ZAKAT FITHRAH
Pengertian Zakat Fithrah
Zakat Fithrah ialah : Zakat berupa makanan pokok dalam suatu
daerah, yang dikeluarkan sebelum shalat 'Idul Fithri.
Yang Wajib Mengeluarkan
Zakat Fithrah diwajibkan kepada orang Islam, baik tua maupun
muda, laki-laki atau perempuan, merdeka, budak bahkan kanak-kanak sekalipun,
yang mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya serta siang harinya.
Ukuran/Kadarnya
Tiap-tiap jiwa sebanyak satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3
liter), dari makanan pokok yang biasa dimakan oleh orang di dalam daerah
tersebut.
Waktu Pengeluaran
Dari terbenam matahari pada
akhir Ramadlan/malam hari raya 'Idul Fithri sampai sebelum mulai shalat 'Id.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَ اْلحُرّ وَ
الذَّكَرِ وَ اْلاُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ
اَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ.
البخارى 2: 138
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan
zakat Fithrah satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter) dari korma atau satu sha'
dari gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil dan
dewasa dari orang-orang Islam, dan beliau menyuruh supaya dikeluarkan zakat
fithrah itu sebelum orang-orang keluar pergi shalat ('Idul Fithri)". [HR.
Bukhari juz 2, hal. 138].
Boleh pula dikeluarkan 1 atau 2 hari sebelum hari raya
:
وَ كَانُوْا يُعْطُوْنَ قَبْلَ اْلفِطْرِ بِيَوْمٍ اَوْ يَوْمَيْنِ.
البخارى 2: 139
.... dan mereka (para shahabat) memberikannya (zakat fithrah)
satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri. [HR.
Al-Bukhari juz 2, hal. 139].
Dengan dasar atsar (perbuatan) shahabat tersebut, ada
sebagian 'ulama (antara lain Imam Syafi'i) yang berpendapat bahwa boleh pula
mengeluarkan zakat fithrah sejak awwal Ramadlan; karena hadits Nabi diatas hanya
menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fithrah adalah sebelum mulai shalat
'Id, tanpa penjelasan kapan permulaannya. Sedang para shahabat ada yang
mengeluarkan 1 bahkan 2 hari sebelum Hari Raya. Maka berdasar inilah sebagian
ulama berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fithrah itu sejak awwal Ramadlan
sudah boleh dan sah.
Sasaran Zakat Fithrah
Sasaran atau orang yang berhak
menerima zakat fithrah adalah tidak berbeda dengan yang berhaq menerima zakat
yang lain, yaitu sebagaimana yang tertera pada surat At-Taubah ayat 60 :
اِنَّمَا الصَّدَقتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ اْلمَسكِيْنِ وَ اْلعَامِلِيْنَ
عَلَيْهَا وَ اْلمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِى الرّقَابِ وَ اْلغَارِمِيْنَ وَ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مّنَ اللهِ، وَ اللهُ
عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ.
التوبة:60
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS.
At-Taubah : 60].
Keterangan :
Yang berhaq menerima zakat fithrah ialah :
1. اَلْفُقَرَاء (Orang-orang
fakir)
Orang-orang yang di dalam penghidupannya untuk kebutuhan
hidupnya sehari-hari, baik bagi dirinya sendiri dan atau orang yang menjadi
tanggungannya, hanya mampu mencukupi kurang dari separoh keperluannya. Misalnya
: Kebutuhan setiap harinya Rp. 20.000,- ia hanya mampu menyediakan Rp.
8.000,-
2. اَلْمَسكِيْن (orang-orang
miskin)
Yaitu sebagaimana nomor 1, tetapi lebih dari separoh,
namun kurang dari kebutuhannya. Misalnya : Kebutuhan setiap harinya Rp. 20.000,-
ia hanya mampu menyediakan Rp.12.000,- Demikian menurut pendapat sebagian
'ulama.
3. اَلْعَامِلِيْن (orang-orang
yang mengurusi zakat)
Yaitu beberapa orang yang ahli tentang seluk-beluk zakat
(hukum-hukumnya, barang-barang dan kadar masing-masing yang dizakati dan
sebagainya) yang diangkat oleh Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam dan bertugas
sebagai penghitung dan penerima serta penagih zakat dari kaum Muslimin untuk
disalurkan sebagaimana mestinya. Walaupun ia bukan fakir/ miskin, namun berhaq
menerima zakat.
Catatan :
Tentang "Panitia Zakat Fithrah". Karena yang berhaq
mengangkat dan menugaskan 'Amil adalah Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam, maka kami
berpendapat dan menyarankan, sebaiknya kita tidak mendudukkan diri sebagai
'amil, tetapi menjadi sukarelawan saja untuk membantu pemerintah dan masyarakat
dalam pengelolaan zakat fithrah tersebut. Jika diantara anggota panitia itu ada
orang yang fakir/miskin, maka mereka berhaq menerima zakat sebagai fakir/miskin,
bukan sebagai 'amil.
4.اَلْمُؤَلَّفَة قُلُوْبُهُمْ (orang-orang yang dijinakkan hatinya)
Yaitu :
a. Orang
yang baru masuk Islam, agar makin mantap keislamannya.
b. Orang
yang diharapkan masuk Islam dan telah tampak tanda-tanda simpati dan
perhatiannya terhadap Islam, ia berhaq menerima zakat tersebut agar makin
memperlancar keislaman orang itu.
c.
Orang-orang yang sangat memusuhi Islam dan berpengaruh dalam masyarakat. Minimal
diharapkan dengan pemberian zakat kepadanya itu, dapat memperlunak sikapnya atau
menghentikan sama sekali permusuhannya terhadap Islam.
Ketiga golongan diatas termasuk (اَلْمُؤَلَّفَة) yang berhaq menerima
zakat, sekalipun mereka tergolong mampu dan bukan fakir/miskin.
5. اَلرّقَاب (budak-budak)
Mereka berhaq mendapat bagian zakat untuk membebaskan
dirinya dari cengkeraman perbudakan.
6. اَلْغَارِمِيْن (orang-orang yang
berhutang)
Yaitu orang-orang Islam yang kesulitan dan kepayahan
karena terbelit oleh hutang-hutangnya yang bukan disebabkan karena
pemborosan/ma'shiyat (judi dan sebagainya). Golongan ini berhaq mendapat
penyaluran zakat untuk melunasi hutangnya.
7. سَبِيْل اللهِ (jalan Allah)
Yaitu setiap sarana dan tempat
serta orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal yang berguna bagi agama maupun
masyarakat luas. Misalnya : Masjid-masjid, sekolahan-sekolahan,
madrasah-madrasah, lembaga-lembaga da'wah, tempat pengajian dan sebagainya,
termasuk orang-orang yang menyelenggarakan serta mengurusinya. Dan juga termasuk
sabiilillaah ialah hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum dan dibenarkan
oleh agama, seperti mendirikan rumah sakit, gedung pertemuan, membangun jembatan
dan sebagainya.
8. اِبْن السَّبِيْلِ (orang yang dalam
perjalanan/musafir)
Yaitu orang yang dalam perjalanan, lalu putus bekal dan
dikhawatirkan terlantar dalam perantauannya itu, maka yang demikian inipun
berhaq menerima zakat untuk bekal pulang ke negeri/daerah asalnya. Hal ini dapat
dimengerti dan diambil hikmah yang besar yang terkandung di dalamnya, yaitu
antara lain :
Agar dimana saja orang Islam itu berada, ia selalu merasa
mempunyai saudara seiman yang selalu siap menolongnya, hingga ia tidak merasa
asing di perantauannya tersebut.
Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Zakat Fithrah
1. Yang
dikeluarkan harus sesuai dengan kwalitas yang biasa dimakannya sehari-hari.
Misalnya bila sehari-hari ia makan makanan pokok tersebut dari kwalitas nomor 1,
maka tidak selayaknya ia mengeluarkan kwalitas nomor 2 atau nomor 3. Jika sampai
terjadi demikian berarti menyalahi jiwa perintah zakat yang antara lain
bertujuan untuk mensucikan jiwa seseorang dari kekikiran hati serta menundukkan
hawa nafsunya terhadap perintah Allah. Firman Allah :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهّرُهُمْ وَ تُزَكّيْهِمْ
بِهَا.
التوبة.103
Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan
shadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. [QS. At-Taubah :
103].
Sebaliknya apabila ia
mengeluarkan yang lebih baik dari pada apa yang biasa dimakan, yang demikian itu
lebih baik baginya. Karena kelebihan dan kebaikannya itu akan kembali kepada
pelakunya itu sendiri, sesuai dengan jiwa agama dan jiwa perintah zakat fithrah
tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184 :
... فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ
خَيْرٌلَّه.
البقرة:184
..... maka barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. [QS. Al-Baqarah
: 184].
2. Zakat Fithrah tersebut dapat pula berujud uang, senilai
dengan zakat fithrah yang diwajibkan baginya. Misalnya : 1 liter = Rp. 7.000,-
maka ia mengeluarkan untuk dirinya sendiri sejumlah 3 X Rp. 7.000,- = Rp.
21.000,-
3. Anak-anak dan orang-orang
yang menjadi tanggungan seseorang, maka kewajiban zakat fithrah mereka
dibebankan kepada orang yang menanggungnya (ayah/majikan dan sebagainya). Jadi
merekalah yang berkewajiban mengeluarkan untuk anak-anak atau orang yang menjadi
tanggungannya tersebut, bila mereka itu orang Islam.
4. Ada sementara 'ulama yang
berpendapat bahwa zakat fithrah itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang miskin
saja, bukan untuk yang lain, berdasar pemahaman terhadap hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ نُخْرِجَ
زَكَاةَ اْلفِطْرِ. وَ يَقُوْلُ: اَغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ هذَا
اْليَوْمِ.
البيهقى 4: 175
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah SAW menyuruh kami
supaya mengeluarkan zakat fithrah dan beliau bersabda, "Berilah kecukupan kepada
mereka (orang-orang miskin) supaya mereka tidak minta-minta pada hari
ini”.
[HR. Al-Baihaqi juz 4, hal. 175].
Dan juga :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ.
مَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
ابو داود 2: 111، رقم: 1609
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Rasulullah SAW mewajibkan
zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan
kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin.
Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat hari raya, maka ia jadi zakat yang
maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi sedeqah
diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 111, no. 1609].
Penjelasan :
a. Zakat
Fithrah adalah termasuk bagian dari "Zakat", maka orang-orang yang berhaq
menerima zakat adalah 8 golongan, sebagaimana diterangkan pada ayat 60 surat
At-Taubah diatas.
b. Surat At-Taubah ayat 60 itu didahului dengan huruf Hashr
(pembatas) اِنَّمَا (hanyasanya),
maksudnya “bila
tidak demikian maka tidak".
Dan
sifat ayat tersebut umum yang berarti setiap shadaqah/zakat apa saja baik zakat
maal (harta benda), zakat tanaman dan lain-lain, termasuk zakat fithrah ini,
salurannya adalah 8 ashnaf (orang-orang yang berhaq menerima zakat) itu, sedang
hadits-hadits diatas bukan merupakan Takhshish (pengecualian) dari ayat
tersebut.
c. Jadi jelaslah bahwa hadits-hadits itu bukan bermakna "Zakat
Fithrah" itu wajib hanya diberikan untuk fakir/miskin agar mereka terbebas dari
kelaparan (hadits nomor 1), dan "Zakat Fithrah itu sebagai pensuci bagi
orang-orang yang berpuasa dan hanya diperuntukkan orang-orang miskin"
(hadits nomor 2), melainkan : "Zakat Fithrah itu ~bila memang keenam golongan
yang lain kurang membutuhkan~ sebaiknya disalurkan kepada para fakir/miskin agar
mereka terbebas dari cengkeraman kelaparan pada hari raya itu". (hadits
nomor1) dan : "Zakat Fithrah itu dapat mensucikan orang-orang yang berpuasa
dari kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin
dilakukannya ketika sedang berpuasa, dan boleh diperuntukkan bagi orang-orang
yang miskin, disamping bagi yang lain dari 8 golongan tersebut diatas".
d. Bila dengan dasar
hadits tersebut orang menetapkan bahwa zakat fithrah itu hanya untuk orang
miskin dengan alasan bahwa dalam kedua hadits itu yang disebutkan hanyalah orang
miskin, lalu bagaimana dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dibawah ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلىَ
اْليَمَنِ، فَذَكَرَ اْلحَدِيْثَ وَ فِيْهِ. اِنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ
صَدَقَةً فِى اَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَاءِهِمْ وَ تُرَدُّ عَلىَ
فُقَرَاءِهِمْ.
البخارى و
مسلم
Dari Ibnu 'Abbas RA, bahwasanya Nabi SAW mengutus Mu'adz
ke Yaman, lalu ia sebut hadits itu, yang didalamnya ada, "Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari
orang-orang kaya mereka, lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka".
[HR. Bukhari juz 2, hal. 108, Muslim juz 1, hal. 50].
Hadits diatas maksudnya, bukanlah "Zakat itu diambil dari
orang-orang kaya/mampu dan diperuntukkan hanya bagi orang-orang fakir saja".
Walaupun bunyi di dalam hadits itu begitu, karena (jika demikian) ini
bertentangan dengan ayat 60 surat At-Taubah dimuka. Maka jelaslah makna hadits
ini, yaitu menekankan bahwa yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang yang
mampu, bukan orang yang fakir/miskin.
5. Di muka dijelaskan bahwa
batas akhir pengeluarannya adalah sebelum orang melaksanakan shalat 'Ied. Jika
ia mengeluarkannya setelah shalat, berdosalah ia, karena berarti tidak
melaksanakan kewajiban. Dan yang dikeluarkannya itu hanya dinilai sebagai suatu
sedeqah sebagaimana sedeqah-sedeqah yang lain.
Tegasnya, dia dianggap
berdosa, karena tidak membayar zakat fithrah, sedang yang dikeluarkannya itu
dinilai sebagai sedeqah sunnah.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ.
مَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
ابو داود و 2: 111، رقم: 1609
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan
zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan
kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin.
Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat (hari raya), maka ia jadi zakat yang
maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi satu
sedeqah diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 111, no.
1609].
6. Dalam masalah zakat fithrah ini diperbolehkan membentuk
Panitia Zakat Fithrah (bukan 'amil) yang bekerja secara sukarela sebagai
pengabdian terhadap masyarakat dan negara sebagaimana riwayat di bawah ini :
عَنْ نَافِعٍ اَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَكَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ
اْلفِطْرِ اِلىَ الَّذِى تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ اْلفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ اَوْ
ثَلاَثَةٍ.
مالك
1: 285، رقم: 55
Dari Nafi', bahwasanya Abdullah bin Umar biasa
mengirimkan zakat fithrah kepada orang yang mengumpulkan zakat sebelum hari raya
'Idul Fithri dua atau tiga hari". [HR. Malik juz 1, hal. 285, no 55].
Dalam masalah mengeluarkan
zakat fithrah dari tangan yang berkewajiban, agama memberikan ketentuan batas
akhir sebagaimana diterangkan diatas. Sedang mengenai zakat fithrah itu harus
sampai kepada tangan yang berhaq menerima, agama tidak memberikan ketentuan yang
pasti, ini diserahkan pada kita semua. Yang penting zakat fithrah itu harus
ditunaikan oleh orang yang mengeluarkan sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan. Dan jika tidak ada hal yang memaksa untuk menunda sampainya kepada
yang berhaq menerima dengan alasan yang dibenarkan oleh syara'/hukum agama, maka
harus segera disampaikan sebagaimana mestinya. Namun bila ada kendala sehingga
sampainya kepada yang berhaq menerima sesudah shalat hari raya, yang demikian
ini pun tidak mengapa.
Adapun
kendala tersebut antara lain :
~ Karena
kesulitan-kesulitan pengangkutan, lantaran banyaknya yang harus dibagikan dan
yang diberi bagian.
~ Karena
jauhnya perjalanan yang harus ditempuh (di lain daerah) sehingga sampainya
sesudah hari raya, karena zakat itu tidak mesti harus dibagikan dalam daerahnya
sendiri, karena ada daerah lain yang lebih memerlukannya.
~ Dan
lain-lain sebab yang dibenarkan oleh syara'.
7.
Kadar/Ukuran Zakat Fithrah yang Normal.
Kadar yang normal adalah
satu Sha' (kurang lebih 2 1/2 kg atau 3 liter) atau jika dinilai dengan uang,
maka yang senilai dengan itu, bagi tiap-tiap jiwa, baik dirinya sendiri maupun
orang-orang Islam yang menjadi tanggungannya sebagaimana telah diterangkan di
muka.
Maka jika sisa dari
keperluan sehari semalam itu kurang dari satu sha', tetapi lebih dari keperluan
dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, bolehlah ia mengeluarkan sekedar
sisa yang dipunyai itu, walaupun kurang dari satu sha'. Hal ini tetap dipandang
sah serta telah menunaikan kewajiban agama, berdasarkan kepada Sabda Nabi SAW
:
اِذَا اَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ.
البخارى و مسلم
Apabila aku memerintahkan kamu untuk mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia semaksimalmu. [HR. Bukhari dan Muslim].
8. Boleh pula mengeluarkan zakat fithrah bagi bayi yang menjadi
tanggungannya yang masih di dalam kandungan ibunya, beralasan dengan riwayat
sebagai berikut :
Berkata Abu
Qilabah :
كَانَ يُعْجِبُهُمْ اَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ
وَ اْلكَبِيْرِ حَتَّى عَنِ اْلحَمْلِ فِى بَطْنِ اُمّهِ.
عبد الرزاق
Adalah shahabat-shahabat Nabi SAW suka mengeluarkan zakat
fithrah untuk anak-anak kecil dan dewasa, hingga untuk anak yang masih dalam
kandungan ibunya. [HR. Abdurrazaq].
Arti Fakir, Miskin Menurut Hadits
مَنْ سَأَلَ وَ عِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ
جَمْرِ جَهَنَّمَ. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا يُغْنِيْهِ ؟ قَالَ: مَا
يُغَدّيْهِ وَ يُعَشّيْهِ.
ابن حبان 1: 271، رقم: 545
Barangsiapa meminta-minta padahal ia mempunyai (makanan) yang
mencukupi baginya, maka hanyalah ia memperbanyak bara api jahannam. Shahabat
bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang mencukupi baginya itu ?". Beliau bersabda,
"Yaitu yang cukup untuk dimakan pada siangnya dan malamnya". [HR. Ibnu
Hibban juz 1, hal. 271, no. 545].
Ucapan Orang Yang Menerima Zakat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ اَبِى اَوْفَى قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص
اِذَا اَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اَللّهُمَّ صَلّ عَلَيْهِمْ. فَاَتَاهُ
اَبِى اَبُوْ اَوْفَى بِصَدَقَتِهِ. فَقَالَ: اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى آلِ اَبِى
اَوْفَى.
متفق عليه
Dari Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata, "Adalah Rasulullah
SAW, apabila ada suatu kaum datang kepada beliau untuk menyerahkan zakat, beliau
mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah shalawat kepada
mereka). Kemudian ayahku Abu Aufa datang kepada beliau untuk menyerahkan
zakatnya, lalu Nabi SAW mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaa aali Abi Aufa
(Ya Allah berilah shalawat kepada keluarganya Abu Aufa)". [HR. Muttafaq
'alaih].
Zakat Fithrah di jaman Rasulullah SAW
عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ اَبِى سَرْحٍ اَنَّهُ
سَمِعَ اَبَا سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ يَقُوْلُ: كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ اْلفِطْرِ
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ
صَاعًا مِنْ اَقِطٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.
مسلم 2: 678
Dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah bin
Sa’ad bin Abi
Sarhin, bahwasanya ia mendengar Abu Sa’id Al-Khudriy berkata,
“Kami selalu
mengeluarkan zakat fithrah satu sha’ makanan, atau satu
sha’
sya’ir
(gandum) atau satu sha’ kurma, atau satu sha'
keju, atau satu sha’ anggur
kering”.
[HR Muslim juz 2, hal. 678]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ اِذْ كَانَ
فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ كُلّ صَغِيْرٍ وَ كَبِيْرٍ حُرّ
اَوْ مَمْلُوْكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ اَوْ صَاعًا مِنْ اَقِطٍ اَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ. فَلَمْ نَزَلْ
نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ اَبِى سُفْيَانَ حَاجًّا اَوْ
مُعْتَمِرًا. فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ، فَكَانَ فِيْمَا كَلَّمَ بِهِ
النَّاسَ اَنْ قَالَ: اِنّى اُرَى اَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ
تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ. فَاَخَذَ النَّاسُ بِذلِكَ. قَالَ اَبُوْ سَعِيْدٍ:
فَاَمَّا اَنَا فَلاَ اَزَالُ اُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ اُخْرِجُهُ اَبَدًا مَا
عِشْتُ.
مسلم 2: 678
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata
: Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah kami, biasa kami
mengeluarkan zakat fithrah dari setiap anak kecil dan orang dewasa, merdeka atau
budak, satu sha’ makanan atau satu
sha’ keju,
atau satu sha’ gandum, atau satu
sha’ kurma,
atau satu sha’ anggur kering. Kami
selalu mengeluarkannya seperti itu, hingga Mu’awiyah bin Abu Sufyan
datang ke kota kami (Makkah) untuk berhajji atau ‘umrah. Dia berbicara di
atas mimbar kepada kaum muslimin. Diantara pidatonya, dia mengatakan,
“Aku
berpendapat, bahwa dua mud gandum Syam nilainya sebanding dengan satu
sha’ kurma (1
sha’ = 4
mud). Maka orang-orang pun berpegang pada pendapat itu. Abu Sa’id berkata, “Sedangkan aku tetap
mengeluarkan seperti dulu, selamanya sepanjang hidupku”. [HR Muslim juz 2,
hal. 678]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ اَنَّ مُعَاوِيَةَ لَمَّا جَعَلَ
نِصْفَ الصَّاعِ مِنَ اْلحِنْطَةِ عَدْلَ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ اَنْكَرَ ذلِكَ اَبُوْ
سَعِيْدٍ وَ قَالَ: لاَ اُخْرِجُ فِيْهَا اِلاَّ الَّذِى كُنْتُ اُخْرِجُ فِى
عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ اَوْ صَاعًا
مِنْ شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ اَقِطٍ.
مسلم 2: 679
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwa
ketika Mu’awiyah menjadikan
setengah sha’
hinthah (gandum yang kwalitasnya bagus) sama dengan satu sha’ kurma, maka Abu
Sa’id
mengingkari hal itu dan berkata, “Aku tidak akan
mengeluarkan zakat fithrah, kecuali seperti yang biasa aku keluarkan pada masa
Rasulullah SAW, yaitu satu sha’ kurma, atau satu
sha’ anggur
kering, atau satu sha’ gandum sya’ir, atau satu
sha’
keju”.
[HR Muslim juz 2, hal. 679]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar