarga Banu Musthaliq (tanpa tebusan). ‘Aisyah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih besar berkahnya untuk kaumnya dari pada Juwairiyah. Dahulu Juwairiyah namanya adalah Barrah (Barirah), lalu Rasulullah SAW menamakan-nya dengan Juwairiyah (Siyaru A’lamin Nubalaa’ II : 470+471).
Begitulah singkatnya riwayat perkawinan Nabi SAW dengan Juwairiyah. (Dalam satu riwayat disebutkan Nabi SAW memberinya mas kawin 400 dirham). Dan dengan perkawinan tersebut menyebabkan dibebaskannya tawanan-tawanan Banu Musthaliq yang sudah dibagi, karena kaum muslimin merasa malu memperbudak orang-orang dari kaum yang mempunyai tali perkawinan dengan Nabi SAW. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah tersebut, yaitu : Saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih besar berkahnya untuk kaumnya dari pada Juwairiyah. Karena dengan perkawinan tersebut bukan saja membawa berkah untuk dirinya sendiri dengan mengikut Islam, tetapi orang tuanya, saudara-saudaranya dan sebagian besar kaum Banu Musthaliq lalu mengikut Islam dengan baik.

Berita Bohong (Haditsul Ifki)
Ketika dalam perjalanan pulang kaum muslimin dari perang Banu Musthaliq inilah tersiar berita bohong yang bertujuan merusak keluaraga Nabi SAW. Berikut kami kemukakan ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam Bukhari - Muslim :
‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa biasanya Rasulullah SAW apabila hendak bepergian, beliau mengundi para istri, siapa yang akan ikut bersama beliau. Pada waktu itu namaku keluar, maka aku ikut pergi bersama Rasulullah SAW dalam peperangan itu. ‘Aisyah RA berkata, “Setelah selesai peperangan, Rasulullah SAW bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat. Setelah selesai, aku terus kembali untuk bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung di leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat dimana aku membuang hajat tadi untuk mencari kalung hingga akhirnya dapat kutemukan kembali”.
Di saat aku sedang mencari-cari kalung tersebut, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil yang terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam  perjalanan. oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj tersebut, lalu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat.
Ketika aku kembali ke tempat pemberhentian tadi, tidak kujumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimutkan jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, apabila mereka mengetahui bahwa aku tidak ada dan mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu’aththal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku (ia sudah mengenal dan melihatku sebelum diwajibkan berhijab). Ketika melihatku ia berucap, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Istri Rasulullah ?”. Aku pun terbangun oleh ucapannya itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uun itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku duduk menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki itu sampai akhirnya kami dapat bergabung lagi dengan rombongan ketika mereka sedang turun untuk istirahat di siang hari. Di sinilah mulainya tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini bersumber dari mulut Abdullah bin Ubaiy bin Salul.
‘Aisyah RA melanjutkan kisahnya, “Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak mendesas-desuskan berita bohong itu, sedang aku sendiri belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah SAW yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu ?”. Setelah agak sehat, aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Misthah untuk buang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Misthah terantuk hingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya, “Celaka si Misthah !”. Ia kutegur, “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badar !”. Ummu Misthah bertanya, “Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya ?”. ‘Aisyah RA melanjutkan, “Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah. Malam itu aku menangis hingga pagi, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur”.
Kemudian Rasulullah SAW mulai meminta pandangan para shahabatnya mengenai masalah ini. Diantara mereka ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan”. Dan ada pula yang mengatakan, “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakanlah hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah) Ia pasti akan memberi keterangan yang benar kepadamu”.
Rasulullah SAW lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah lalu bertanya, “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari ‘Aisyah ?”. Ia lalu mengkhabarkan kepada Nabi SAW bahwa ia tidak mengetahui ‘Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi SAW berdiri ke atas mimbar dan bersabda :
يَا مَعْشَرَ اْلمُسْلِمِيْنَ، مَنْ يَعْذُرُنِى مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَ اَذَاهُ اَهْلِ بَيْتِى؟ فَوَ اللهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى اَهْلِى اِلاَّ خَيْرًا. وَ لَقَدْ ذَكَرُوْا رَجُلاً مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ اِلاَّ خَيْرًا.
Wahai kaum Muslimin, siapa yang akan membelaku dari seorang laki-laki yang telah menyakiti keluargaku ? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang laki-laki yang aku tidak mengenal laki-laki itu kecuali sebagai orang yang baik pula.
Sa’ad bin Mu’adz lalu berdiri seraya berkata, “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah. Jika dia dari suku Aus, kami siap memenggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya”. Lalu timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah SAW meredakan mereka.
‘Aisyah RA melanjutkan, “Kemudian Rasulullah SAW datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi SAW tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku”. ‘Aisyah RA berkata : Ketika dalam keadaan demikian, Nabi SAW duduk lalu membaca puji syukur ke hadlirat Allah SWT, lalu bersabda, “Hai ‘Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Tetapi jika kamu tidak bersalah maka Allah SWT pasti akan membebaskan dirimu. Jika kamu telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah SWT dan taubatlah kepada-Nya”. Seusai Rasulullah SAW mengucapkan yang demikian, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku, “Berilah jawaban kepada Rasulullah mengenai diriku”. Ayahku menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab”. Aku katakan pula kepada ibuku, “Berilah jawaban mengenai diriku”. Dia pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab”. Lalu aku berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya, dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkannya. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh ayahnya Nabi Yusuf AS :
فَصَبْرٌ جَمِيْلٌ، وَ اللهُ اْلمُسْتَعَانُ عَلى مَا تَصِفُوْنَ. يوسف:18
Maka keshabaran yang baik itulah (keshabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. [QS. Yusuf : 18]
‘Aisyah RA berkata, “Kemudian aku pindah dan berbaring di atas tempat tidurku”.
Dan ketika itu, demi Allah, aku merasa tidak bersalah dan Allah pasti akan membebaskanku. Tetapi demi Allah, aku tidak menyangka kalau akan diturunkan wahyu mengenai hal itu, karena masalahitu kuanggap sesuatu yang remeh. Hanya aku berharap mudah-mudahan Rasulullah melihat dalam mimpi bahwa Allah membebaskanku.
Selanjutnya ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, Rasulullah SAW belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar, sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya setiap habis menerima wahyu yang diturunkan kepadanya”. ‘Aisyah berkata,  “Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah SAW, lalu beliau tersenyum. Ucapan yang pertama kali terdengar ialah, “Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu”. Kemudian ibukupun berkata, “Berdirilah (berterimakasihlah) kepadanya”. Aku menjawab :
لاَ، وَ اللهِ لاَ اَقُوْمُ اِلَيْهِ وَ لاَ اَحْمَدُ اِلاَّ اللهَ، هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ بَرَاءَتِى
Tidak, Demi Allah aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi SAW), dan aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah. Karena Dia-lah yang telah menurunkan pembebasanku.
Aisyah RA berkata, “Kemudian Allah menurunkan firman-Nya” :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. ...... dst [QS. An-Nuur :11-21]

[Bersambung]


Aisyah melanjutkan : Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Masthah karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata : Demi Allah, saya taidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkannya kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
وَ لاَ يَأْتَلِ اُولُوا اْلفَضْلِ مِنْكُمْ وَ السَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْا اُولِى اْلقُرْبى وَ اْلمَسكِيْنَ وَ اْلمُهجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَ لْيَعْفُوْا وَ لْيَصْفَحُوْا، اَلاَ تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللهُ لَكُمْ، وَ اللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. النور:22
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka menafkahkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu ? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS 24 : 22].

Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampunan Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah.

Kemudian Nabi SAW keluar menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi SAW memerintahkan supaya dilakukan hukuman hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...