اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ اَرْسَلَ رَسُوْلَه بِاْلهُدَى وَ الدّيْنِ
اْلحَقّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدّيْنِ كُلّهِ، وَ كَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا. اَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ،
لاَ نَبِيَ بَعْدَهُ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ
مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى. اَمَّا بَعْدُ:
فَيَا عِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ
تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ،
لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ
اْلحَمْدُ.
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah SWT, sungguh kita patut bersyukur ke hadirat
Allah SWT bahwa pada hari ini kita, umat Islam, dapat merayakan Idul Adha, hari
raya kurban atau hari raya pengorbanan. Idul Adha adalah hari raya yang terkait
dengan pengorbanan Nabi Ibrahim AS, yang pernah diperintahkan Allah SWT lewat
mimpi untuk menyembelih putra tercinta Ismail AS, namun kemudian digantikan
Allah dengan seekor qibas, karena memang perintah itu hanyalah ujian
keimanan.
Peristiwa yang
dialami Nabi Ibrahim AS, dan ibadah kurban yang diperintahkan Allah kepada kita
kaum beriman, memiliki dua dimensi utama. Pertama, hubungan vertikal manusia
dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun
min Allah) yang harus berlangsung atas dasar keikhlasan pengabdian, yaitu
hubungan yang ditegakkan atas dasar cinta tanpa pamrih. Sulit dibayangkan bahwa Ibrahim
AS rela memenuhi
perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya, buah penantian panjang dari
kemandulan isteri bertahun-tahun, dan kini sedang tumbuh berkembang sebagai
seorang pemuda tampan. Logika manusia
modern mungkin akan menolak perintah mimpi seperti itu
yang hanya dianggap sebagai bunga tidur. Manusia modern mungkin akan mencari dalih bahwa perintah itu hanyalah tipu daya
setan yang harus dihindari. Kecintaan manusia modern kepada dunia akan menghalanginya untuk melenyapkan milik yang paling
dicintainya lewat tangan sendiri.
Namun, tidaklah
demikian halnya dengan Ibrahim
AS. Nabi kekasih
Allah (khalil Allah), yang dikenal
sebagai “Bapak Monoteisme” karena pencarian panjang dan intensnya akan Tuhan Yang maha Esa, telah memilih jawabannya sendiri.
Kecintaannya yang tulus kepada Allah, yang didasari pada keimanan yang kuat
menghujam dalam diri, dan ketaatannya kepada Allah yang telah mengatasi segala
loyalitas kepada makhluk, telah menggerakkan hatinya untuk memenuhi perintah
Allah, walau secara manusiawi sangat berat untuk
dilaksanakan.
Kualitas
keimanan dan pengabdian seperti inilah yang diharapkan dapat memiliki kaum
beriman di tengah kehidupan dengan krisis multidimensional dewasa
ini. Sebagaimana kita saksikan dan alami selama ini, kehidupan umat
manusia dilanda krisis multidimensi, sejak krisis ekonomi, sosial, politik,
hukum dan keamanan, hingga krisis lingkungan dan energi. Krisis-krisis ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral sehingga
kemudian menjadi krisis kemanusiaan, yaitu krisis yang disebabkan manusia
kehilangan jati dirinya sebagai manusia.
Manusia modern,
akibat kesombongan dan keangkuhannya, banyak yang terjerembab ke dalam kenistaan
dan kehinaan. Mereka terjatuh ke dalam pendewaan diri (individualistik), pendewaan
bendawi (materialistik) dan pendewaan birahi (hedonistik). Mereka ingin
mencari kesenangan hidup dengan memuaskan diri, mengejar materi dan kesenangan
duniawi lain, tanpa kendali diri dan pegangan akan
nilai Illahi. Sebagai akibatnya, banyak dari manusia modern
kemudian terjebak ke dalam kesenangan semu bukan kebahagiaan sejati.
Akhirnya, mereka hidup dalam derita dan nestapa, dengan jiwa
yang sesungguhnya menangis dan bahkan menjerit walau mereka bergelimang harta
benda dan kekayaan yang tiada terhingga. Manusia-manusia seperti ini adalah mereka yang diibaratkan oleh
Allah SWT dalam al-Quran sebagai orang-orang yang terjatuh ke titik nadir dari
kemanusiaannya (asfala
saafiliin).
Idul Adha dan
ibadah kurban mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, yaitu dengan
menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan. Revitalisasi tauhid di tengah-tengah erosi keimanan dewasa ini
adalah hal yang perlu dilakukan oleh kaum beriman. Kehidupan masa modern telah melahirkan dua tipe manusia. Pertama, manusia yang sombong dan angkuh
sehingga ia menggeser pusat kesadaran dan kehidupannya
dari Tuhan Pencipta (theocentrisme)
kepada suatu kehidupan dan kesadaran akan kekuasaan manusia (anthropocentrisme), sehingga manusia
menyembah dan mengabdi kapada dirinya sendiri. Kedua, manusia yang tidak berdaya dan
terjajah oleh manusia dan makhluk lain, dan lupa akan
kemahakuasaan Allah, sehingga dia menyembah dan menyerahkan segala urusan kepada
makhluk lain. Idul Adha, ibadah kurban dan ibadah haji yang merupakan napak
tilas perjalanan Ibrahim
AS mengajarkan
kepada kita betapa penting bagi kita untuk meneguhkan komitmen keimanan hanya
kepada Allah, Pencipta manusia dan alam semesta.
Para jamaah Idul
Adha yang dirahmati Allah,
Kedua, ibadah kurban
berdimensi horizontal, yaitu adanya kepedulian terhadap
manusia. Bukanlah suatu kebetulan bahwa Allah menggantikan pengorbanan
Ibrahim
AS dengan seekor
qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena
pengabdian kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama
manusia.
Menyembelih
hewan kurban dan kemudian membagikannya kepada para fakir miskin dan kaum
dhu`afa tentu merupakan amal kebajikan yang mempunyai implikasi sosial yang
cukup berarti. Daging-daging
hewan kurban yang kita bagikan pada saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik akan merupakan nikmat bagi saudara-saudara kita yang hampir
tidak pernah mengonsumsi daging, karena mungkin bagi mereka daging adalah menu
yang terlalu mewah.
Namun, yang
lebih penting adalah bukan penyembelihan dan pembagian daging kurban itu
sendiri, tetapi kepedulian dan kesadaran kita untuk mau berbagi kepada sesama
adalah wujud dari ketakwaan kita kepada Allah. Allah berfirman
dalam al-Quran:
“Sekali-kali tiadalah daging-daging itu
mencapai keridhaan Allah, tapi ketakwaan darimulah yang mencapai
ridhaNya”.
Para jamaah Idul
Adha yang dirahmati Allah, kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan bahwa
keberagamaan kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita
jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepadaNya, dan kemudian harus bermuara pada
kemaslahatan bagi sesama manusia. Keberagamaan yang hanya berhenti pada keimanan tanpa peribadatan
adalah keberagamaan yang kering kerontang, tetapi keberagamaan yang berhenti
pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang
kosong-hampa.
Pergeseran kata
kurban, yang secara harfiah dalam bahasa Arab berarti pendekatan (diri kepada Allah), kepada kata
pengorbanan dalam Bahasa Indonesia yang mengandung arti melepaskan suatu yang
paling berharga sekalipun demi sesuatu yang lebih mulia, membawa makna positif,
yaitu bahwa pendekatan diri kita kepada Allah (taqarrub ila Allah) harus mengejawantah
dalam sikap rela memberi yang terbaik untuk mencapai
kemuliaan.
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah, dewasa ini kita umat Islam dan Bangsa
Indonesia menghadapi
masalah dan tantangan yang besar dan berat. Masalah dan tantangan itu terlihat bertingkat-tingkat.
Pertama, selama
ini kita umat Islam masih saja menghadapi masalah ketertinggalan, yaitu
tertinggalnya umat Islam dalam berbagai kehidupan.
Ketertinggalan
umat Islam ditandai oleh masih lebarnya kesenjangan antara kualitas dan
kuantitas umat. Secara
kuantitatif, umat Islam sangat besar, yaitu 88,2% dari sekitar 220 juta penduduk
Indonesia, namun secara kualitatif umat Islam tertinggal dalam berbagai aspek
kehidupan, ekonomi, maupun politik. Lembaga dan pranata kehidupan umat islam tersebut rendah dalam mutu, tidak berkeunggulan dan
berkurang daya saing.
Realitas ini
menjadikan umat Islam kurang berdaya tahan, rentan terhadap pengaruh dari luar,
mudah dimanfaatkan dan mudah diadu domba oleh kekuatan luar, dan kemudian
terjebak ke dalam perpecahan dan tindakan yang merugikan diri sendiri dan umat
islam secara keseluruhan. Keadaan ini hampir menyerupai
apa yang digambarkan Rasulullah SAW, bahwa pada suatu
hari nanti umat Islam kelompok yang mayoritas tetapi justru minoritas, hanya
saja mereka tidak lebih dari buih yang diombang-ambingkan air bah. Mengapa terjadi hal demikian?
Rasulullah
menjawab, karena umat islam telah terjangkiti penyakit “hubbud dunya wa karahiyyatul maut”
atau cinta dunia dan takut mati, mereka berorientasi keduniaan sehingga
melupakan akhirat, terminal terakhir dari kehidupan fana
ini.
Bahwa kelompok
mayoritas dapat dikalahkan oleh kelompok minoritas sangat mungkin terjadi karena
hukum alam kehidupan, yakni rendahnya kualitas dan daya saing serta lemahnya
penguasaan syarat-syarat kemenangan dan kejayaan, seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kemampuan memenej diri dan kelompok. Hal ini sudah
diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
ﻛﻡ ﻤﻦ ﻓﺋﺔ ﻘﻠﻳﻠﺔﻏﻠﺑﺕ ﻓﺋﺔ ﮐﺛﻳﺭﺓﺒﺈ ﺫ ﻦ
اﷲ
“Betapa banyak
kelompok minoritas mengalahkan kelompok mayoritas atas ijin
Allah”
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah,
Kedua, sejak
beberapa tahun yang lalu kita sebagai bangsa mengalami keterpurukan, akibat
multi krisis yang berkepanjangan. Pada mulanya krisis ini bersifat krisis moneter dan ekonomi, namun
kemudian berkembang menjadi krisis social dan politik. Terjadi konflik sosial dan politik baik yang bersifat horizontal
antara kelompok-kelompok masyarakat maupun yang bersifat vertikal antara rakyat
dan pemegang amanat kekuasaan. Dan yang memprihatinakn terjadi dan
merajalelanya krisis moral di tengah-tengah masyarakat, yang tidak lagi
merupakan masalah sosial (social
problem) tetapi sudah menjadi penyakit sosial (social illness), seperti prostitusi,
perjudian, narkoba, pornografi dan pornoaksi, tindak kekerasan, serta berbentuk
penyalahgunaan wewenang dan amanat jabatan. Dan yang lebih
memprihatinkan lagi adalah berkembangnya gejala liberalisme, relatifisme dan
permisivisme moral di kalangan sebagian warga
masyarakat.
Tentu krisis
multidimensi ini mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan
kita, dan bahkan secara relatif, merusak citra bangsa di pentas internasional,
yaitu ketika bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang paling korup di dunia,
atau produsen ekstasi terbesar di dunia, atau bangsa yang tidak lagi ramah
terhadap sesama. Ketidakmampuan kita untuk mengatasi krisis,
tidak mustahil dapat membawa kehidupan kebangsaan kita kepada keruntuhan.
Hal demikian mungkin terjadi jika bangsa
Indonesia terjebak ke
dalam perselisihan, pertentangan dan konflik yang tidak menentu, terjatuh ke
dalam krisis akhlak yang tidak tertolongkan, atau mengalami kegamangan akibat
kehilangan pegangan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan
kebersamaan.
Apalagi,
munculnya berbagai bencana alam seperti tsunami di Aceh, banjir bandang di
Jember, tanah longsor di Banjarnegara, dan bencana kemanusiaan yang lain,
benar-benar menambah suram suasana tersebut. Munculnya
berbagai bencana kemanusiaan yang tengah terjadi dewasa ini adalah tidak lain bersumber pada merajalelanya berbagai bentuk dan jenis
kemungkaran. Bahkan terdapat gejala berkembangnya kemungkaran yang terorganisasi
(organized munkarat) yang sengaja
disebarluaskan oleh pihak tertentu untuk merusak pihak lain. Bahaya besar yang dihadapi
umat manusia di masa depan tidak hanya tsunami lautan, tetapi tsunami
kemungkaran yang akan merusak peradaban
manusia.
Kita bangsa
Indonesia patut bersyukur
ke hadirat Allah SWT bahwa kita telah berhasil melewati proses demokrasi yaitu
pemilu 2004, dan kita berharap mudah-mudahan kepemimpinan baru
Indonesia dapat mengemban
amanat, memimpin dengan penuh kearifan, kebijaksanaan dan kecerdasan, mengakhiri
krisis multidimensi yang berkepanjangan dan membangkitkan bangsa menuju kemajuan
dan keunggulan.
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah, sementara kita baik sebagai umat maupun
sebagai bangsa belum dapat mengatasi kedua masalah tadi, yaitu masalah
ketertinggalan dan masalah keterpurukan, kini kita menghadapi masalah baru,
yaitu ketertuduhan. Sebagai umat
dan bangsa kita tertuduh, terdakwa dan bahkan terpidana oleh isu terorisme
internasional yang tengah melanda dunia sejak tragedi 11 September di Amerika
Serikat lima tahun yang
lalu.
Isu terorisme
berkembang beriringan dengan arus globalisasi yang dikendalikan secara sepihak
dan sesuai kehendak
dari kekuatan-kekuatan dunia yang memiliki kedigdayaan. Globalisme ini telah mendorong negara-negara maju semakin
mengepakkan sayap hegemoni dan kedigdayaannya atas negara-negara di dunia
ketiga, termasuk negara-negara Islam, seperti yang terjadi di Afganistan
kemudian Irak dan lain-lain. Sebagai negara Islam
terbesar di dunia Indonesia tidak luput
dari arus global ini.
Walaupun isu
terorisme dan perang terhadap teror mempunyai motif ekonomi dan politik, seperti
keinginan untuk menguasai hegemoni dan asset perekonomian dunia, tapi tidak
dapat diingkari adanya dimensi yang bersifat ideologis dan
keagamaan. Pada tahapnya
yang masih dini Adidaya
Dunia sering menisbatkan segala aksi teror dengan Islam atau
kelompok islam, dan tak terelakkan kemudian terjadi generalisasi dan
stigmatisasi atas islam dan umat Islam sebagai biang keladi dari semua aksi
teror di dunia ini.
Bagaimana sikap
kita dalam menghadapi isu terorisme global ini?
Pertama, jelas
kita harus mengutuk sekeras-kerasnya setiap aksi teror, karena kita meyakiini
hal itu bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam yang mengajarkan kasih
saying dan perdamaian. Bukankah Islam
adalah agama yang mempunyai misi menyebarkan “rahhmatan lil ‘alamin”, atau rahmat bagi
semesta alam? Islam sangat menolak terorisme karena terorisme
tidak memiliki akar dalam Islam. Al-Qur’an melarang kita untuk membunuh
orang lain tanpa alasan yang dapat
dibenarkan:
ﻻﺘﻓﺴﺩﻮﺍ ﻓﻰﺍﻻﺮﺽ ﺒﻌﺩ
ﺇﺻﻶ ﺤﻫﺎ
“Dan janganlah
berbuat kerusakan di muka bumi setelah pembangunannya”
ﻤﻥﻘﺗﻞ ﻨﻓﺳﺎﺒﻐﻳﺭﻧﻓﺱ ﺇﻮﻓﺳﺎﺩ ﻓﻛﺎﻨﻣﺎﻘﺗﻞﺍﻠﻧﺎﺱ ﺠﻣﻳﻌﺎ
“Barangsiapa membunuh orang lain tanpa alasan
yang dibenarkan, baik karena ia membunuh atau berbuat kerusakan, maka ia bagai
membunuh seluruh manusia”
Namun, kedua,
tentu kita menolak setiap pengaitan aksi teror itu dengan umat Islam, apalagi
jika pihak tertentu melakukan stigmatisasi atau menciderai citra
Islam. Ketiga, lebih
baik pada itu, kritik kita terhadap agenda global Adidaya Dunia untuk
melancarkan perang melawan teror adalah karena perang itu mengambil bentuk teror
itu sendiri sementara perang
bukanlah jalan keluar (war
is not solution), karena ia hanya menciptakan ketidak damaian dan ketidak
amanan dunia dengan menampilkan ketidak adilan dan keangkuhan, dua hal yang
sangat ditentang oleh Islam. Islam adalah agama perdamaian,
tapi kita lebih mencintai keadilan. Sebagai
manifestasinya umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan perdamaian dunia
tidak boleh kehilangan kepekaan terhadap berbagai bentuk ketidak adilan global,
yang sesungguhnya merupakan akar tunjang dari berbagai macam petaka dunia
termasuk akar dari terorisme global itu sendiri.
Oleh karena itu,
sebagai umat yang cinta perdamaian dan keadilan sekaligus, kita umat Islam harus
bangkit memberantas terorisme dalam berbagai bentuknya, termasuk terorisme
negara-negara atas negara lain ataupun terorisme negara atas rakyat warga
negara, serta memotong akar terorisme yaitu ketidak adilan global, kecenderungan
hegemonik dan imperalistik, dan segala bentuk kezaliman baik nyata maupun
terselubung.
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah, menghadapi tantangan yang semakin besar,
berat dan kompleks berupa tantangan kebudayaan dan peradaban global, apa yang
terbaik untuk kita lakukan adalah melakukan konsolidasi diri, merancang
strategi baru dan menghimpun segala daya
dan upaya dengan sikap siap bersaing dan bertanding merebut pasar bebas sosial
kebudayaan kebudayaan bebas dewasa ini, seperti perintah
Al-Qur’an:
ﻮﺍﻋﺩﻮﺍ ﻠﻬﻢﻤﺎﺍﺴﺗﻂﻌﺗﻢ ﻤﻦﻘﻮﺓ ﻮﻤﻦ ﺭﺒﺎﻂﺍﻠﺧﻳﻝ
ﺘﺭﻫﺑﻮﻥ
ﺒﻪ ﻋﺩ ﻭﺍﷲ ﻮﻋﺩﻮﻛﻡ
“Dan siapkanlah segala
yang kau miliki dari kekuatan dan jaringan menghadapi musuh-musuh Allah dan
musuh-musuh kamu”
Adalah lebih
baik bagi umat Islam untuk menghadapi masalah dan tantangan dewasa ini dengan
strategi “berjuang menghadapi” (al-jihad
li al-muwajahah) dari pada hanya “berjuang melawan” (al-jihad li
al-mu’aradhah). Oleh karena
itu, sudah saatnya bagi umat Islam untuk menyiapkan strategi peradaban
alternatif (al-badil al-tsaqafi) untuk menghadapi
tantangan peradaban yang ada, yang telah menciptakan kerusakan dunia yang
bersifat akumulatif (accumulative global
damage). Hanya dengan demikianlah kita umat Islam akan membebaskan diri dari ketertinggalan, keterpurukan dan
ketertuduhan, serta saat yang sama menunjukkan bahwa Islam adalah agama
peradaban, kemajuan, keunggulan.
Kaum Muslimin
dan Muslimat yang dirahmati Allah, demikianlah pegangan kita sebagai umat Islam
dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan, dan tentu itu semua perlu
disertai dengan ihtiar nyata dan sungguh-sungguh untuk
mengatasinya. Maka selain mengatasi masalah ketertuduhan dengan sikap tegas dan
tegar namun cerdas, kita tidak boleh melupakan pemecahan masalah ketertinggalan
dan keterpurukan. Hal ini perlu dilakukan dengan kerja keras dalam gerak
kebudayaan yang sistematis, strategis dan kongkrit untuk memperkuat landasan
budaya dalam kehidupan umat, yaitu melalui kegiatan-kegiatan mencerdaskan
masyarakat dengan menyelenggarakan pendidikan, meningkatkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi; meningkatkan kualitas sosial dan kesehatan
masyarakat; memberdayakan taraf hidup ekonomi, meningkatkan kesadaran politik
dan hukum; dan lain-lain sebagainya yang merupakan pilar utama bagi pembangunan
suatu peradaban baru, peradaban yang berkeadilan, berkesejahteraan dan
berkeadaban.
Semoga Allah SWT
menerima segala amal ibadah kita dan memperoleh kemenangan serta
kebahagiaan.
ﺮﺒﻧﺎﻻﺘﺅﺍﺨﺫﻨﺎﺍﻥﻨﺳﻳﻧﺎ ﺍﻭﺍﺨﻇﺎﻨﺎ
ﺮﺒﻧﺎﻭﻻﺘﺣﻣﻝﻋﻠﻳﻧﺎﺍﺻﺮﺍﻛﻣﺎﺣﻣﻠﺘﻪ
ﻋﻠﻰﺍﻠﺫﻳﻥﻤﻥﻘﺑﻠﻧﺎ
ﺮﺑﻧﺎ ﻮﻻﺘﺣﻣﻠﻧﺎﻤﺎﻻ ﻄﺎ ﻘﺔ ﻠﻧﺎﺑﻪ
ﻮﺍﻋﻑﻋﻧﺎﻮﻏﻓﺮﻠﻧﺎﻮﺍﺮﺤﻣﻧﺎﺍﻧﺕﻣﻮﻠﻧﺎ
ﻓﺎﻧﺿﺮﻧﺎﻋﻠﻰﺍﻠﻗﻮﻡﺍﻠﻛﺎﻓﺮﻴﻥ
ﺮﺒﻧﺎﺍﺘﻧﺎﻓﻰﺍﺍﻠﺩﻧﻴﺎﺤﺳﻧﺔ
ﻮﻓﻰﺍﻻﺨﺭﺓﺤﺳﻧﺔ
ﻮﻘﻧﺎﻋﺬﺍﺐﺍﻠﻧﺎﺭ
ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ
ﻻﺍﻠﻪﺇﻻﺍﷲ
ﺍﷲﺍﮐﺑﺭ
ﺍﷲﺍﮐﺑﺭﻮﷲﺍﻠﺣﻣﺩ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَ اِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً
وَّ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ
رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
~oO[ A ]Oo~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar