1/22/2013

DENGAN SEMANGAT PENGORBANAN MEMBANGUN INDONESIA YANG BERMARTABAT

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ اَرْسَلَ رَسُوْلَه بِاْلهُدَى وَ الدّيْنِ اْلحَقّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدّيْنِ كُلّهِ، وَ كَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، لاَ نَبِيَ بَعْدَهُ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى. اَمَّا بَعْدُ:
فَيَا عِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah SWT, sungguh kita patut bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa pada hari ini kita, umat Islam, dapat merayakan Idul Adha, hari raya kurban atau hari raya pengorbanan. Idul Adha adalah hari raya yang terkait dengan pengorbanan Nabi Ibrahim AS, yang pernah diperintahkan Allah SWT lewat mimpi untuk menyembelih putra tercinta Ismail AS, namun kemudian digantikan Allah dengan seekor qibas, karena memang perintah itu hanyalah ujian keimanan.
Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim AS, dan ibadah kurban yang diperintahkan Allah kepada kita kaum beriman, memiliki dua dimensi utama. Pertama, hubungan vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun min Allah) yang harus berlangsung atas dasar keikhlasan pengabdian, yaitu hubungan yang ditegakkan atas dasar cinta tanpa pamrih. Sulit dibayangkan bahwa Ibrahim AS rela memenuhi perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya, buah penantian panjang dari kemandulan isteri bertahun-tahun, dan kini sedang tumbuh berkembang sebagai seorang pemuda tampan. Logika manusia modern mungkin akan menolak perintah mimpi seperti itu yang hanya dianggap sebagai bunga tidur. Manusia modern mungkin akan mencari dalih bahwa perintah itu hanyalah tipu daya setan yang harus dihindari. Kecintaan manusia modern kepada dunia akan menghalanginya untuk melenyapkan milik yang paling dicintainya lewat tangan sendiri.
Namun, tidaklah demikian halnya dengan Ibrahim AS. Nabi kekasih Allah (khalil Allah), yang dikenal sebagai “Bapak Monoteisme” karena pencarian panjang dan intensnya akan Tuhan Yang maha Esa, telah memilih jawabannya sendiri. Kecintaannya yang tulus kepada Allah, yang didasari pada keimanan yang kuat menghujam dalam diri, dan ketaatannya kepada Allah yang telah mengatasi segala loyalitas kepada makhluk, telah menggerakkan hatinya untuk memenuhi perintah Allah, walau secara manusiawi sangat berat untuk dilaksanakan.
Kualitas keimanan dan pengabdian seperti inilah yang diharapkan dapat memiliki kaum beriman di tengah kehidupan dengan krisis multidimensional dewasa ini. Sebagaimana kita saksikan dan alami selama ini, kehidupan umat manusia dilanda krisis multidimensi, sejak krisis ekonomi, sosial, politik, hukum dan keamanan, hingga krisis lingkungan dan energi. Krisis-krisis ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral sehingga kemudian menjadi krisis kemanusiaan, yaitu krisis yang disebabkan manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia.
Manusia modern, akibat kesombongan dan keangkuhannya, banyak yang terjerembab ke dalam kenistaan dan kehinaan. Mereka terjatuh ke dalam pendewaan diri (individualistik), pendewaan bendawi (materialistik) dan pendewaan birahi (hedonistik). Mereka ingin mencari kesenangan hidup dengan memuaskan diri, mengejar materi dan kesenangan duniawi lain, tanpa kendali diri dan pegangan akan nilai Illahi. Sebagai akibatnya, banyak dari manusia modern kemudian terjebak ke dalam kesenangan semu bukan kebahagiaan sejati. Akhirnya, mereka hidup dalam derita dan nestapa, dengan jiwa yang sesungguhnya menangis dan bahkan menjerit walau mereka bergelimang harta benda dan kekayaan yang tiada terhingga. Manusia-manusia seperti ini adalah mereka yang diibaratkan oleh Allah SWT dalam al-Quran sebagai orang-orang yang terjatuh ke titik nadir dari kemanusiaannya (asfala saafiliin).
Idul Adha dan ibadah kurban mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, yaitu dengan menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan. Revitalisasi tauhid di tengah-tengah erosi keimanan dewasa ini adalah hal yang perlu dilakukan oleh kaum beriman. Kehidupan masa modern telah melahirkan dua tipe manusia. Pertama, manusia yang sombong dan angkuh sehingga ia menggeser pusat kesadaran dan kehidupannya dari Tuhan Pencipta (theocentrisme) kepada suatu kehidupan dan kesadaran akan kekuasaan manusia (anthropocentrisme), sehingga manusia menyembah dan mengabdi kapada dirinya sendiri. Kedua, manusia yang tidak berdaya dan terjajah oleh manusia dan makhluk lain, dan lupa akan kemahakuasaan Allah, sehingga dia menyembah dan menyerahkan segala urusan kepada makhluk lain. Idul Adha, ibadah kurban dan ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan Ibrahim AS mengajarkan kepada kita betapa penting bagi kita untuk meneguhkan komitmen keimanan hanya kepada Allah, Pencipta manusia dan alam semesta.
Para jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,
Kedua, ibadah kurban berdimensi horizontal, yaitu adanya kepedulian terhadap manusia. Bukanlah suatu kebetulan bahwa Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim AS dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena pengabdian kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia.
Menyembelih hewan kurban dan kemudian membagikannya kepada para fakir miskin dan kaum dhu`afa tentu merupakan amal kebajikan yang mempunyai implikasi sosial yang cukup berarti. Daging-daging hewan kurban yang kita bagikan pada saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik akan merupakan nikmat bagi saudara-saudara kita yang hampir tidak pernah mengonsumsi daging, karena mungkin bagi mereka daging adalah menu yang terlalu mewah.
Namun, yang lebih penting adalah bukan penyembelihan dan pembagian daging kurban itu sendiri, tetapi kepedulian dan kesadaran kita untuk mau berbagi kepada sesama adalah wujud dari ketakwaan kita kepada Allah. Allah berfirman dalam al-Quran:

Sekali-kali tiadalah daging-daging itu mencapai keridhaan Allah, tapi ketakwaan darimulah yang mencapai ridhaNya”.
Para jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah, kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan bahwa keberagamaan kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepadaNya, dan kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia. Keberagamaan yang hanya berhenti pada keimanan tanpa peribadatan adalah keberagamaan yang kering kerontang, tetapi keberagamaan yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong-hampa.

Pergeseran kata kurban, yang secara harfiah dalam bahasa Arab berarti pendekatan (diri kepada Allah), kepada kata pengorbanan dalam Bahasa Indonesia yang mengandung arti melepaskan suatu yang paling berharga sekalipun demi sesuatu yang lebih mulia, membawa makna positif, yaitu bahwa pendekatan diri kita kepada Allah (taqarrub ila Allah) harus mengejawantah dalam sikap rela memberi yang terbaik untuk mencapai kemuliaan.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah, dewasa ini kita umat Islam dan Bangsa Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang besar dan berat. Masalah dan tantangan itu terlihat bertingkat-tingkat.
Pertama, selama ini kita umat Islam masih saja menghadapi masalah ketertinggalan, yaitu tertinggalnya umat Islam dalam berbagai kehidupan.
Ketertinggalan umat Islam ditandai oleh masih lebarnya kesenjangan antara kualitas dan kuantitas umat. Secara kuantitatif, umat Islam sangat besar, yaitu 88,2% dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, namun secara kualitatif umat Islam tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi, maupun politik. Lembaga dan pranata kehidupan umat islam tersebut rendah dalam mutu, tidak berkeunggulan dan berkurang daya saing.
Realitas ini menjadikan umat Islam kurang berdaya tahan, rentan terhadap pengaruh dari luar, mudah dimanfaatkan dan mudah diadu domba oleh kekuatan luar, dan kemudian terjebak ke dalam perpecahan dan tindakan yang merugikan diri sendiri dan umat islam secara keseluruhan. Keadaan ini hampir menyerupai apa yang digambarkan Rasulullah SAW, bahwa pada suatu hari nanti umat Islam kelompok yang mayoritas tetapi justru minoritas, hanya saja mereka tidak lebih dari buih yang diombang-ambingkan air bah. Mengapa terjadi hal demikian?
Rasulullah menjawab, karena umat islam telah terjangkiti penyakit “hubbud dunya wa karahiyyatul maut” atau cinta dunia dan takut mati, mereka berorientasi keduniaan sehingga melupakan akhirat, terminal terakhir dari kehidupan fana ini.
Bahwa kelompok mayoritas dapat dikalahkan oleh kelompok minoritas sangat mungkin terjadi karena hukum alam kehidupan, yakni rendahnya kualitas dan daya saing serta lemahnya penguasaan syarat-syarat kemenangan dan kejayaan, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan memenej diri dan kelompok. Hal ini sudah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
ﻛﻡ ﻤﻦ ﻓﺋﺔ ﻘﻠﻳﻠﺔﻏﻠﺑﺕ ﻓﺋﺔ ﮐﺛﻳﺭﺓﺒﺈ ﺫ ﻦ اﷲ
“Betapa banyak kelompok minoritas mengalahkan kelompok mayoritas atas ijin Allah”
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah,
Kedua, sejak beberapa tahun yang lalu kita sebagai bangsa mengalami keterpurukan, akibat multi krisis yang berkepanjangan. Pada mulanya krisis ini bersifat krisis moneter dan ekonomi, namun kemudian berkembang menjadi krisis social dan politik. Terjadi konflik sosial dan politik baik yang bersifat horizontal antara kelompok-kelompok masyarakat maupun yang bersifat vertikal antara rakyat dan pemegang amanat kekuasaan. Dan yang memprihatinakn terjadi dan merajalelanya krisis moral di tengah-tengah masyarakat, yang tidak lagi merupakan masalah sosial (social problem) tetapi sudah menjadi penyakit sosial (social illness), seperti prostitusi, perjudian, narkoba, pornografi dan pornoaksi, tindak kekerasan, serta berbentuk penyalahgunaan wewenang dan amanat jabatan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah berkembangnya gejala liberalisme, relatifisme dan permisivisme moral di kalangan sebagian warga masyarakat.
Tentu krisis multidimensi ini mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan kita, dan bahkan secara relatif, merusak citra bangsa di pentas internasional, yaitu ketika bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang paling korup di dunia, atau produsen ekstasi terbesar di dunia, atau bangsa yang tidak lagi ramah terhadap sesama. Ketidakmampuan kita untuk mengatasi krisis, tidak mustahil dapat membawa kehidupan kebangsaan kita kepada keruntuhan. Hal demikian mungkin terjadi jika bangsa Indonesia terjebak ke dalam perselisihan, pertentangan dan konflik yang tidak menentu, terjatuh ke dalam krisis akhlak yang tidak tertolongkan, atau mengalami kegamangan akibat kehilangan pegangan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan kebersamaan.
Apalagi, munculnya berbagai bencana alam seperti tsunami di Aceh, banjir bandang di Jember, tanah longsor di Banjarnegara, dan bencana kemanusiaan yang lain, benar-benar menambah suram suasana tersebut. Munculnya berbagai bencana kemanusiaan yang tengah terjadi dewasa ini adalah tidak lain bersumber pada merajalelanya berbagai bentuk dan jenis kemungkaran. Bahkan terdapat gejala berkembangnya kemungkaran yang terorganisasi (organized munkarat) yang sengaja disebarluaskan oleh pihak tertentu untuk merusak  pihak lain. Bahaya besar yang dihadapi umat manusia di masa depan tidak hanya tsunami lautan, tetapi tsunami kemungkaran yang akan merusak peradaban manusia.
Kita bangsa Indonesia patut bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa kita telah berhasil melewati proses demokrasi yaitu pemilu 2004, dan kita berharap mudah-mudahan kepemimpinan baru Indonesia dapat mengemban amanat, memimpin dengan penuh kearifan, kebijaksanaan dan kecerdasan, mengakhiri krisis multidimensi yang berkepanjangan dan membangkitkan bangsa menuju kemajuan dan keunggulan.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah, sementara kita baik sebagai umat maupun sebagai bangsa belum dapat mengatasi kedua masalah tadi, yaitu masalah ketertinggalan dan masalah keterpurukan, kini kita menghadapi masalah baru, yaitu ketertuduhan. Sebagai umat dan bangsa kita tertuduh, terdakwa dan bahkan terpidana oleh isu terorisme internasional yang tengah melanda dunia sejak tragedi 11 September di Amerika Serikat lima tahun yang lalu.
Isu terorisme berkembang beriringan dengan arus globalisasi yang dikendalikan secara sepihak dan sesuai kehendak  dari kekuatan-kekuatan dunia yang memiliki kedigdayaan. Globalisme ini telah mendorong negara-negara maju semakin mengepakkan sayap hegemoni dan kedigdayaannya atas negara-negara di dunia ketiga, termasuk negara-negara Islam, seperti yang terjadi di Afganistan kemudian Irak dan lain-lain. Sebagai negara Islam terbesar di dunia Indonesia tidak luput dari arus global ini.
Walaupun isu terorisme dan perang terhadap teror mempunyai motif ekonomi dan politik, seperti keinginan untuk menguasai hegemoni dan asset perekonomian dunia, tapi tidak dapat diingkari adanya dimensi yang bersifat ideologis dan keagamaan. Pada tahapnya yang masih dini Adidaya  Dunia sering menisbatkan segala aksi teror dengan Islam atau kelompok islam, dan tak terelakkan kemudian terjadi generalisasi dan stigmatisasi atas islam dan umat Islam sebagai biang keladi dari semua aksi teror di dunia ini.
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi isu terorisme global ini?
Pertama, jelas kita harus mengutuk sekeras-kerasnya setiap aksi teror, karena kita meyakiini hal itu bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam yang mengajarkan kasih saying dan perdamaian. Bukankah Islam adalah agama yang mempunyai misi menyebarkan “rahhmatan lil ‘alamin”, atau rahmat bagi semesta alam? Islam sangat menolak terorisme karena terorisme tidak memiliki akar dalam Islam. Al-Qur’an melarang kita untuk membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan:
ﻻﺘﻓﺴﺩﻮﺍ ﻓﻰﺍﻻﺮﺽ  ﺒﻌﺩ  ﺇﺻﻶ ﺤﻫﺎ
“Dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi setelah pembangunannya”
ﻤﻥﻘﺗﻞ ﻨﻓﺳﺎﺒﻐﻳﺭﻧﻓﺱ ﺇﻮﻓﺳﺎﺩ  ﻓﻛﺎﻨﻣﺎﻘﺗﻞﺍﻠﻧﺎﺱ  ﺠﻣﻳﻌﺎ
Barangsiapa membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, baik karena ia membunuh atau berbuat kerusakan, maka ia bagai membunuh seluruh manusia
Namun, kedua, tentu kita menolak setiap pengaitan aksi teror itu dengan umat Islam, apalagi jika pihak tertentu melakukan stigmatisasi atau menciderai citra Islam. Ketiga, lebih baik pada itu, kritik kita terhadap agenda global Adidaya Dunia untuk melancarkan perang melawan teror adalah karena perang itu mengambil bentuk teror itu sendiri sementara perang  bukanlah jalan keluar (war is not solution), karena ia hanya menciptakan ketidak damaian dan ketidak amanan dunia dengan menampilkan ketidak adilan dan keangkuhan, dua hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam adalah agama perdamaian, tapi kita lebih mencintai keadilan. Sebagai manifestasinya umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan perdamaian dunia tidak boleh kehilangan kepekaan terhadap berbagai bentuk ketidak adilan global, yang sesungguhnya merupakan akar tunjang dari berbagai macam petaka dunia termasuk akar dari terorisme global itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat yang cinta perdamaian dan keadilan sekaligus, kita umat Islam harus bangkit memberantas terorisme dalam berbagai bentuknya, termasuk terorisme negara-negara atas negara lain ataupun terorisme negara atas rakyat warga negara, serta memotong akar terorisme yaitu ketidak adilan global, kecenderungan hegemonik dan imperalistik, dan segala bentuk kezaliman baik nyata maupun terselubung.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah, menghadapi tantangan yang semakin besar, berat dan kompleks berupa tantangan kebudayaan dan peradaban global, apa yang terbaik untuk kita lakukan adalah melakukan konsolidasi diri, merancang strategi  baru dan menghimpun segala daya dan upaya dengan sikap siap bersaing dan bertanding merebut pasar bebas sosial kebudayaan kebudayaan bebas dewasa ini, seperti perintah Al-Qur’an:
ﻮﺍﻋﺩﻮﺍ ﻠﻬﻢﻤﺎﺍﺴﺗﻂﻌﺗﻢ ﻤﻦﻘﻮﺓ ﻮﻤﻦ ﺭﺒﺎﻂﺍﻠﺧﻳﻝ ﺘﺭﻫﺑﻮﻥ
ﺒﻪ ﻋﺩ ﻭﺍﷲ ﻮﻋﺩﻮﻛﻡ
Dan siapkanlah segala yang kau miliki dari kekuatan dan jaringan menghadapi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kamu”
Adalah lebih baik bagi umat Islam untuk menghadapi masalah dan tantangan dewasa ini dengan strategi “berjuang menghadapi” (al-jihad li al-muwajahah) dari pada hanya “berjuang melawan” (al-jihad li al-mu’aradhah). Oleh karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam untuk menyiapkan strategi peradaban alternatif (al-badil al-tsaqafi)  untuk menghadapi tantangan peradaban yang ada, yang telah menciptakan kerusakan dunia yang bersifat akumulatif (accumulative global damage). Hanya dengan demikianlah kita umat Islam akan membebaskan diri dari ketertinggalan, keterpurukan dan ketertuduhan, serta saat yang sama menunjukkan bahwa Islam adalah agama peradaban, kemajuan, keunggulan.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah, demikianlah pegangan kita sebagai umat Islam dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan, dan tentu itu semua perlu disertai dengan ihtiar nyata dan sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Maka selain mengatasi masalah ketertuduhan dengan sikap tegas dan tegar namun cerdas, kita tidak boleh melupakan pemecahan masalah ketertinggalan dan keterpurukan. Hal ini perlu dilakukan dengan kerja keras dalam gerak kebudayaan yang sistematis, strategis dan kongkrit untuk memperkuat landasan budaya dalam kehidupan umat, yaitu melalui kegiatan-kegiatan mencerdaskan masyarakat dengan menyelenggarakan pendidikan, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; meningkatkan kualitas sosial dan kesehatan masyarakat; memberdayakan taraf hidup ekonomi, meningkatkan kesadaran politik dan hukum; dan lain-lain sebagainya yang merupakan pilar utama bagi pembangunan suatu peradaban baru, peradaban yang berkeadilan, berkesejahteraan dan berkeadaban.
Semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah kita dan memperoleh kemenangan serta kebahagiaan.
ﺮﺒﻧﺎﻻﺘﺅﺍﺨﺫﻨﺎﺍﻥﻨﺳﻳﻧﺎ ﺍﻭﺍﺨﻇﺎﻨﺎ
ﺮﺒﻧﺎﻭﻻﺘﺣﻣﻝﻋﻠﻳﻧﺎﺍﺻﺮﺍﻛﻣﺎﺣﻣﻠﺘﻪ
ﻋﻠﻰﺍﻠﺫﻳﻥﻤﻥﻘﺑﻠﻧﺎ
ﺮﺑﻧﺎ ﻮﻻﺘﺣﻣﻠﻧﺎﻤﺎﻻ ﻄﺎ ﻘﺔ ﻠﻧﺎﺑﻪ
ﻮﺍﻋﻑﻋﻧﺎﻮﻏﻓﺮﻠﻧﺎﻮﺍﺮﺤﻣﻧﺎﺍﻧﺕﻣﻮﻠﻧﺎ
ﻓﺎﻧﺿﺮﻧﺎﻋﻠﻰﺍﻠﻗﻮﻡﺍﻠﻛﺎﻓﺮﻴﻥ
ﺮﺒﻧﺎﺍﺘﻧﺎﻓﻰﺍﺍﻠﺩﻧﻴﺎﺤﺳﻧﺔ
ﻮﻓﻰﺍﻻﺨﺭﺓﺤﺳﻧﺔ  ﻮﻘﻧﺎﻋﺬﺍﺐﺍﻠﻧﺎﺭ
ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ  ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ  ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ
ﻻﺍﻠﻪﺇﻻﺍﷲ  ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ
ﺍﷲﺍﮐﺑﺭﻮﷲﺍﻠﺣﻣﺩ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَ اِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
~oO[ A ]Oo~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang kehidupan Dunia

  TENTANG DUNIA فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ...