Tentara Islam menghancurkan
berhala Fuls
Pada bulan Rabi’ul
awwal tahun ke-9 Hijriyah Nabi SAW mengerahkan satu pasukan tentara yang
berjumlah 150 orang yang semuanya terdiri dari kaum Anshar yang dikepalai oleh
‘Ali
bin Abu Thalib ke kota Thayyi’
untuk menghancurkan berhala Fuls, sebuah berhala kaum Thayyi’
yang terkenal sakti.
Pasukan Islam berangkat dari Madinah, yang seratus orang
berkendaraan unta dan yang lima puluh orang berkendaran kuda. Setelah
mereka tiba di Thayyi’,
kebetulan pada waktu Shubuh, lalu mereka segera bergerak, membakar dan
menghancurkan berhala tersebut.
Setelah penduduk Thayyi’
mengetahui bahwa berhalanya yang dianggap sakti dan disembah-sembah itu dibakar
dan dihancurkan oleh tentara Islam, timbullah kemarahan mereka hingga terjadi
pertempuran antara kedua pasukan. Pimpinan mereka yaitu ‘Adi
bin Hatim Ath-Thaiy (ketika itu beragama Nashrani), setelah melihat bendera
Islam berkibar, dengan cepat ia melarikan diri bersama keluarganya menuju ke
Syam untuk mencari perlindungan.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Kemudian
pasukan Islam kembali ke Madinah dengan membawa tawanan dan binatang ternak
sebagai rampasan. Diantara orang yang ditawan ialah seorang perempuan yang
bernama Saffanah, saudara perempuan ‘Adiy
bin Hatim.
Diantara rampasan itu ada tiga bilah pedang yang terkenal sakti
di kalangan bangsa ‘Arab,
yaitu yang diberi nama Rasub, Al-Mukhdzam, dan pedang buatan Yaman. Dan tiga
buah baju besi yang didapat dalam sebuah almari tempat berhala tersebut.
Adapun Saffanah, setelah sampai di Madinah, lalu diserahkan
kepada Nabi SAW, karena ia seorang perempuan yang cerdik dan tangkas, lalu ia
ditahan di dekat pintu masjid, begitu pula para tawanan yang lain ditahan di
tempat tersebut. Pada hari pertama ketika Nabi SAW berjalan mengelilingi dan
memeriksa para tawanan, ia berkata kepada beliau, menerangkan tentang keadaan
orangtuanya dan jasa-jasa orang tuanya kepada masyarakat dan sebagainya.
Kemudian ia mengajukan permohonan kepada Nabi SAW supaya dibebaskan.
Kemudian pada hari kedua, sewaktu Nabi SAW berjalan melintas di
depannya, Saffanah mengatakan lagi seperti yang ia katakan pada hari pertama,
dan ia mengatakan juga bahwa sebenarnya ia adalah saudara kandung ‘Adiy
bin Hatim. Setelah Nabi SAW mendengar demikian, beliau lalu bertanya tentang
keadaan ‘Adiy
bin Hatim, kemana perginya ? Oleh Saffanah diterangkan secara jujur, bahwa ‘Adiy
bin Hatim bersama keluarganya dengan membawa harta bendanya pergi ke negeri Syam
untuk mencari perlindungan. Selanjutnya Saffanah mengajukan permohonan lagi
supaya dirinya dibebaskan.
Pada hari ketiga, sewaktu Nabi SAW melintas di depannya, ia
mengatakan lagi kepada beliau apa yang dikatakan pada hari pertama dan kedua.
Dan mengajukan permohonan pula supaya dirinya dibebaskan. Oleh Nabi SAW ketika
itu dijawab, bahwa permohonannya akan dikabulkan, tetapi ia harus shabar
beberapa hari lagi. Beliau mengatakan bahwa ia dibebaskan, apabila orang-orang
dari kaumnya yang bisa dipercaya datang kepada beliau untuk mengambil
dirinya.
Selang beberapa hari kemudian, datanglah serombongan orang yang
bisa dipercaya dari kaumnya ke Madinah untuk mengambilnya. Ketika itu Saffanah
lalu dibebaskan oleh Nabi SAW, dan ia diberinya kendaraan, bekal dan pakaian
serta uang. Kemudian berangkatlah Saffanah dengan rombongan orang dari kaumnya
menuju ke negeri Syam untuk menyusul saudaranya, yaitu ‘Adiy
bin Hatim dan keluarganya.
Ka’ab
bin Zuhair masuk Islam
Ka’ab
bin Zuhair adalah seorang ahli syair qabilah Muzainah yang terkenal. Dia
termasuk seorang dari ahli-ahli syair yang ternama di tanah ‘Arab,
dan ia mempunyai saudara laki-laki yang bernama Bujair bin Zuhair.
Dahulu, Ka’ab
bin Zuhair termasuk orang yang selalu mengejek dan menghina Nabi SAW dan
Al-Qur’an
dengan syair-syair yang dikarangnya dan diucapkannya di muka orang ramai, maka
pada hari Fathu Makkah ,
ia melarikan diri ke Thaif.
Pada waktu itu Ka’ab
dan Bujair, mereka membicarakan tentang keadaan Nabi dan para pengikutnya, dan
akhirnya Bujari berkata kepada Ka’ab,
“Sebaiknya
kamu tinggal di sini dulu, aku akan pergi untuk datang kepada orang laki-laki
itu, (yakni Nabi Muhammad SAW). Di sana aku akan mendengarkan
perkataan-perkataannya dan ingin melihat keadaan yang sebenarnya”.
Lalu Ka’ab
waktu itu menyetujuinya.
Bujair lalu berangkat ke Madinah, sedang Ka’ab
berdiam di Thaif. Setelah Bujair sampai di Madinah dan bertemu dengan Nabi SAW,
ia mendengarkan dan memperhatikan segala sesuatu yang dibacakan dan yang
diucapkan oleh Nabi SAW, lalu hatinya tertarik dan akhirnya ia masuk Islam.
Kemudian pada suatu hari Bujair mengirim sepucuk surat kepada
saudaranya (Ka’ab),
yang isinya menerangkan bahwa ia telah masuk Islam dan memberitahukannya pula
bahwa para penyair bangsa Quraisy yang terkenal dengan syair-syairnya yang
mencela, mencerca dan menghina Nabi dan Al-Qur’an,
masing-masing sudah dijatuhi hukum bunuh, kecuali dua orang yang melarikan diri
dengan tidak diketahui rimbanya, yaitu Ibnu Ziba’ra
dan Hubairah bin Wahb. Selanjutnya Bujair menyampaikan maksudnya kepada Ka’ab,
ia berkata, “Sebaiknya
kamu segera datang menghadap Nabi SAW dan masuk Islam serta bertaubat. Karena
beliau tidak akan membunuh seseorang yang datang kepada beliau dengan bertaubat.
Tetapi kalau kamu tidak mau, maka silahkan melarikan diri dan pergi ke mana saja
untuk menyelamatkan diri”.
Setelah Ka’ab
bin Zuhair menerima surat yang berisi peringatan dari saudaranya
(Bujair) yang baik itu, lalu ia marah. Kemudian ia membalas surat kepada Bujair dengan
syair-syair yang berisi caci-maki, cercaan dan penghinaan kepada Nabi SAW.
Setelah Bujair menerima surat itu, lalu ia memberitahukan kepada Nabi
SAW. Setelah mendengar yang demikian itu, Nabi SAW lalu memberi ancaman kepada
Ka’ab
bin Zuhair.
مَنْ لَقِيَ كَعْبًا فَلْيَقْتُلْهُ. البداية و النهاية
Barangsiapa yang ketemu Ka’ab
(bin Zuhair), maka hendaklah ia membunuhnya. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz
4, hal. 774]
Bujair lalu mengirim surat lagi kepada Ka’ab
yang menerangkan tentang ancaman Nabi SAW kepadanya. Setelah Ka’ab
menerima surat
Bujair itu, maka kawan-kawan Ka’ab
sama menakut-nakutinya dengan mengatakan bahwa kalau Muhammad marah, maka itu
sama artinya ia dijatuhi hukum bunuh. Akhirnya Ka’ab
bingung, sehingga bumi yang luas itu terasa sempit baginya. Akhirnya secara
diam-diam Ka’ab
mengubah pendiriannya dan memutuskan akan pergi ke Madinah menghadap Nabi SAW
dan akan bertaubat dengan sesungguhnya.
Lalu Ka’ab
berangkat ke Madinah seorang diri, setelah sampai di sana , lalu ia datang ke
rumah seorang kenalannya dari suku Juhainah dan bermalam di situ. Pada keesokan
harinya, pagi-pagi benar ia diantar oleh kenalannya itu ke masjid Nabi, yang
kebetulan beliau sedang di masjid mengerjakan shalat Shubuh, lalu ia ikut shalat
bersama Nabi SAW. Setelah Nabi SAW selesai mengerjakan shalat, ia lalu disuruh
oleh kenalannya itu supaya menghadap Nabi, lalu kenalannya itu berkata
kepadanya, “Inilah
Rasulullah, mohonlah keamanan kepada beliau”.
Kemudian Ka’ab
bin Zuhair duduk di hadapan Nabi SAW, namun beliau belum mengenal wajah Ka’ab,
demikian pula orang-orang yang ada di dalam masjid, maka tidak ada seorangpun
yang mengganggu kepadanya. Ia berkata kepada Nabi SAW, “
Jika Ka’ab
bin Zuhair datang untuk memohon keamanan kepada engkau, ya Rasulullah dengan
bertaubat dan masuk Islam, apakah engkau suka menerimanya jika ia saya bawa
menghadap engkau ?”.
Beliau menjawab, “Ya”.
Ketika itu Ka’ab
lalu berkata, “Kalau
begitu, sayalah Ka’ab
bin Zuhair, ya Rasulullah”.
Setelah mendengar ucapan Ka’ab
yang demikian itu salah seorang shahabat dari kaum Anshar segera meloncat dan
memohon ijin kepada Nabi SAW untuk membunuhnya. Akan tetapi seketika itu juga
dicegah oleh Nabi SAW, karena beliau mengetahui bahwa kedatangan Ka’ab
itu memang untuk masuk Islam dan bertaubat dari segala kesalahannya.
Selanjutnya setelah Ka’ab
masuk Islam, ia lalu mengucapkan syair-syairnya dengan panjang lebar, yang
diantaranya berisi pujian kepada Nabi SAW, kepada Islam dan kepada kaum pengikut
beliau. Syair-syairnya amat indah serta mengandung isi yang amat dalam, sehingga
dapat menarik hati orang yang mendengarnya.
Maka ketika ia mengucapkan syair-syairnya dan sampai pada salah
satu barisnya yang berbunyi :
اِنَّ الرَّسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ
مَسْلُوْلٌ
Sungguh Rasulullah itu cahaya yang dipergunakan untuk
menerangi dunia, sebilah pedang yang amat tajam dari pedang-pedang Allah yang
terhunus. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz 4, hal. 774]
Ketika Nabi SAW mendengar ini, seketika itu beliau melemparkan
kain selimutnya yang sedang dipakainya kepada Ka’ab,
karena hati beliau sangat tertarik pada syair tersebut.
‘Adiy bin Hatim masuk
Islam
Adapun masuk Islamnya ‘Adiy
bin Hatim, diriwayatkan dalam Sirah Halabiyah juz 3, hal. 317, sebagai berikut :
‘Adiy
bin Hatim berkata :
Aku adalah seorang yang terhormat di sisi kaumku (kaum
Thayyi’),
aku memungut seperempat dari harta jarahan sebagaimana yang telah biasa
dilakukan oleh para bangsawan ‘Arab
di masa jahiliyah. Maka ketika aku mendengar khabar Utusan Allah dibangkitkan,
aku adalah seorang diantara kaumku yang paling benci kepadanya. Tidak ada
seorang pun di negeriku yang kebenciannya kepada Rasulullah melebihi kebencianku
kepadanya.
Pada suatu hari aku memerintahkan kepada penggembala untaku,
supaya menyediakan dan mempersiapkan unta-untaku yang baik-baik dan yang
gemuk-gemuk, budak itu aku pesan juga bahwa jika sewaktu-waktu mendengar berita
tentara Muhammad telah menginjak tanah negeriku, supaya segera melaporkannya
kepadaku.
Kemudian pada suatu hari budakku datang kepadaku dan mengatakan,
“Wahai
tuan ‘Adiy,
apa yang akan tuan perbuat jika Muhammad datang kepada tuan, maka sekarang ini
juga perbuatlah, karena hamba telah melihat bahwa bendera telah berkibar, dan
hamba bertanya kepada orang-orang tentang itu, kemudian mereka menjawab, “Ini
adalah pasukan Muhammad”.
Seketika itu aku lalu berkata kepada budakku, “Persiapkanlah
unta-untaku”.
Maka dengan segera budakku mempersiapkan dan mengantarkan
unta-unta itu kepadaku. Sesudah itu aku lalu berangkat bersama keluargaku ke
negeri Syam untuk mencari perlindungan kepada orang-orang yang mengikut agamaku
(Nashrani) di sana, dan ketika itu aku meninggalkan anak perempuan Hatim yang
bernama Saffanah binti Hatim, di negeriku, maka ia lalu ditangkap dan ditawan
bersama orang-orang yang ditawan.
Setelah orang-orang dari kaumku yang ditawan dihadapkan kepada
Rasulullah, dan beliau menerima khabar dari saudara perempuanku bahwa aku pergi
bersama keluargaku ke Syam, lalu beliau memberi kasih sayang kepada saudaraku
itu, dan akhirnya ia dibebaskan, dan diberi pakaian, bekal makanan dan
kendaraan, sehingga ia datang ke Syam dengan selamat.
Pada suatu hari aku sedang duduk bersama keluargaku, mendadak
ketika itu aku melihat seorang perempuan sedang berjalan, maka aku berkata
kepada istriku, “Itu
anak perempuan Hatim !”.
Ternyata betul, memang dialah yang datang kepadaku, lalu ia
berkata :
اَلْقَاطِعُ الظَّالِمُ اِحْتَمَلْتَ بِاَهْلِكَ وَ وَلَدِكَ وَ
قَطَعْتَ بَقِيَةَ وَالِدَيْكَ وَ عَوْرَتَكَ.
Hai orang pemutus persaudaraan, orang penganiaya. Kamu pergi
bersama keluargamu dan anak-anakmu, tetapi kamu memutuskan peninggalan orang
tuamu sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabmu.
Lalu aku berkata kepadanya, “Oh
saudara perempuanku, janganlah kamu mengatakan melainkan yang baik. Demi Allah,
tidak ada alasan bagiku, sungguh aku telah berbuat kepadamu seperti yang kau
katakan”.
Kemudian ia turun dari kendaraannya, lalu berkumpul serumah
denganku. Pada suatu hari aku bertanya tentang hal keadaan Utusan Allah itu,
“Bagaimana
pendapatmu tentang halnya lelaki itu ?”.
Ia menjawab dengan tangkas dan jelas, “Pendapatku,
demi Allah, kamu seharusnya segera datang kepadanya. Jika ia betul seorang Nabi
Utusan Allah, maka orang yang mengikut lebih dahulu, itulah orang yang utama,
dan jika ia itu seorang raja, maka tetaplah kamu seperti itu juga”.
Mendengar jawaban saudaranya itu ‘Adiy
bin Hatim tertarik hatinya, lalu ia berkata :
وَ اللهِ اِنَّ هذَا لَلرَّأْيُ
“Demi
Allah, ini memang pendapat yang benar”.
Kemudian aku berangkat ke Madinah. Setiba di Madinah, aku segera
menghadap kepada Rasulullah. Beliau bertanya, “Siapakah
orang laki-laki ini ?”.
Aku menjawab, “
‘Adiy
bin Hatim”.
Waktu itu beliau sedang berada di masjid, kemudian beliau bangun
berdiri lalu berangkat bersamaku ke rumah beliau. Demi Allah, beliaulah yang
menuntunku ke rumah beliau. Sebelum sampai di rumah, di perjalanan ada seorang
perempuan tua ingin bertemu dengan beliau seraya memberhentikannya, dan beliau
mau berhenti hingga lama, karena menerima segala sesuatu yang dikemukakan kepada
beliau. Setelah perempuan tua itu selesai menyampaikan keperluannya kepada
beliau, maka kami melanjutkan berjalan ke rumah beliau. Ketika itu aku berkata
dalam hatiku, bahwa beliau itu terang bukanlah seorang raja. Setelah tiba di
rumah lalu segera masuk. Setelah masuk aku diambilkan sebuah alas duduk dari
kulit yang di dalamnya berisi sabut, lalu alas duduk itu diberikan kepadaku
sambil berkata, “Duduklah
kamu di atasnya”.
Lalu aku berkata, “Tuanlah
yang lebih patut duduk di atas alas duduk itu”.
Beliau bersabda, “Engkaulah
yang patut duduk di atasnya”.
Lalu aku duduk di atas alas duduk itu, sedang beliau duduk di
tanah. Waktu itu aku berkata dalam hati, “Demi
Allah, ini bukanlah kelakuan seorang raja”.
Sesudah itu beliau bersabda :
يَا عَدِيُّ بْنَ حَاتِمٍ، اَسْلِمْ تَسْلَمْ
“Hai
‘Adiy
bin Hatim, masuk Islamlah engkau, niscaya engkau selamat”.
Demikianlah beliau berkata hingga tiga kali.
Aku lalu menjawab, “Saya
telah mengikut suatu agama”.
Beliau bersabda, “Aku
lebih mengerti tentang agamamu dari pada kamu”.
Maka aku bertanya kepada beliau, “Tuan
lebih mengetahui tentang agama saya ?”.
Beliau lalu bersabda, “Ya,
bukankah engkau dari golongan Rakusiyah (orang yang beragama Nashrani bercampur
dengan menyembah berhala) ? Bukankah engkau dari kaum yang beragama
?”.
Aku menjawab, “Benar”.
Beliau bersabda, Bukankah kamu itu pemungut seperempat harta jarahan pada
kaummu ?. Aku jawab, “Ya,
benar”.
Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya
yang demikian itu, tidak halal bagi kamu dalam agamamu”.
Aku menjawab, “Ya
benar, demi Allah”.
Ketika itulah aku mengerti bahwa beliau itu seorang Nabi
yang diutus oleh Allah, karena beliau mengerti apa-apa yang beliau sendiri tidak
melihatnya. Kemudian beliau bersabda, “Hai
‘Adiy,
barangkali tidak ada lain yang menghalangi engkau masuk agama (Islam) ini
melainkan karena engkau melihat, engkau mengatakan, “Sesungguhnya
yang mengikut agama itu tidak lain kecuali orang-orang yang lemah dan
orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan, yang mereka itu sesungguhnya telah
dilempar oleh bangsa ‘Arab
berserta hajat mereka”.
Demi Allah, sungguh hampir tiba masanya harta benda akan melimpah pada mereka,
sehingga tidak akan didapati orang yang mengambilnya itu. Barangkali tidak lain
yang menghalangi engkau masuk di dalam agama ini, karena engkau lihat dari
banyaknya orang yang memusuhi mereka dan sedikitnya jumlah mereka (orang-orang
Islam). “Apakah
kamu sudah tahu Al-Hirah ?”.
Aku menjawab, “Saya
belum pernah melihatnya, tetapi saya pernah mendengar nama tempat
tersebut”.
Beliau bersabda, “Demi
Allah, sungguh dari Al-Hirah itu akan keluar wanita pergi naik unta sendirian,
berthawaf di Baitullah dengan aman”.
Dalam satu riwayat disebutkan, “Demi
Allah, sungguh hampir tiba saatnya, bahwa engkau mendengar seorang perempuan
yang keluar (bepergian) dari kota Qadisiyah, menunggang untanya sehingga ia
datang berziyarah ke Baitullah dengan aman. Barangkali sesungguhnya yang
menghalangi engkau dari memasuki agama ini, karena engkau melihat, bahwa
kerajaan dan kekuatan sedang berada di tangan orang selain mereka (kaum
muslimin). Demi Allah, sungguh hampir tiba saatnya bahwa engkau mendengar
istana-istana putih (untuk raja-raja) di negeri Babil sungguh-sungguh
ditaklukkan oleh mereka”.
‘Adiy
bin Hatim berkata : Lalu aku masuk Islam.
Dan sungguh aku telah melihat istana-istana putih
ditaklukkan, aku telah melihat wanita pergi ke Baitullah tidak takut kecuali
kepada Allah. Dan demi Allah, sungguh pasti terjadi harta akan melimpah,
sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerima (sedeqah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar