Perselisihan Diantara Para Pembesar Quraisy
Setelah
peristiwa rusaknya shahifah undang-undang pemboikotan, maka antara para pembesar
musyrikin Quraisy timbul perselisihan dan pertengkaran. Karena sebagian
berpendapat bahwa rusaknya itu adalah karena disihir oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagian lagi berpendapat bahwa rusaknya itu karena lamanya, sehingga sebaiknya
kertasnya diganti dengan kertas yang baru dan pemboikotan harus diteruskan. Dan
sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa undang-undang pemboikotan itu harus
dihapuskan dan pemboikotan harus dihentikan, karena nyata-nyata bahwa
pemboikotan itu telah sangat menganiaya, maka tidaklah sepatutnya perbuatan yang
semacam itu dilanjutkan.
Timbulnya
perselisihan pendapat diantara mereka itu menyebabkan timbulnya pertikaian dan
percekcokan diantara mereka, dan dari hari ke hari timbul pertengkaran yang
hebat, yang sangat membahayakan, dan timbullah permusuhan diantara mereka
sendiri, sehingga hampir saja timbul pertumpahan darah.
Menurut
riwayat bahwa yang mula-mula
menganjurkan supaya undang-undang pemboikotan itu dihapuskan adalah Hisyam bin
'Amr. Ketika itu dia menemui Zuhair bin Umayyah dan berkata : "Hai Zuhair !
Apakah engkau telah puas dan senang, jika engkau memakan makanan yang enak-enak
dan berpakaian
yang baik-baik, dan berkawin dengan orang-orang perem-puan, sedang engkau
mengetahui bahwa saudara-saudaramu dari Bani Hasyim dan Muththalib mengalami
kesulitan, menderita kelaparan dan kekurangan pakaian, dan tidak boleh
mengadakan hubungan perkawinan sebagaimana mestinya ?"
Zuhair
menjawab : "Bagaimana cara kita hendak menghapuskan hal ini, sedang aku tidak
berkawan ? Sudah barang tentu aku tidak senang
melihat perbuatan yang sekejam itu. Seandainya aku ada kawan seorang saja, tentu
aku berani merobek-robek naskah undang-undang pemboikotan itu".
Hisyam
bin 'Amr berkata : "Aku sanggup menjadi kawanmu !"
Zuhair
berkata : "Ya, kalau begitu, sekarang sebaiknya kita mencari kawan seorang
lagi. Jadi kita nanti bertiga".
Hisyam
berkata : "Ya sebaiknya begitu, kalau bisa".
Kemudian
Hisyam dan Zuhair pergi ke rumah Mutha'im bin 'Ady. Setelah mereka bertemu
dengan Mutha'im lalu berkata : "Hai Mutha'im ! Apakah engkau senang dan
sampai hati merusak orang-orang dari keturunan 'Abdu Manaf
?"
Mutha'im
menjawab : "Tentu saja tidak. Tetapi apa boleh buat, sebetulnya aku ingin
menolong tapi aku tidak ada kawan".
Hisyam
dan Zuhair berkata : "Kami sanggup menjadi kawanmu, jikalau kamu
sungguh-sungguh akan menolong mereka".
Mutha'im
berkata : "Betulkah perkataanmu berdua itu ? Jika demikian mari kita bekerja
bersama-sama ! Tetapi kalau dapat, mari kita mencari kawan seorang lagi, jadi
nanti kita berempat".
Hisyam
dan Zuhair
berkata : "Ya, kalau dapat mari kita coba ! Sebab lebih banyak lebih
baik".
Kemudian
Hisyam, Zuhair dan Mutha'im pergi bersama-sama ke rumah Abul Bukhturiy. Setelah
mereka bertemu dengan Abul Bukhturiy, mereka menyampaikan maksud kedatangan
mereka. Akhirnya
Abul Bukhturiy pun sependapat dengan kehendak mereka. Hanya saja ia meminta
supaya kalau dapat mencari kawan seorang lagi, agar menjadi lebih
kuat.
Ketiga
orang itu menyetujui pendapat Abul Bukhturiy untuk pergi bersama-sama ke rumah
Zam'ah bin Al-Aswad. Setelah mereka bertemu dengan Zam'ah, lalu mereka
menuturkan kehendak mereka seperti di atas.
Kemudian
Zam'ah setuju pula dengan kehendak mereka. Sehingga ada lima orang dari
pembesar-pembesar Quraisy yang kenamaan yang akan menghapuskan undang-undang
pemboikotan itu. Dan lagi pula mereka masing-masing mempunyai
pengikut.
12.
Undang-undang Pemboikotan Dicabut
Setelah
lima orang tokoh Quraisy itu seia-sekata, yaitu : Hisyam bin 'Amr, Zuhair bin
Abi Umayyah, Al-Mutha'im bin 'Ady, Abul Bukhturiy bin
Hisyam dan Zam'ah bin Al-Aswad, maka pada suatu hari mereka mengadakan pertemuan
di rumah Hisyam bin 'Amr. Pertemuan itu diadakan untuk membuat suatu perjanjian
yang kokoh diantara mereka, dan untuk merundingkan, bagaimana caranya
menghapuskan undang-undang pemboikotan itu, untuk membebaskan kaum keluarga Bani
Hasyim dan Bani Muththalib dari pemboikotan yang amat menyengsarakan itu.
Di
dalam pertemuan rahasia itu, setelah mereka memperbincangkan masak-masak, maka
akhirnya dengan sepakat dan bersumpah mereka memutuskan, bahwa besok pagi mereka
akan pergi bersama-sama ke Masjidil Haram dengan membawa kaum-pengikut mereka
masing-masing. Sesampainya mereka di Masjidil Haram, mereka lalu masuk ke dalam
Ka'bah dan bersama-sama mengambil naskah undang-undang pemboikotan itu, kemudian
mereka robek-robek bersama. Sesudah itu mereka pergi ke Syi'ib banu Hasyim dan
Muththalib untuk membebaskan kaum Bani Hasyim dan Bani Muththalib dari
pemboikotan yang kejam itu.
Kemudian
pada keesokan harinya lima
orang tersebut keluar dari rumah mereka masing-masing dengan diiringi oleh kaum
mereka masing-masing dengan bersenjata. Adapun yang mengepalai seluruh barisan
ialah Zuhair bin Umaiyyah. Setelah Zuhair tiba di masjid lalu mengerjakan
thawaf. Setelah itu ia berpidato dihadapan kelima kaum itu, dan pidato itu
ditujukan kepada kaum Quraisy semuanya. Dalam pidato itu Zuhair berkata :
"Hai sekalian penduduk Makkah, hai saudaraku kaum Quraisy khususnya ! Apakah
kamu semua sampai hati memakan makanan yang enak-enak dan memakai pakaian yang
bermacam-macam serta kamu semua dapat menikah dengan wanita sesukamu
masing-masing, sedangkan kamu semua telah melihat bahwa kaum keluarga Bani
Hasyim dan Bani Muththalib mengalami bermacam-macam kesulitan, kekurangan
pakaian dan menderita kelaparan, dan yang telah dewasa baik laki-laki maupun
perempuan tidak dapat menikah sebagaimana mestinya ? Apakah kamu semua senang
melihat hal semacam itu ?"
Kelima
kaum itu menjawab bersama-sama dengan suara yang sekeras-kerasnya : "Kami
tidak senang ! Kami tidak sampai hati ! Dan kami tidak akan rela selama-lamanya
!"
Lalu
Zuhair berkata lagi : "Demi Allah ! Kita duduk, tidak akan
pergi dari sini selama-lamanya, jika naskah undang-undang pemboikotan yang
nyata-nyata menganiaya dan menyiksa sesama kita itu
tidak dirobek-robek dan pemboikotan yang kejam itu tidak dihapuskan
!"
Di
waktu itu Abu Jahal menyahut : "Zuhair ! Engkau berdusta ! Demi Al-Lata dan
Al-Uzza ! Jangan engkau robek naskah itu !"
Lalu
dijawab oleh Zam'ah : "Engkau yang lebih dusta, wahai Abul Hakam ! Demi Allah
! Aku ketika ikut menulis naskah undang-undang itu, hatiku sama sekali tidak
senang !"
Abul
Bukhturiy menyahut dengan berteriak : "Engkaulah yang benar, hai Zam'ah
!"
Mutha'im
ikut menyahut dengan suara keras tertuju kepada Zam'ah dan Abul Bukhturiy :
"Kamu berdualah yang benar ! Demi Allah ! Barangsiapa yang mengatakan selain
itu, dialah yang paling dusta dan paling jahat!".
Hisyam
berkata dengan suara keras tertuju kepada empat orang kawannya yaitu : Zuhair, Zam'ah, Abul Bukhturiy dan Mutha'im
: "Kalianlah yang benar ! Barangsiapa yang mengatakan selainnya, dialah yang
paling dusta dan yang berkhianat kepada bangsanya sendiri, dan paling jahat
kepada sesama manusia !"
Lantas
Mutha'im masuk ke dalam Ka'bah, mengambil naskah undang-undang itu,
lalu dibawa keluar dan dirobek-robek di muka orang banyak dan diperlihatkan
kepada segenap yang hadlir.
Kemudian
Abu Jahal mencaci maki ke lima orang tersebut, dan akhirnya ia diam dengan
perasaan mendongkol.
Kemudian
Hisyam, Zuhair, Mutha'im, Zam'ah dan Abul Bukhturiy keluar dari masjid dengan
diiringkan oleh kaum mereka, lalu mereka bersama-sama pergi menuju ke Syi'ib
bani Hasyim dan bani Muththalib. Setelah mereka sampai di sana, mereka
berteriak-teriak, memanggil-manggil dengan suara sekeras-kerasnya, menyuruh
orang-orang yang berada di dalam Syi'ib supaya keluar dari kampung
itu.
Maka
Nabi SAW dan pengikut-pengikutnya serta semua keluarga bani Hasyim dan bani
Muththalib keluar dari Syi'ib tersebut dan kembali ke kota Makkah. Dengan
demikian, bebaslah mereka dari perbuatan yang kejam itu.
13.
Abu Bakar RA Bertemu Dengan Ibnud Dughunnah
Abu
Bakar RA sekalipun ia termasuk orang besar dan hartawan yang terkenal, tetapi
oleh karena ia pencinta Nabi SAW dan da'wahnya, maka tidaklah terluput dari
bahaya penganiayaan fihak Musyrikin Quraisy.
Maka
pada waktu itu setelah Abu Bakar RA mendapat idzin dari Nabi SAW, dengan
diam-diam ia berangkat berhijrah ke negeri Habsyi, menghikuti shahabat lainnya
yang telah pergi ke sana. Beliau berangkat dari Makkah sendirian akan menuju ke
negeri Habsyi. Tetapi oleh karena beliau seorang keturunan Quraisy yang terkenal
dan tergolong bangsawan serta hartawan, terkenal pula sebagai seorang yang
budiman, maka ketika beliau berangkat ke Habsyi dan perjalanan baru sampai di
desa "Barkul-Ghimad" (suatu desa dekat pantai Yaman yang dari kota Makkah
sejauh 5 hari
perjalanan), maka tiba-tiba beliau bertemu dengan seorang kenalannya yang
menjadi kepala suku di situ bernama Ibnud Dughunnah. Ibnud Dughunnah bertanya
kepada Abu Bakar : "Engkau akan pergi ke mana, hai shahabatku
?"
Abu
Bakar menjawab dengan tegas : "Bangsaku telah mengusirku dari tanah airku,
karena aku menyembah kepada Tuhanku, maka dari itu sekarang aku akan pergi ke
negeri lain, asal aku dapat beribadat kepada Tuhanku".
Ibnud
Dughunnah lalu berkata : "Orang yang seperti engkau ini tidak boleh
dikeluarkan dan tidak boleh diusir dari negerinya sendiri. Karena engkau adalah
seorang yang suka menyambung kasih sayang sesama manusia, engkaulah orang yang
suka menanggung kepayahan orang lain, engkaulah orang yang suka menghormati
tamu-tamu, engkaulah seorang yang suka memberi dan mencarikan pekerjaan kepada
orang yang tidak mempunyai pekerjaan, dan engkaulah orang yang suka
berbuat kebenaran
! Lantaran itu aku sanggup menjamin dan melindungi dirimu untuk tetap tinggal di
Makkah, melindungi dari segala macam bahaya yang
akan ditimpakan atas dirimu, maka dari itu janganlah engkau teruskan kehendakmu,
dan sebaiknya engkau kembali ke Makkah, nanti aku antarkan, dan beribadahlah
engkau di sana kepada Tuhan-mu dengan sekehendakmu, dan akulah penjamin
keselamatan dirimu di Makkah !"
Kemudian
Abu Bakar RA kembali ke kota Makkah dengan diantarkan oleh Ibnud Dughunnah.
Setelah mereka sampai di Makkah. Maka Ibnud Dughunnah lalu berkeliling ke
rumah-rumah kepala-kepala dan pembesar-pembesar Quraisy, menerang-nerangkan
tentang kelebihan Abu Bakar dan faedahnya untuk kota Makkah, dan ia sanggup
melindungi diri Abu Bakar untuk berbakti kepada Tuhannya di kota Makkah.
Permintaan
Ibnud Dughunnah untuk melindungi diri Abu Bakar di Makkah itu diterima baik oleh
para pembesar dan kepala Quraisy. Hanya saja mereka mengajukan perjanjian kepada
Ibnud Dughunnah, untuk menjamin keamanan diri Abu Bakar di Makkah. Perjanjian
yang diminta oleh mereka itu ialah, "Abu Bakar jika akan beribadah kepada
Tuhannya, (misalnya shalat) hendaknya jangan di masjid, ia boleh mengerjakan
ibadatnya kepada Tuhannya di rumahnya sendiri, dan jika ia hendak membaca
Al-Qur'an hendaknya jangan di masjid pula, ia boleh membaca, tetapi di rumahnya
sendiri, dan jangan pula sampai terdengar oleh orang-orang perempuan Quraisy,
anak-anak Quraisy dan budak-budak Quraisy, karena jika
bacaannya sampai terdengar oleh mereka, pasti mereka akan tertarik, dan yang
demikian itu sangat dikhawatirkan oleh pembesa-pembesar Quraisy".
Kemudian
perjanjian yang diajukan oleh pembesar-pembesar Quraisy kepada Ibnud Dughunnah
itu diterima dengan baik dan disampaikan kepada Abu Bakar. Beliau pun menerima
juga. Maka dari itu beliau lalu mendirikan masjid sendiri di depan rumahnya dan
disitulah beliau mengerjakan shalat dan beribadat kepada Tuhan, membaca
ayat-ayat Al-Qur'an, dan mengajarkannya kepada keluarganya. Tetapi tidak
disangka-sangka oleh beliau bahwa setiap beliau sedang mengerjakan shalat atau
membaca Al-Qur'an, selalu diintai dan didengarkan oleh orang-orang perempuan
Quraisy, pemuda-pemuda mereka dan anak-anak mereka yang bertetangga
di kanan kirinya. Akhirnya banyaklah orang-orang perempuan dan pemuda-pemuda
Quraisy yang hati sanubarinya tertarik oleh bacaan Al-Qur'an
tadi.
Kejadian
itu mengejutkan kaum Musyrikin Quraisy. Karenanya, mereka lalu memberitahukan
kepada Ibnud Dughunnah tentang adanya peristiwa ini. Setelah menerima berita ini
Ibnud Dughunnah datang ke Makkah dan memperingatkan Abu Bakar tentang segala
sesuatu yang telah terjadi, yang dianggap sangat mengkhawatirkan kaum Quraisy.
Peringatan itu dijawab beliau bahwa beliau tidak merasa sedikitpun menyalahi
perjanjian yang telah dibuat oleh kaum Quraisy, sebab beliau tetap
mengerjakan shalat dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an di halaman rumahnya sendiri.
Adapun jika terjadi peristiwa semacam itu
dan mereka keberatan, itu terserah mereka.
Selanjutnya,
Ibnud Dughunnah tidak sanggup lagi menjamin keamanan diri Abu Bakar.
Maka dari itu ia lalu mencabut perjanjiannya dengan pembesar-pembesar dan
kepala-kepala Quraisy. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Ibnud Dughunnah :
"Jika kamu tidak sanggup melindungi diriku, itu terserah kamu, karena
selamanya aku tidak pernah minta perlindungan
kepadamu. Dan yang sudah terjadi itu, hanyalah dari kehendakmu sendiri. Sekarang
aku kembalikan perlindunganmu itu, dan aku ridla dengan perlindungan Allah
semata".
Kemudian
Abu Bakar RA tetap tinggal di Makkah sebagaimana biasa dengan perlindungan Allah
semata !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar