Keadaan Nabi SAW Selama Diboikot
Menurut
riwayat, pemboikotan itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Selama itu
Nabi SAW dan kaum keluarganya serta kaum Muslimin yang tidak ikut berhijrah ke
negeri Habsyi, begitu pula segenap keluarga kaum bani Hasyim dan bani
Muththalib, menanggung bermacam-macam kesulitan dan kesengsaraan dalam hidupnya.
Dalam masa selama itu putuslah hubungan mereka dengan segenap qabilah-qabilah
Arab umumnya dan dengan kaum Quraisy penduduk Makkah khususnya. Mereka tidak
dapat lagi bertemu dan berhubungan dengan siapapun, selain di dalam bulan-bulan
Haram (Muharram, Rajab, Dzulqo'dah, Dzulhijjah), bulan-bulan yang dihormati,
dimuliakan dan disucikan oleh segenap bangsa Arab, karena dalam bulan-bulan
tersebut segala permusuhan dan rasa dendam peperangan dan balas dendam harus
dilupakan dan diberhentikan. Di masa pemboikotan itu semua orang yang tinggal di
dalam Syi'ib yang letaknya di sebuah celah bukit di luar kota Makkah, sampai
makan daun-daun dan kulit-kulit pohon yang tipis, karena tidak mendapatkan bahan
makanan dari luar.
Namun
demikian, masih ada sebagian diantara orang-orang Quraisy yang masih ada
hubungan famili atau kerabat dengan orang-orang yang diboikot tersebut yang
masih punya perikemanusiaan. Mereka itu tidak tega melihat penderitaan
orang-orang yang diboikot tersebut.
Golongan
inilah yang sewaktu-waktu mengirimkan makanan dan sebagainya dengan
sembunyi-sembunyi pada waktu tengah malam kepada mereka yang sedang terpisah dan
terboikot di dalam Syi'ib itu. Karena mereka takut kalau-kalau perbuatan mereka
itu sampai diketahui oleh mata-mata kaum Quraisy.
Inilah
suatu macam kesengsaraan dan kemiskinan yang diderita oleh Nabi SAW dan kaum
Muslimin pada masa itu. Meskipun demikian, Nabi SAW dan segenap kaum Muslimin
tetap tenang serta teguh mengerjakan perintah-perintah Allah dengan
sepenuhnya.
Selama
terjadi pemboikotan itu, Nabi SAW menyiarkan agama Islam, hanya di dalam Syi'ib
saja. Tentu saja penyiaran atau da'wah itu hanya tertuju kepada orang-orang yang
ikut terboikot tersebut, kecuali pada bulan-bulan Haram. Pada masa itu Nabi SAW
dapat menyiarkan Islam atau berda'wah di luar Syi'ib, kepada orang banyak, baik
kepada penduduk Makkah maupun kepada orang-orang yang datang dari luar kota, karena telah
ditetapkan oleh undang-undang bangsa Quraisy sendiri, bahwa pada bulan-bulan
Haram, tidaklah diperkenankan bagi siapapun melakukan perbuatan menganiaya. Maka
selama kurang lebih tiga tahun itu, terutama pada musim Hajji Nabi SAW dan
pengikut-pengikutnya terbebas dari penganiayaan dan kekejaman kaum musyrikin
Quraisy. Sebab itu dapatlah Nabi SAW menyiarkan da'wahnya kepada orang-orang
yang sama mengerjakan 'ibadah Hajji baik kepada bangsa Quraisy maupun kepada
bangsa-bangsa Arab lainnya.
Sekalipun
demikian, namun Abu Lahab dan kawan-kawannya sedikitpun tidak senang melihat
Nabi SAW dapat leluasa berda'wah pada tiap-tiap musim Hajji itu. Lantaran itu,
bilamana Nabi SAW berdakwah kepada orang banyak dan khalayak ramai tentang agama
yang dibawa oleh beliau, Abu Lahab selalu mengikuti di belakang beliau seraya
memfitnah kepada beliau dengan cara-cara yang sangat bengis dan
kejam.
Rusaknya Shohifah (Naskah Undang-Undang
Pemboikotan)
Pada
suatu waktu, ketika Nabi SAW sedang tidur, beliau bermimpi; Allah memberitahukan
kepada beliau, bahwa naskah undang-undang pemboikotan, yang digantungkan di
dalam Ka'bah, telah rusak dan hancur dimakan rayap, kecuali kertas yang ada
tulisan yang berbunyi :
بِـاسْمِكَ اللّـهُمَّ (Atas nama Engkau, ya
Allah !)
Oleh
sebab itu Nabi SAW lalu memberitahukan hal tersebut kepada paman beliau yang
tercinta, yaitu Abu Thalib.
Paman
beliau sangat terkejut ketika mendengar apa yang beliau nyatakan. Lantas
bertanya kepada beliau : "Apakah Tuhanmu telah memberitahukan kepadamu
tentang hal itu ?"
Nabi
SAW menjawab : "Ya"
Abu
Thalib bertanya lagi : "Sungguhkah perkataanmu itu ? Tidak berdustakah engkau
kepadaku ?"
Nabi
SAW menjawab : "Ya, demi Allah ! Sungguh dapat
dibuktikan".
Lalu
pada suatu hari Abu Thalib mengajak sebagian orang dan keluarga bani Hasyim dan
bani Muththalib yang gagah berani mendatangi kepala-kepala dan pembesar-pembesar
bangsa Quraisy di Masjid.
Setelah
Abu Thalib datang, mereka menyangka bahwa kedatangannya itu akan menyerahkan
Muhammad untuk dibunuh. Karena mereka mengetahui bahwa Abu Thalib dan orang-oang
yang ikut diboikot telah sama menderita kelaparan dan menanggung kesengsaraan
dalam hidupnya masing-masing.
Kemudian
Abu Thalib meyatakan maksud kedatangannya kepada mereka itu sebagai berikut :
"Demi Allah ! kami keluar dari Syi'ib kemari ini bukanlah untuk menyerahkan
keponakan saya (Muhammad), dan bukanlah kami akan minta ampun kepadamu semua,
tetapi kami akan memberitahukan kepada kalian akan suatu hal yang amat penting,
yang barangkali dapat mendatangkan perdamaian antara kami dan kamu semua. Yakni
: Muhammad telah menyampaikan suatu berita kepadaku, dan perkataannya itu
disertai sumpah didepanku dan aku percaya, bahwa dia tidak akan berdusta
kepadaku. Memang dia sejak kecil adalah seorang yang tidak pernah berdusta,
sebagaimana kamu semua telah maklum. Adapun perkataannya demikian : "Tuhan telah
menyuruh anai-anai (rayap) ke dalam Ka'bah, supaya memakan kertas yang berisi
naskah undang-undang pemboikotan kalian terhadap kami. Lantaran itu sekarang
surat (naskah) undang-undang pemboikotan itu telah rusak dan hancur dimakan
anai-anai, kecuali kertas yang tertulis lafadh yang berbunyi : "Bismika
Alloohumma !" Demikianlah kata Muhammad. Oleh sebab itu, marilah sekarang
kita lihat naskah undang-undang itu untuk membuktikan perkataan Muhammad itu !
Jikalau perkataan Muhammad itu tidak benar, maka kami rela menyerahkan Muhammad
kepada kamu semua, dan perbuatlah sekehendakmu kepadanya. Tetapi, jikalau
perkataan Muhammad itu terbukti, maka hal itu benar-benar menunjukkan, bahwa
undang-undang pemboikotan itu tidak diperkenankan oleh Tuhan sekalian alam,
bahkan boleh jadi orang-orang yang membuatnya terkutuk dan
dimurkai-Nya".
Setelah
pembesar-pembesar dan ketua-ketua bangsa Quraisy mendengar perkataan Abu Thalib
yang demikian itu, maka mereka ingin membuktikan kebenaran hal yang
dikatakannya. Mereka lalu masuk ke dalam Ka'bah. Akhirnya mereka masing-masing
melihat dengan mata kepala, bahwa naskah undang-undang pemboikotan itu
benar-benar telah rusak, kecuali kertas yang bertuliskan "Bismika Alloohumma
!" yang tidak dimakan rayap.
Oleh
sebab itu Abu Thalib lalu berkata kepada mereka : "Mengapa kamu semua senang
mengepung dan memboikot kami ? Sedangkan perbuatan kamu yang demikian itu
nyata-nyata menganiaya dan menyiksa kami yang akhirnya dapat pula memutuskan
persaudaraan antara kami dan kamu semua ?".
Salah
seorang dari mereka menjawab : "Abu Thalib ! Hal ini adalah karena sihir
keponakanmu semata, dan tidak akan terjadi kalau tidak karena sihir
itu".
Mendengar
jawaban mereka semacam itu, Abu Thalib tersenyum. Kemudian bersama-sama dengan
orang-orang yang mengiringkannya memohon kepada Allah : "Ya Allah ! Berilah
kami pertolongan ~untuk mengalahkan~ orang-orang yang telah menganiaya kami dan
memutuskan kasih sayang kami, dan yang telah menghalalkan barang yang diharamkan
atas kami".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar