Pengaruh kemenangan perang
Tabuk
Pengaruh kemenangan
kaum muslimin pada perang Tabuk itu sangat terasa oleh segenap qabilah ‘Arab
yang masih musyrik dan belum mau menyerah kepada kaum muslimin. Apalagi dalam
kalangan para pembesar, amatlah dirasakan dan diperhatikan sungguh-sungguh
kemenangan-kemenangan yang telah dicapai oleh kaum muslimin, karena sebelum
perang Tabuk, kaum muslimin sudah berhasil menaklukkan Makkah, Hunain dan juga
mengepung Thaif. Oleh sebab itu, segenap penduduk qabilah di sekitar jazirah
‘Arab telah merasa lemah, tidak dapat melawan dan tidak akan sanggup menghadapi
jika sewaktu-waktu pasukan tentara kaum muslimin menggempur qabilah
mereka.
Oleh karena itu
sebagian dari kepala-kepala dan pembesar-pembesar musyrikin Quraisy berpendapat
bahwa lebih baik menyerah dan mengikut Islam saja daripada ditundukkan tentara kaum muslimin
nantinya. Sebab sebagian dari kepala-kepala dan pembesar-pembesar qabilah kaum
Quraisy yang telah menyerah dan mengikut Islam tetap diangkat oleh Nabi menjadi kepala dan pembesar
pada qabilah mereka masing-masing.
Dan karena demikian,
sebelum tentara kaum muslimin bergerak dan menggempur qabilah-qabilah yang masih
membangkang, maka sebagian dari kepala-kepala dan pembesar qabilah dengan tulus
ikhlash mengirimkan utusan atau mereka sendiri datang ke Madinah, menemui Nabi
SAW dan menyatakan keinginan mereka untuk masuk Islam.
Kedatangan utusan kaum Banu
Tsaqif
Ibnu Ishaq mengatakan
: Rasulullah SAW tiba di Madinah dari Tabuk pada bulan Ramadlan tahun 9
hijriyah, dan pada bulan itu pula datanglah tamu utusan dari qabilah Banu Tsaqif
kepada beliau.
Perlu diketahui bahwa
ketika Nabi SAW dan kaum muslimin meninggalkan Thaif (setelah mengepungnya
selama + 18 hari) dan kembali ke Madinah, maka ‘Urwah bin Mas’ud
Ats-Tsaqafiy seorang pembesar Banu Tsaqif yang berkedudukan di Thaif mengikuti
perjalanan Nabi SAW untuk menyatakan masuk Islam. Dan ia berhasil
bertemu dengan Nabi SAW sebelum beliau sampai di Madinah. Dan ketika itu juga ia
menghadap Nabi SAW dan menyatakan masuk Islam.
Sebenarnya dia
sudah lama ingin masuk Islam, tetapi karena sesuatu hal, dia belum bisa menyatakan
keislamannya. Telah lama dia memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi SAW itu, betapa suci dan tingginya pimpinan beliau, karena ketika terjadi
perdamaian Hudaibiyah, ‘Urwah bin Mas’ud ini termasuk salah seorang utusan ketua
Quraisy yang ikut serta dalam perundingan itu.
Setelah ‘Urwah masuk
Islam, lalu dia
minta ijin kepada Nabi SAW untuk kembali kepada kaumnya dan akan menyampaikan
seruan Islam itu
kepada kaum banu Tsaqif. Setelah Nabi SAW mendengar permintaan ijin ‘Urwah itu,
beliau lalu bersabda :
اِنَّهُمْ قَاتَلُوْكَ. ابن هشام 5: 222
Sesungguhnya
mereka akan membunuhmu.
[Ibnu Hisyam juz 5, hal. 222]
Nabi SAW bersabda
demikian, karena beliau mengerti, bahwa kaumnya sangat fanatik kepada berhala
mereka yang terkenal dengan nama “Laata”. Dengan demikian, tentu mereka akan
menentang seruan Islam.
Kemudian ‘Urwah
menjawab :
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا اَحَبُّ اِلَيْهِمْ مِنْ
اَبْكَارِهِمْ. ابن هشام 5: 222
“(Tidak) ya
Rasulullah, mereka sangat sayang dan cinta kepada saya, melebihi kecintaan
mereka kepada anak-anak gadis mereka”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal.
222]
Memang ‘Urwah
sangat dicintai dan disayangi serta dithaati oleh kaumnya. Dengan demikian,
menurut perkiraannya, tentu ajakan dan seruannya akan didengar dan dithaati
pula. Oleh karena itulah, maka dia ingin pulang untuk menyampaikan seruan Islam kepada
kaumnya.
Akhirnya ‘Urwah bin
Mas’ud kembali kepada kaumnya. ‘Urwah bermaksud akan mengajak mereka masuk Islam dengan harapan
bahwa kaumnya tidak akan menentangnya, karena mengingat kedudukan dan
pengaruhnya di tengah-tengah kaumnya.
Kemudian ‘Urwah
mengumumkan bahwa dia telah masuk Islam, dan dia mengajak segenap kaumnya supaya masuk Islam
pula.
Mendengar seruannya
itu, semua kaumnya diam saja, tak seorangpun mengemukakan pendapat mereka dan
tak seorang pula yang menentangnya, tetapi dengan diam-diam mereka mengundurkan
diri dan mengadakan pembicaraan dengan teman-teman mereka. Pada keesokan
harinya, diwaktu fajar menyingsing, ‘Urwah naik ke sebuah tempat yang tinggi,
dari tempat itu dia berseru dengan sekeras suaranya, supaya kaumnya mau masuk
Islam.
Namun hasil
pembicaraan kaumnya telah memutuskan bahwa mereka akan menolak seruannya dan
akan membunuhnya. Maka ketika mereka mendengar suara ‘Urwah yang keras dan
lantang, yang menyerukan supaya kaumnya masuk Islam, serentak mereka
menghujaninya dengan anak panah dari segenap penjuru, sehingga ‘Urwah menemui
ajalnya di tempat itu juga.
Betul sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi SAW kepada ‘Urwah, bahwa dia akan dibunuh oleh
kaumnya. Namun sekalipun dia mati terbunuh, tetapi matinya adalah mati dalam
kemuliaan dan kesucian.
Ketika ‘Urwah akan
menghembuskan nafas yang penghabisan, ada yang bertanya :
مَا تَرَى فِى دَمِكَ؟ قَالَ: كَرَامَةٌ اَكْرَمَنِى اللهُ بِهَا، وَ
شَهَادَةٌ سَاقَهَا اللهُ اِلَيَّ، فَلَيْسَ فِيَّ اِلاَّ مَا فِى الشُّهَدَاءِ
الَّذِيْنَ قُتِلُوْا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص قَبْلَ اَنْ يَرْحَلَ عَنْكُمْ
فَادْفَنُوْنِى مَعَهُمْ. ابن هشام 5: 222
“Hai ‘Urwah,
bagaimanakah pendapatmu mengenai darahmu ?”. Ia menjawab, “Satu kemuliaan yang
diberikan Allah kepadaku dan suatu kesaksian yang diberikan-Nya bagiku; maka
tidak ada bagiku, kecuali apa-apa yang telah diperoleh oleh pahlawan-pahlawan
syahid yang terbunuh dalam pertempuran bersama Rasulullah SAW, sebelum beliau
meninggalkan kamu sekalian. Oleh sebab itu, maka quburkanlah aku bersama
mereka”. [Ibnu Hisyam juz
5, hal. 222]
Permintaan ‘Urwah ini
diperkenankan dan dilaksanakan oleh segenap keluarganya, lalu ia diquburkan di
pequburan pahlawan-pahlawan syahid di Thaif dengan tidak mendapat rintangan
apa-apa dari kaumnya.
Sehubungan dengan
meninggalnya ‘Urwah bin Mas’ud ini, Rasulullah SAW bersabda
:
اِنَّ مَثَلَهُ فِى قَوْمِهِ لَكَمَثَلِ صَاحِبِ يَاسِيْنٍ فِى
قَوْمِهِ. ابن هشام 5: 223
Sesungguhnya
permisalan dia di tengah-tengah kaumnya adalah seperti permisalan shahabat Yasin
di tengah-tengah kaumnya.
[Ibnu Hisyam juz 5, hal. 223]
Di dalam QS Yaasiin :
20, dijelaskan ada seorang yang berseru kepada kaumnya, “Hai kaumku, ikutilah
para Rasul”, lalu ia dubunuh oleh kaumnya.
Setelah kaum
Banu Tsaqif membunuh seorang pembesarnya yang ternama, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud,
maka timbullah kekhawatiran dan ketakutan dalam hati mereka, karena mereka sadar
bahwa mereka tidak akan sanggup mempertahankan diri apabila mendapat serangan
dari qabilah-qabilah ‘Arab yang berada di sekeliling mereka, yang sebagian besar
telah mengikut agama Islam. Kecemasan dan ketakutan mereka yang demikian itu
makin lama makin hebat, karena kemungkinan besar kaum muslimin akan mengadakan
pembalasan terhadap perbuatan mereka yang kejam itu. Oleh sebab itu mereka
senantiasa mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar dari ancaman itu dan
untuk menyelamatkan diri dari serangan kaum muslimin yang sangat mereka
khawatirkan itu.
Akhirnya mereka
mengambil suatu keputusan dengan suara bulat, bahwa satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri dari ancaman itu ialah mereka segera mengirimkan seorang
pembesar, sebagai utusan mereka untuk menghadap Nabi SAW ke Madinah. Kemudian
mereka menetapkan bahwa yang akan menjadi utusan mereka itu adalah ‘Abdu Yalil
bin ‘Amr. Keputusan ini tidak diterima oleh ‘Abdu Yalil, karena dia keberatan
jika diutus sendirian. Karena ‘Abdu Yalil khawatir kalau-kalau dirinya nanti
akan diperlakukan pula oleh kaumnya sebagaimana yang telah mereka perbuat
terhadap ‘Urwah bin Mas’ud. ‘Abdu Yalil berkata :
لَسْتُ فَاعِلاً حَتَّى تُرْسِلُوْا مَعِى رِجَالاً. ابن هشام 5: 224
Saya tidak mau
melakukannya sehingga kalian mengirimkan beberapa orang untuk
menemaniku. [Ibnu Hisyam
juz 5, hal. 224]
Ia bersedia dan
sanggup menjadi utusan, kalau disertai oleh pembesar-pembesar yang lain. Oleh
sebab itu, mereka lalu menetapkan bahwa yang akan menemani ‘Abdu Yalil untuk
menghadap Nabi SAW, ialah Hakam bin ‘Amr, Syurahbil bin Ghaylan, ‘Utsman bin
Abil ‘Ash, Aus bin ‘Auf dan Numair bin Kharasyah. Jadi utusan itu terdiri dari
enam orang dan dikepalai oleh ‘Abdu Yalil.
Pada hari yang telah
ditentukan, berangkatlah mereka ke Madinah untuk menghadap Nabi Muhammad SAW.
Karena hampir sampai di Madinah, mereka singgah di suatu tempat, dan di tempat
itulah mereka bertemu dengan Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafiy, seorang Banu
Tsaqif yang sudah lama memeluk Islam. Melihat kedatangan mereka, Mughirah sangat senang,
sebab selain mereka itu orang satu qabilah, juga karena kedatangan mereka itu
untuk menghadap Nabi SAW. Maka Mughirah segera memberitahukan kepada Nabi SAW
tentang kedatangan mereka. Tetapi sebelum dia sampai ke rumah Nabi SAW, dia
bertemu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ia memberitahukan kedatangan mereka
itu kepada Abu Bakar. Mendengar berita Mughirah tersebut, maka Abu Bakar berkata
:
اَقْسَمْتُ عَلَيْكَ بِاللهِ لاَ تَسْبِقْنِى اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص
حَتَّى اَكُوْنَ اَنَا اُحَدّثُهُ. ابن هشام 5: 224
“Saya minta dengan
nama Allah kepadamu, supaya kamu jangan datang lebih dahulu kepada Nabi SAW,
sebelum saya memberitahukan kedatangan mereka kepada beliau”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal.
224]
Dengan patuh Mughirah
menuruti apa yang dikatakan Abu Bakar kepadanya, lalu Abu Bakar segera
memberitahukan kedatangan mereka itu kepada Nabi SAW.
Kemudian Mughirah
menjemput mereka untuk masuk Madinah. Mughirah senantiasa mengajarkan kepada
mereka, cara-cara memberi hormat kepada orang lain menurut ajaran Islam, terutama kepada
Nabi SAW, dan mereka diperingatkan pula, jangan memberi hormat kepada Nabi
dengan penghormatan jahiliyyah.
Tetapi ajaran dan
peringatan Mughirah yang baik itu belum mendapat perhatian mereka, sehingga
setelah mereka sampai di rumah Nabi SAW, mereka masuk menghadap Nabi dengan
memberi hormat secara jahiliyah.
Kedatangan mereka
disambut oleh Nabi SAW dengan baik dan hormat sebagaimana beliau menyambut dan
menerima tamu-tamu beliau yang lain.
Kemudian Nabi SAW
menyediakan sebuah qubbah atau kemah yang didirikan di samping masjid untuk
tempat tinggal sementara bagi mereka, selama mereka berada di
Madinah.
Demikianlah taktik
Nabi SAW, agar masing-masing mereka melihat dan memperhatikan dari dekat,
bagaimana keadaan kaum muslimin diwaktu mengerjakan shalat lima waktu pada
setiap harinya, dan supaya masing-masing mereka mendengar bacaan ayat-ayat
Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin, juga supaya mereka tahu bagaimana
akhlaq kaum muslimin dalam melaksanakan ajaran-ajaran
agamanya.
Demikian pula untuk
makan, mereka dilayani sebaik-baiknya oleh kaum muslimin, dan itu sudah
merupakan suatu tanggungan kaum muslimin yang telah ditetapkan oleh Nabi
SAW.
Adapun orang yang
menjadi perantara, yaitu penghubung antara Nabi SAW dengan mereka, ialah salah
seorang shahabat Nabi yang bernama Khalid bin Sa’id bin ‘Ash. Namun mereka tidak
mau memakan makanan yang telah disediakan untuk mereka, sebelum Khalid bin Sa’id
makan lebih dahulu, karena mereka khawatir, kalau-kalau makanan itu dibubuhi
racun oleh kaum muslimin.
Kemudian setelah
mereka insyaf dan ingin masuk Islam, mereka menyatakan kepada Nabi SAW, bahwa mereka dan
segenap kaumnya bersedia memeluk Islam, tetapi dengan syarat sebagai berikut
:
1. Berhala mereka
yang bernama “Al-Laata” jangan diruntuhkan selama tiga tahun, agar kaum mereka
tidak terkejut dan tidak marah kepada mereka.
2. Supaya mereka dibebaskan dari kewajiban
mengerjakan shalat lima waktu.
3. Supaya yang menghacurkan berhala Al-Laata itu
bukan mereka.
Semua permintaan
mereka yang demikian itu ditolak oleh Nabi SAW, bahkan beliau menyatakan dengan
tegas, bahwa berhala, “Al-Laata” yang mereka puja-puja itu, harus dihancurkan
dengan segera, dan tidak ada kebaikan dalam suatu agama, yang tidak ada shalat
padanya.
Kemudian mereka
memohon lagi, supaya berhala mereka dibiarkan dulu selama dua tahun setelah
mereka masuk Islam.
Permintaan inipun ditolak pula oleh Nabi SAW. Kemudian mereka meminta lagi
kepada Nabi SAW agar berhala “Al-Laata” itu jangan diruntuhkan selama setahun
saja, dimulai sejak mereka masuk Islam. Mereka beralasan bahwa tindakan ini perlu sebagai
taktik untuk menarik kaum mereka supaya mau masuk Islam. Dan apabila semua
kaum mereka telah memeluk Islam, maka bolehlah berhala yang berpengaruh besar itu
diruntuhkan. Permintaan mereka yang demikian itupun ditolak oleh Nabi
SAW.
Mereka memohon lagi
supaya dibolehkan dalam tempo satu bulan saja, dimulai sejak mereka kembali
kepada kaum mereka. Mereka meminta demikian untuk menenggang perasaan
orang-orang yang kurang akal, para wanita dan anak-anak mereka. Mereka ingin
agar kaum mereka tidak terkejut disebabkan dihancurkannya berhala itu, sampai
semua kaum mereka memeluk Islam. Permintaan mereka itupun ditolak oleh Nabi SAW.
Karena syarat yang demikian itu tidak dapat diterima oleh seorang Nabi yang
diutus Allah untuk menyeru manusia kepada tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa.
Karena Allah sendiri memerintahkan supaya menghancurkan berhala dan segala
sesuatu yang bersifat dan berbau keberhalaan. Oleh sebab itu Nabi SAW tetap
menyatakan dengan tegas kepada mereka bahwa berhala “Al-Laata” harus dihancurkan
dengan segera.
Setelah tidak ada
lagi kemungkinan untuk menangguhkan penghancuran berhala itu, walaupun hanya
satu bulan, lalu mereka menyatakan kepada Nabi SAW bahwa mereka tak sanggup
menghancurkan berhala itu dengan tangan mereka sendiri, dan mereka tetap meminta
kepada Nabi SAW agar mereka dibebaskan dari kewajiban mengerjakan
shalat.
Mendengar permintaan mereka yang demikian
itu, maka Nabi SAW bersabda :
اَمَّا كَسْرُ اَوْثَانِكُمْ بِاَيْدِيْكُمْ فَسَنُعْفِيْكُمْ مِنْهُ.
وَ اَمَّا الصَّلاَةُ فَاِنَّهُ لاَ خَيْرَ فِى دِيْنٍ لاَ صَلاَةَ
فِيْهِ. ابن هشام 5: 225
Adapun
menghancurkan berhala kalian dengan tangan kalian sendiri, maka kami bebaskan
kalian dari padanya, Adapun shalat, sesungguhnya tidak ada kebaikan dalam agama
yang tidak ada shalat padanya. [Ibnu Hisyam juz 5, hal.
225]
Keberatan mereka
untuk menghancurkan berhala Al-Laata dengan tangan mereka sendiri dapat diterima
oleh Nabi SAW, maka mereka dibebaskan dari melakukan pekerjaan itu. Dan berhala
itu akan dihancurkan oleh orang-orang yang akan ditunjuk oleh Nabi SAW sendiri.
Tetapi permintaan mereka agar mereka dibebaskan dari mengerjakan shalat, tidak
dapat diterima oleh Nabi SAW.
Setelah mereka
mendengar jawaban Nabi SAW yang demikian, akhirnya mereka menyatakan keislaman
mereka kepada Nabi SAW. Setiap pagi mereka datang kepada Nabi SAW untuk belajar
agama Islam,
kecuali kawan mereka yang termuda, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang mereka
tugaskan untuk menjaga kemah mereka. Tetapi apabila mereka telah selesai belajar
dan kembali ke kemah mereka, maka ‘Utsman pergi sendirian ke rumah Nabi SAW
untuk belajar Al-Qur’an dan hukum-hukum agama. Apabila Nabi SAW sedang tidur,
dia pergi ke rumah Abu Bakar dengan maksud yang sama. Sebab itu, maka dialah
orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an dan mengerti hukum-hukum agama Islam diantara
mereka.
‘Utsman bin ‘Abil
‘Ash berbuat demikian itu tidak diketahui oleh teman-temannya. Ia sangat rajin
membaca Al-Qur’an dan mempelajari agama Islam. Oleh sebab itu Abu Bakar sendiri pernah melaporkan
kepada Nabi SAW bahwa dia adalah seorang yang paling rajin mempelajari agama
Islam dan membaca
Al-Qur’an diantara mereka berenam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar