3/25/2018

Tentara Islam menghancurkan berhala Fuls

Tentara Islam menghancurkan berhala Fuls



Pada bulan Rabiul awwal tahun ke-9 Hijriyah Nabi SAW mengerahkan satu pasukan tentara yang berjumlah 150 orang yang semuanya terdiri dari kaum Anshar yang dikepalai oleh ‘Ali bin Abu Thalib ke kota Thayyi’ untuk menghancurkan berhala Fuls, sebuah berhala kaum Thayyi yang terkenal sakti.
Pasukan Islam berangkat dari Madinah, yang seratus orang berkendaraan unta dan yang lima puluh orang berkendaran kuda. Setelah mereka tiba di Thayyi’, kebetulan pada waktu Shubuh, lalu mereka segera bergerak, membakar dan menghancurkan berhala tersebut.
Setelah penduduk Thayyi’ mengetahui bahwa berhalanya yang dianggap sakti dan disembah-sembah itu dibakar dan dihancurkan oleh tentara Islam, timbullah kemarahan mereka hingga terjadi pertempuran antara kedua pasukan. Pimpinan mereka yaitu ‘Adi bin Hatim Ath-Thaiy (ketika itu beragama Nashrani), setelah melihat bendera Islam berkibar, dengan cepat ia melarikan diri bersama keluarganya menuju ke Syam untuk mencari perlindungan.

Pertempuran berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Kemudian pasukan Islam kembali ke Madinah dengan membawa tawanan dan binatang ternak sebagai rampasan. Diantara orang yang ditawan ialah seorang perempuan yang bernama Saffanah, saudara perempuan Adiy bin Hatim.
Diantara rampasan itu ada tiga bilah pedang yang terkenal sakti di kalangan bangsa Arab, yaitu yang diberi nama Rasub, Al-Mukhdzam, dan pedang buatan Yaman. Dan tiga buah baju besi yang didapat dalam sebuah almari tempat berhala tersebut.
Adapun Saffanah, setelah sampai di Madinah, lalu diserahkan kepada Nabi SAW, karena ia seorang perempuan yang cerdik dan tangkas, lalu ia ditahan di dekat pintu masjid, begitu pula para tawanan yang lain ditahan di tempat tersebut. Pada hari pertama ketika Nabi SAW berjalan mengelilingi dan memeriksa para tawanan, ia berkata kepada beliau, menerangkan tentang keadaan orangtuanya dan jasa-jasa orang tuanya kepada masyarakat dan sebagainya. Kemudian ia mengajukan permohonan kepada Nabi SAW supaya dibebaskan.
Kemudian pada hari kedua, sewaktu Nabi SAW berjalan melintas di depannya, Saffanah mengatakan lagi seperti yang ia katakan pada hari pertama, dan ia mengatakan juga bahwa sebenarnya ia adalah saudara kandung ‘Adiy bin Hatim. Setelah Nabi SAW mendengar demikian, beliau lalu bertanya tentang keadaan ‘Adiy bin Hatim, kemana perginya ? Oleh Saffanah diterangkan secara jujur, bahwa Adiy bin Hatim bersama keluarganya dengan membawa harta bendanya pergi ke negeri Syam untuk mencari perlindungan. Selanjutnya Saffanah mengajukan permohonan lagi supaya dirinya dibebaskan.
Pada hari ketiga, sewaktu Nabi SAW melintas di depannya, ia mengatakan lagi kepada beliau apa yang dikatakan pada hari pertama dan kedua. Dan mengajukan permohonan pula supaya dirinya dibebaskan. Oleh Nabi SAW ketika itu dijawab, bahwa permohonannya akan dikabulkan, tetapi ia harus shabar beberapa hari lagi. Beliau mengatakan bahwa ia dibebaskan, apabila orang-orang dari kaumnya yang bisa dipercaya datang kepada beliau untuk mengambil dirinya.
Selang beberapa hari kemudian, datanglah serombongan orang yang bisa dipercaya dari kaumnya ke Madinah untuk mengambilnya. Ketika itu Saffanah lalu dibebaskan oleh Nabi SAW, dan ia diberinya kendaraan, bekal dan pakaian serta uang. Kemudian berangkatlah Saffanah dengan rombongan orang dari kaumnya menuju ke negeri Syam untuk menyusul saudaranya, yaitu ‘Adiy bin Hatim dan keluarganya.
Kaab bin Zuhair masuk Islam
Kaab bin Zuhair adalah seorang ahli syair qabilah Muzainah yang terkenal. Dia termasuk seorang dari ahli-ahli syair yang ternama di tanah ‘Arab, dan ia mempunyai saudara laki-laki yang bernama Bujair bin Zuhair.
Dahulu, Kaab bin Zuhair termasuk orang yang selalu mengejek dan menghina Nabi SAW dan Al-Quran dengan syair-syair yang dikarangnya dan diucapkannya di muka orang ramai, maka pada hari Fathu Makkah, ia melarikan diri ke Thaif.
Pada waktu itu Kaab dan Bujair, mereka membicarakan tentang keadaan Nabi dan para pengikutnya, dan akhirnya Bujari berkata kepada Ka’ab, Sebaiknya kamu tinggal di sini dulu, aku akan pergi untuk datang kepada orang laki-laki itu, (yakni Nabi Muhammad SAW). Di sana aku akan mendengarkan perkataan-perkataannya dan ingin melihat keadaan yang sebenarnya”. Lalu Kaab waktu itu menyetujuinya.
Bujair lalu berangkat ke Madinah, sedang Ka’ab berdiam di Thaif. Setelah Bujair sampai di Madinah dan bertemu dengan Nabi SAW, ia mendengarkan dan memperhatikan segala sesuatu yang dibacakan dan yang diucapkan oleh Nabi SAW, lalu hatinya tertarik dan akhirnya ia masuk Islam.
Kemudian pada suatu hari Bujair mengirim sepucuk surat kepada saudaranya (Ka’ab), yang isinya menerangkan bahwa ia telah masuk Islam dan memberitahukannya pula bahwa para penyair bangsa Quraisy yang terkenal dengan syair-syairnya yang mencela, mencerca dan menghina Nabi dan Al-Qur’an, masing-masing sudah dijatuhi hukum bunuh, kecuali dua orang yang melarikan diri dengan tidak diketahui rimbanya, yaitu Ibnu Ziba’ra dan Hubairah bin Wahb. Selanjutnya Bujair menyampaikan maksudnya kepada Kaab, ia berkata, Sebaiknya kamu segera datang menghadap Nabi SAW dan masuk Islam serta bertaubat. Karena beliau tidak akan membunuh seseorang yang datang kepada beliau dengan bertaubat. Tetapi kalau kamu tidak mau, maka silahkan melarikan diri dan pergi ke mana saja untuk menyelamatkan diri”.
Setelah Kaab bin Zuhair menerima surat yang berisi peringatan dari saudaranya (Bujair) yang baik itu, lalu ia marah. Kemudian ia membalas surat kepada Bujair dengan syair-syair yang berisi caci-maki, cercaan dan penghinaan kepada Nabi SAW. Setelah Bujair menerima surat itu, lalu ia memberitahukan kepada Nabi SAW. Setelah mendengar yang demikian itu, Nabi SAW lalu memberi ancaman kepada Ka’ab bin Zuhair.
مَنْ لَقِيَ كَعْبًا فَلْيَقْتُلْهُ. البداية و النهاية
Barangsiapa yang ketemu Ka’ab (bin Zuhair), maka hendaklah ia membunuhnya. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz 4, hal. 774]
Bujair lalu mengirim surat lagi kepada Kaab yang menerangkan tentang ancaman Nabi SAW kepadanya. Setelah Ka’ab menerima surat Bujair itu, maka kawan-kawan Ka’ab sama menakut-nakutinya dengan mengatakan bahwa kalau Muhammad marah, maka itu sama artinya ia dijatuhi hukum bunuh. Akhirnya Ka’ab bingung, sehingga bumi yang luas itu terasa sempit baginya. Akhirnya secara diam-diam Ka’ab mengubah pendiriannya dan memutuskan akan pergi ke Madinah menghadap Nabi SAW dan akan bertaubat dengan sesungguhnya.
Lalu Kaab berangkat ke Madinah seorang diri, setelah sampai di sana, lalu ia datang ke rumah seorang kenalannya dari suku Juhainah dan bermalam di situ. Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia diantar oleh kenalannya itu ke masjid Nabi, yang kebetulan beliau sedang di masjid mengerjakan shalat Shubuh, lalu ia ikut shalat bersama Nabi SAW. Setelah Nabi SAW selesai mengerjakan shalat, ia lalu disuruh oleh kenalannya itu supaya menghadap Nabi, lalu kenalannya itu berkata kepadanya, “Inilah Rasulullah, mohonlah keamanan kepada beliau”.
Kemudian Kaab bin Zuhair duduk di hadapan Nabi SAW, namun beliau belum mengenal wajah Ka’ab, demikian pula orang-orang yang ada di dalam masjid, maka tidak ada seorangpun yang mengganggu kepadanya. Ia berkata kepada Nabi SAW, “ Jika Kaab bin Zuhair datang untuk memohon keamanan kepada engkau, ya Rasulullah dengan bertaubat dan masuk Islam, apakah engkau suka menerimanya jika ia saya bawa menghadap engkau ?. Beliau menjawab, Ya.
Ketika itu Kaab lalu berkata, Kalau begitu, sayalah Ka’ab bin Zuhair, ya Rasulullah.
Setelah mendengar ucapan Ka’ab yang demikian itu salah seorang shahabat dari kaum Anshar segera meloncat dan memohon ijin kepada Nabi SAW untuk membunuhnya. Akan tetapi seketika itu juga dicegah oleh Nabi SAW, karena beliau mengetahui bahwa kedatangan Ka’ab itu memang untuk masuk Islam dan bertaubat dari segala kesalahannya.
Selanjutnya setelah Ka’ab masuk Islam, ia lalu mengucapkan syair-syairnya dengan panjang lebar, yang diantaranya berisi pujian kepada Nabi SAW, kepada Islam dan kepada kaum pengikut beliau. Syair-syairnya amat indah serta mengandung isi yang amat dalam, sehingga dapat menarik hati orang yang mendengarnya.
Maka ketika ia mengucapkan syair-syairnya dan sampai pada salah satu barisnya yang berbunyi :
اِنَّ الرَّسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ      مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلٌ
Sungguh Rasulullah itu cahaya yang dipergunakan untuk menerangi dunia, sebilah pedang yang amat tajam dari pedang-pedang Allah yang terhunus. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz 4, hal. 774]
Ketika Nabi SAW mendengar ini, seketika itu beliau melemparkan kain selimutnya yang sedang dipakainya kepada Ka’ab, karena hati beliau sangat tertarik pada syair tersebut.

‘Adiy bin Hatim masuk Islam

Adapun masuk Islamnya ‘Adiy bin Hatim, diriwayatkan dalam Sirah Halabiyah juz 3, hal. 317, sebagai berikut : Adiy bin Hatim berkata :
Aku adalah seorang yang terhormat di sisi kaumku (kaum Thayyi’), aku memungut seperempat dari harta jarahan sebagaimana yang telah biasa dilakukan oleh para bangsawan ‘Arab di masa jahiliyah. Maka ketika aku mendengar khabar Utusan Allah dibangkitkan, aku adalah seorang diantara kaumku yang paling benci kepadanya. Tidak ada seorang pun di negeriku yang kebenciannya kepada Rasulullah melebihi kebencianku kepadanya.
Pada suatu hari aku memerintahkan kepada penggembala untaku, supaya menyediakan dan mempersiapkan unta-untaku yang baik-baik dan yang gemuk-gemuk, budak itu aku pesan juga bahwa jika sewaktu-waktu mendengar berita tentara Muhammad telah menginjak tanah negeriku, supaya segera melaporkannya kepadaku.
Kemudian pada suatu hari budakku datang kepadaku dan mengatakan, “Wahai tuan ‘Adiy, apa yang akan tuan perbuat jika Muhammad datang kepada tuan, maka sekarang ini juga perbuatlah, karena hamba telah melihat bahwa bendera telah berkibar, dan hamba bertanya kepada orang-orang tentang itu, kemudian mereka menjawab, Ini adalah pasukan Muhammad”.
Seketika itu aku lalu berkata kepada budakku, “Persiapkanlah unta-untaku”.
Maka dengan segera budakku mempersiapkan dan mengantarkan unta-unta itu kepadaku. Sesudah itu aku lalu berangkat bersama keluargaku ke negeri Syam untuk mencari perlindungan kepada orang-orang yang mengikut agamaku (Nashrani) di sana, dan ketika itu aku meninggalkan anak perempuan Hatim yang bernama Saffanah binti Hatim, di negeriku, maka ia lalu ditangkap dan ditawan bersama orang-orang yang ditawan.
Setelah orang-orang dari kaumku yang ditawan dihadapkan kepada Rasulullah, dan beliau menerima khabar dari saudara perempuanku bahwa aku pergi bersama keluargaku ke Syam, lalu beliau memberi kasih sayang kepada saudaraku itu, dan akhirnya ia dibebaskan, dan diberi pakaian, bekal makanan dan kendaraan, sehingga ia datang ke Syam dengan selamat.
Pada suatu hari aku sedang duduk bersama keluargaku, mendadak ketika itu aku melihat seorang perempuan sedang berjalan, maka aku berkata kepada istriku, Itu anak perempuan Hatim !”.
Ternyata betul, memang dialah yang datang kepadaku, lalu ia berkata :
اَلْقَاطِعُ الظَّالِمُ اِحْتَمَلْتَ بِاَهْلِكَ وَ وَلَدِكَ وَ قَطَعْتَ بَقِيَةَ وَالِدَيْكَ وَ عَوْرَتَكَ.
Hai orang pemutus persaudaraan, orang penganiaya. Kamu pergi bersama keluargamu dan anak-anakmu, tetapi kamu memutuskan peninggalan orang tuamu sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabmu.
Lalu aku berkata kepadanya, “Oh saudara perempuanku, janganlah kamu mengatakan melainkan yang baik. Demi Allah, tidak ada alasan bagiku, sungguh aku telah berbuat kepadamu seperti yang kau katakan.
Kemudian ia turun dari kendaraannya, lalu berkumpul serumah denganku. Pada suatu hari aku bertanya tentang hal keadaan Utusan Allah itu, “Bagaimana pendapatmu tentang halnya lelaki itu ?”. Ia menjawab dengan tangkas dan jelas, “Pendapatku, demi Allah, kamu seharusnya segera datang kepadanya. Jika ia betul seorang Nabi Utusan Allah, maka orang yang mengikut lebih dahulu, itulah orang yang utama, dan jika ia itu seorang raja, maka tetaplah kamu seperti itu juga.
Mendengar jawaban saudaranya itu ‘Adiy bin Hatim tertarik hatinya, lalu ia berkata :
وَ اللهِ اِنَّ هذَا لَلرَّأْيُ
Demi Allah, ini memang pendapat yang benar”.
Kemudian aku berangkat ke Madinah. Setiba di Madinah, aku segera menghadap kepada Rasulullah. Beliau bertanya, “Siapakah orang laki-laki ini ?”. Aku menjawab, “ Adiy bin Hatim.
Waktu itu beliau sedang berada di masjid, kemudian beliau bangun berdiri lalu berangkat bersamaku ke rumah beliau. Demi Allah, beliaulah yang menuntunku ke rumah beliau. Sebelum sampai di rumah, di perjalanan ada seorang perempuan tua ingin bertemu dengan beliau seraya memberhentikannya, dan beliau mau berhenti hingga lama, karena menerima segala sesuatu yang dikemukakan kepada beliau. Setelah perempuan tua itu selesai menyampaikan keperluannya kepada beliau, maka kami melanjutkan berjalan ke rumah beliau. Ketika itu aku berkata dalam hatiku, bahwa beliau itu terang bukanlah seorang raja. Setelah tiba di rumah lalu segera masuk. Setelah masuk aku diambilkan sebuah alas duduk dari kulit yang di dalamnya berisi sabut, lalu alas duduk itu diberikan kepadaku sambil berkata, Duduklah kamu di atasnya”. Lalu aku berkata, “Tuanlah yang lebih patut duduk di atas alas duduk itu”. Beliau bersabda, “Engkaulah yang patut duduk di atasnya”.
Lalu aku duduk di atas alas duduk itu, sedang beliau duduk di tanah. Waktu itu aku berkata dalam hati, “Demi Allah, ini bukanlah kelakuan seorang raja”. Sesudah itu beliau bersabda :
يَا عَدِيُّ بْنَ حَاتِمٍ، اَسْلِمْ تَسْلَمْ
Hai Adiy bin Hatim, masuk Islamlah engkau, niscaya engkau selamat”.
Demikianlah beliau berkata hingga tiga kali.
Aku lalu menjawab, Saya telah mengikut suatu agama”.
Beliau bersabda, Aku lebih mengerti tentang agamamu dari pada kamu”. Maka aku bertanya kepada beliau, “Tuan lebih mengetahui tentang agama saya ?”. Beliau lalu bersabda, “Ya, bukankah engkau dari golongan Rakusiyah (orang yang beragama Nashrani bercampur dengan menyembah berhala) ? Bukankah engkau dari kaum yang beragama ?. Aku menjawab, Benar. Beliau bersabda, Bukankah kamu itu pemungut seperempat harta jarahan pada kaummu ?. Aku jawab, Ya, benar. Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya yang demikian itu, tidak halal bagi kamu dalam agamamu. Aku menjawab, Ya benar, demi Allah.
Ketika itulah aku mengerti bahwa beliau itu seorang Nabi yang diutus oleh Allah, karena beliau mengerti apa-apa yang beliau sendiri tidak melihatnya. Kemudian beliau bersabda, “Hai ‘Adiy, barangkali tidak ada lain yang menghalangi engkau masuk agama (Islam) ini melainkan karena engkau melihat, engkau mengatakan, “Sesungguhnya yang mengikut agama itu tidak lain kecuali orang-orang yang lemah dan orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan, yang mereka itu sesungguhnya telah dilempar oleh bangsa ‘Arab berserta hajat mereka”. Demi Allah, sungguh hampir tiba masanya harta benda akan melimpah pada mereka, sehingga tidak akan didapati orang yang mengambilnya itu. Barangkali tidak lain yang menghalangi engkau masuk di dalam agama ini, karena engkau lihat dari banyaknya orang yang memusuhi mereka dan sedikitnya jumlah mereka (orang-orang Islam). “Apakah kamu sudah tahu Al-Hirah ?”. Aku menjawab, “Saya belum pernah melihatnya, tetapi saya pernah mendengar nama tempat tersebut. Beliau bersabda, Demi Allah, sungguh dari Al-Hirah itu akan keluar wanita pergi naik unta sendirian, berthawaf di Baitullah dengan aman”. Dalam satu riwayat disebutkan, “Demi Allah, sungguh hampir tiba saatnya, bahwa engkau mendengar seorang perempuan yang keluar (bepergian) dari kota Qadisiyah, menunggang untanya sehingga ia datang berziyarah ke Baitullah dengan aman. Barangkali sesungguhnya yang menghalangi engkau dari memasuki agama ini, karena engkau melihat, bahwa kerajaan dan kekuatan sedang berada di tangan orang selain mereka (kaum muslimin). Demi Allah, sungguh hampir tiba saatnya bahwa engkau mendengar istana-istana putih (untuk raja-raja) di negeri Babil sungguh-sungguh ditaklukkan oleh mereka.
‘Adiy bin Hatim berkata : Lalu aku masuk Islam.

Dan sungguh aku telah melihat istana-istana putih ditaklukkan, aku telah melihat wanita pergi ke Baitullah tidak takut kecuali kepada Allah. Dan demi Allah, sungguh pasti terjadi harta akan melimpah, sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerima (sedeqah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...