1/07/2019

AL-IJMA' DASAR HUKUM YANG KETIGA DALAM ISLAM

Al-Ijma' Dasar Hukum yang Ketiga Dalam Islam

1. Arti Ijma' :
Ijma' menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju atau sependapat, sedang menurut istilah, ialah :
اِتِّـفَاقُ مُجْتَهِدِى اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ص بَعْدَ وَفَاتِهِ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلأَعْصَارِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ اْلأُمُوْرِ.
Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad ummat Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
2. Dari Segi Masanya,
Dari segi masanya, maka Ijma' dapat dibagi menjadi dua :
1. Zaman Khalifah yang empat, dan
2. Zaman sesudahnya.
(1)   Ijma' shahabat (yang dimaksud ialah zaman Khalifah Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali). Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lagi, sebab NabiSAW. sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُـلَـفَاءِ الرَّاشِدِيْـنَ. ابو داود وغيره.
Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khulafaur Rasyidin. [Abu Dawud dan lain-lain]
(2)   Ijma' ulama pada zaman sesudah Khulafaur Rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha shahabat banyak pindah ke negeri Islam yang baru dan telah timbul fuqaha tabi'in yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan politik. Maka pada zaman inilah sukar dibayangkan dapat terjadinya ijma'.
Kalau sampai zaman tabi'in saja, sudah sukar akan terjadi ijma', maka lebih-lebih zaman sekarang dimana para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok. Sedang sahnya ijma' ialah : "Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad".
Oleh sebab itu ijma' yang diakui dan dibenarkan oleh para ulama, ialah ijma' para shahabat Nabi; dan selain dari itu tidaklah mungkin, bahkan mustahil terjadi. Di antara para ulama mujtahidin besar yang mengingkari (tidak membenarkan) adanya ijma' di masa sesudah para shahabat Nabi, ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pemuka madzhab Hanbali) yang hidup di antara pertengahan abad kedua dan pertengahan abad ketiga Hijrah. Antara lain beliau berkata :
مَنِ ادَّعَى اْلإِجْمَاعَ  فَهُوَ كَاذِبٌ. لَعَلَّ النَّاسَ قَدِ اخْتَـلَـفُوْا، وَلكِنْ يَـقُوْلُ: لاَ نَعْلَمُ  النَّاسَ  اِخْتَـلَـفُوْا. اِذْ لَمْ  يَـبْلُغْهُ.
Barangsiapa yang mendakwakan ijma', maka ia berdusta. Barangkali manusia telah berselisih, tetapi - cukuplah ia berkata: Kami tidak mengetahui orang-orang yang mereka itu berselisih, karena belum sampai -berita- kepadanya.
Jelasnya : Barangsiapa yang mendakwakan (menganggap) telah terjadi ijma' sesudah para shahabat, maka ia berdusta. Mungkin orang-orang berselisih, tetapi ia tidak mengetahui adanya perselisihan itu, karena beritanya belum sampai kepadanya. Oleh sebab itu, maka hendaklah ia berkata: "Aku tidak mengetahui ada orang yang menyalahi dan menyelisihi tentang pendapat ini".
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa kemungkinan ada terjadi ijma' sesudah masa para shahabat itu adalah mustahil, karena para ulama Islam telah bertebaran ke seluruh pelosok. Mengihimpunkan mereka untuk mengadakan ijma' di satu kota bukan perkara yang mudah dan ringan, tetapi boleh dikatakan mustahil. Dan memang selama ini belum pernah terdengar berita atau riwayat yang menyatakan, bahwa para 'ulama Islam di masa sesudah para shahabat seluruhnya pernah berkumpul di satu kota untuk mengadakan ijma' (kata sepakat) terhadap suatu hukum atas suatu masalah.
Imam Al-Ashfahani berkata :
وَالْمُنْصِفُ يَعْلَمُ اَنـَّهُ  لاَ خَبَرَ لَهُ مِنَ اْلإِجْمَاعِ  اِلاَّ مَا يَجـِدُ مَكْـتُوْبــًا فِى الْكُـتُبِ. وَ مِنَ اْلبَـيِّنِ اَنـَّهُ لاَ يَحْصُلُ اْلاِطْلاَعُ عَلَيْهِ اِلاَّ بِالسِّمَاعِ مِنْهُمْ اَوْ بِنَقْلِ اَهْلِ الـتَّـوَاتُـرِ اِلَـيْنَـا. وَلاَ سِبِـيْلَ اِلَى ذلِكَ اِلاَّ فِىْ عَصْرِ الصَّحَابَةِ  وَاَمَّا بَـعْـدَهُمْ فَلاَ.
Dan orang yang insaf tentu mengerti, bahwa sesungguhnya tidak ada berita padanya daripada ~berita~ ijma', melainkan apa yang ia dapati tertulis di kitab-kitab ~saja~. Padahal jelas, bahwa tidak akan berhasil mengetahui atas ijma' itu, melainkan dengan pendengaran daripada mereka (para ulama) atau dengan berita riwayat yang mutawatir sampainya kepada kita. Dan tidak ada jalan kepada yang demikian itu melainkan di masa shahabat; adapun sesudah mereka itu, maka tidak akan ada.
Jelasnya : Tentang ijma' itu tidak akan dapat dihasilkan (diperoleh dengan sempurna), melainkan dengan pendengaran dari para 'ulama ahli ijtihad atau dengan berita mutawatir yang sampai kepada kita. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, melainkan pada masa shahabat. Dan juga Imam Al-Ashfahani menyatakan : "Amat sukar kita mengetahui ada terjadi ijma', selain daripada ijma' shahabat yang masih sedikit jumlah orang yang dipandang ahli ijma'. Keadaan yang demikian itu yang memungkinkan mereka berkumpul guna memberikan persetujuan kepada suatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat (tempat-tempat yang berdekatan)".
Selanjutnya beliau menyatakan : "Adapun sekarang sesudah tersiar Islam di seluruh pelosok dan sesudah banyak bilangan 'ulama, tidaklah mungkin lagi diyakini akan terjadinya ijma' diantara mereka itu".
Imam Ar-Razi, seorang ulama ahli ushul dan ahli tafsir yang terkenal berkata :
وَاْلاِنْصَافُ اَنــَّهُ لاَ طَرِيْقَ لَنَا اِلَى مَعْرِفَتِهِ اِلاَّ فِى زَمَانِ الصَّحَابَةِ.
Dan sebenarnya, bahwasanya tidak ada jalan bagi kita kepada mengetahuinya (ijma'), melainkan di masa shahabat.
Jelas kiranya, bahwa kemungkinan ada ijma' sesudah masa para shahabat Nabi itu tidak ada dan tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu, ijma' yang mu'tabar, ijma' yang tidak diperselisihkan lagi adanya, dan yang dapat dipergunakan sebagai hujjah (alasan) dalam agama, ialah ijma' para shahabat.
Dan dengan ini tepatlah apa yang pernah dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lainnya yang tidak membenarkan adanya ijma' dimasa sesudah masa para shahabat Nabi.
3. Kehujjahan Ijma'.
Para ulama menetapkan bahwa ijma' itu hujjah dan sebagai dasar hukum syari'at dalam Islam. Tetapi ijma' itu berkedudukan di bawah Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta tidak boleh menyalahi nash yang qath'i (keterangan yang tegas-jelas) dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang masyhur.
Imam Asy-Syafi'i dalam menjelaskan tentang "ijma'" dalam kitabnya Ar-Risalah menetapkan, bahwa ijma' itu hujjah; dan beliau memandangnya sebagai hujjah dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati nash dari Kitab dan Sunnah. Selanjutnya beliau menetapkan pula, bahwa tidak akan menjadi ijma', melainkan yang telah disepakati oleh segenap 'ulama Islam.
Adapun alasan-alasan yang dipergunakan untuk menetapkan, adanya ijma' oleh para 'ulama yang menetapkan bahwa ijma' itu hujjah yang ditaati dan sebagai dasar syari'at, di antaranya sebagai berikut :
يـاَ يُّـهَا الَّذِيْـنَ امَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ اُولى  اْلاَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ  اِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ اِنْ كُـنْـتُمْ تُـؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْلـيَوْمِ اْلآخِرِ، ذلِكَ خَيْرٌ وَّ اَحْسَنُ تَـأْوِيْلاً. النساء:59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Qur'an dan Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa' : 59]
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama.
اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمـَّتِى عَلَى ضَلاَلــَةٍ. وَيـَدُ اللهِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ. الترمذى
1. Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpunkan ummatku atas kesesatan, dan tangan Allah beserta jama'ah. [HR. Tirmidzi]
اِنَّ اُمـَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلــَةٍ.ابـن ماجه
2. Sesungguhnya ummatku tidak akan berkumpul atas kesesatan.
[HR. Ibnu Majah].
Dengan hadits tersebut, mereka mengambil pengertian bahwa oleh karena ummat Nabi Muhammad (ummat Islam) tidak akan berkumpul (berhimpun) menjadi satu di dalam kesalahan atau kesesatan, maka sudah barang tentu apabila mereka telah berijma' mengadakan keputusan adalah didalam kebenaran. Maka keputusan ummat Islam yang dengan ijma' itu pasti di dalam kebenaran. Dan tiap-tiap kebenaran itu harus diturut.
 Adapun hal-hal yang boleh diijma'kan adalah hal-hal yang bersifat keduniaan, bukan masalah ibadah, karena urusan ibadah itu harus menurut contoh yang pernah dikerjakan oleh Nabi SAW dan telah cukup sempurna.
Demikianlah penjelasan tentang ijma'.

AL-QIYAS DASAR HUKUM YANG KEEMPAT DALAM ISLAM
1. Qiyas Menurut Lughat (Bahasa)
Kata : Qiyas itu asalnya dari :
قَاسَ - يَـقِـيْسُ  قَيْسًا وَ قِيَاسًا.   (Mengukur atau ukuran)
Jadi kata "qiyas" itu artinya "ukuran", "sukatan", "timbangan" dan lainnya lagi yang searti dengan itu. Misalnya dikatakan :
قَاسَ الشَّيْءَ بِغَيْرِهِ اَوْ عَلَى غَيْرِهِ.
Ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atau atas lainnya.
Dan dapat juga diartikan membandingkan, seperti :
فُلاَنٌ  لاَ  يُقَاسُ  بِفُلاَنٍ.
Si fulan tidak boleh dibandingkan dengan si fulan yang lain.
2. Qiyas Menurut Ta'rif Ahli Ushul
Para 'ulama ahliushul fiqih dalam memberikan ta'rif (definisi) tentang "qiyas", bermacam-macam, antara lain adalah sebagai berikut :
اِسْتِخْرَاجُ  مِثْلِ حُكْمِ اْلمَذْكُـوْرِ لـِمَا لَمْ  يُذْكَرْ بِجَامِعٍ  بَـيْنَهُمَا.
Mengeluarkan misal hukum yang telah disebutkan kepada suatu hal yang tidak disebutkan hukumnya dengan cara menghimpun antara keduanya.
اَلــْقَيَاسُ: مُسَاوَاةُ اْلمَسْكُوْتِ لِلْمَنْصُوْصِ فِى عِلَّةِ اْلحُكْمِ.
Qiyas itu ialah membandingkan yang didiamkan kepada yang dinash-kan (diterangkan) pada 'illat hukum.
تَحْصِيْلُ الْحُكْمِ اْلأَصْلِ فِى اْلـفَرْعِ لاِشْتِـبَاهِهِمَا فِى عِلَّةِ الْحُكْمِ.
Menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan keduanya pada 'illat hukum.
Penjelasan :
Kesimpulan yang telah diberikan oleh para 'ulama ahli ushul tentang Qiyas ini adalah sebagai berikut :
Menghubungkan suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain tentang hukumnya, karena kedua pekerjaan itu bersatu pada 'illat, yang menyebabkan bersatu pula pada hukumnya. Atau Menetapkan satu hukum syara' yang sudah tetap pada satu benda atau urusan, kepada satu benda atau urusan lain yang dipandang sama sebab-sebabnya atau sama sifat-sifatnya.
Misalnya tentang khamr, Allah telah melarang khamr sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya. Khamr yang dilarang itu ialah air anggur yang telah dibikin menjadi minuman keras (arak). Setelah diperiksa, diselidiki dan difikirkan sebabnya dilarang, terdapatlah bahwa khamr itu adalah memabukkan bagi orang yang meminumnya, yang juga mengakibatkan merusak badan, fikiran serta pergaulannya. Maka sifat memabukkan itu dipandang sebagai sebab bagi haramnya. Dengan demikian dapat di-qiyas-kan, bahwa : tiap-tiap minuman yang memabukkan itu dihukumi haram (terlarang) juga, walaupun asalnya bukan dari anggur. Inilah sebagai misal hukum dengan qiyas.

Dan dengan misal yang ringkas ini, mengertilah kita bahwa hukum qiyas itu dilakukan dengan akal fikiran orang yang mengerti, setelah diselidiki dengan seksama, dan dibandingkan dengan nash hukum yang telah tertulis di dalam Al-Qur'an atau di dalam As-Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...