Sejak
kaum musyrikin Quraisy mendapat kekalahan pada perang Badr, yang nyata-nyata
menjatuhkan kebangsaan mereka, sehingga banyak kepala-kepala dan ketua-ketua
mereka merasa lebih baik mati daripada hidup terhina, maka perasaan dendam makin
lama makin berkobar di hati sanubari mereka. Oleh karena itu, mereka tiada
henti-hentinya berusaha dengan berbagai cara agar dapat
membalas Nabi SAW dan tentara muslimin.
Terlebih
lagi setelah angkatan perdagangan Quraisy yang besar, sesudah perang Badr itu
dapat dikejar dan dirampas oleh tentara muslimin, sehingga mereka kesulitan
mencari jalan yang akan dilewati oleh kafilah mereka ke negeri Syam. Maka pada
suatu hari kepala-kepala dan ketua-ketua Quraisy mengadakan rapat, dimana mereka
akan memutuskan bagaimana cara melakukan pembalasan
kepada tentara muslimin. Diantara kepala-kepala dan ketua-ketua Quraisy yang
datang dalam rapat itu ialah Abu Sufyan bin Harb, Abdullah bin Rabi’ah, ‘Ikrimah
bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah, Jubair bin Muth’im, Harits bin Hisyam, Ubay bin Khalaf dan lain-lainnya.
Dalam
rapat tersebut dihadiri juga oleh perempuan-perempuan Quraisy termasuk Hindun
binti ‘Utbah (istri Abu Sufyan).
‘Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi SAW juga hadir, tetapi dalam rapat
tersebut dia selalu menentang apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Beliau beralasan dengan akibat-akibat seperti yang telah terjadi di
Badr. Tetapi dalam rapat tersebut beliau kalah suara, namun beliau tetap
tidak mau tunduk kepada keputusan rapat kaum Quraisy tersebut, dan beliau tidak
akan ikut menjadi tentara
Quraisy.
Setelah
terjadi perbincangan panjang lebar dalam rapat itu akhirnya diputuskan bahwa :
1. Angkatan perdagangan Quraisy ke negeri Syam
yang dikepalai oleh Abu Sufyan (yang menyebabkan terjadinya perang Badr ketika
itu) yang telah dapat terlepas dari kejaran tentara Muhammad dan dapat selamat
dari bahaya itu, keuntungan dari angkatan perdagangan tersebut harus dikeluarkan
oleh masing-masing orang yang ketika itu ikut mengirim dagangannya ke negeri
Syam, kemudian harta keuntungan tadi dikumpulkan untuk dana membalas memerangi
Muhammad dan tentaranya, serta menghancurkan kota Madinah.
2. Dari qabilah-qabilah Tihamah, Kinanah dan
lain-lain dari qabilah-qabilah Arab yang berdekatan dengan kota Makkah perlu diadakan perjanjian dengan kaum Quraisy.
Yakni qabilah-qabilah itu harus membantu kaum Quraisy untuk
memerangi Muhammad dan tentaranya.
3. Perempuan-perempuan Quraisy terutama yang
kematian kaum keluarganya di Badr, harus ikut berangkat ke peperangan, jika
sewaktu-waktu kaum lelakinya jadi memerangi Muhammad dan
tentaranya.
Demikianlah
keputusan rapat kaum Quraisy waktu itu.
Dan keputusan ini segera akan dilaksanakan dengan
sepenuhnya.
Menurut
riwayat, bahwa harta benda dari keuntungan perdagangan tersebut sebanyak 50.000
dinar.
Harta tersebut akan digunakan untuk membiayai
pasukannya yang akan melakukan pembalasan memerangi Nabi SAW dan tentara
muslimin. Berkenaan dengan hal itu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW :
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا
عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَسَيُنْفِقُوْنَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ
يُغْلَبُوْنَ، وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا اِلى جَهَنَّمَ يُحْشَرُوْنَ. الانفال:36
Sesungguhnya
orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari
jalan Allah.
Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi
sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam
neraka Jahannam lah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.
[QS. Al-Anfaal : 36]
Dengan
ayat ini berarti bahwa harta benda yang mereka belanjakan untuk
menghalang-halangi agama Allah, akibatnya akan
menjadikan sesalan bagi mereka sendiri. Kemudian di masa mereka hidup di dunia
akan dikalahkan, dan kelak di hari kemudian mereka akan
dihalau dan dihimpun ke neraka jahannam.
2.
Angkatan tentara kaum musyrikin
Selanjutnya,
kepala-kepala Quraisy mengadakan persiapan untuk berangkat memerangi Nabi SAW
dan tentara muslimin.
Mereka mengumpulkan tentaranya, lalu dihitung dan ternyata lebih dari 3.000
orang, diantaranya 200 orang yang berkuda dengan bersenjata lengkap sebagai
pahlawan-pahlawan mereka. Dan yang lain semuanya
berkendaraan unta, dan 700 orang memakai baju besi. Kepala dan
ketua-ketua Quraisy ketika itu tidak ada yang ketinggalan. Angkatan tentara mereka dikepalai oleh Abu Sufyan. Budak-budak mereka pun disuruh keluar oleh majikannya supaya ikut
serta menjadi tentara dengan dikepalai oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib, Al-Ausi yang
datang dari Madinah karena benci kepada Rasulullah SAW. Dan juga diikuti
oleh kepala-kepala perempuan Quraisy, diantaranya Hindun binti ‘Utbah (istri Abu
Sufyan), dan dialah yang menjadi kepalanya, Ummu Hakim (isteri ‘Ikrimah), Barzah
binti Mas’ud (isteri Shafwan bin Umayyah), Fathimah binti Walid (isteri Harist
bin Hisyam), Raithah binti Munabbih (isteri ‘Amr bin ‘Ash). Pendek kata waktu itu barisan tentara musyrikin lebih dari 3.000
orang banyaknya.
Diantara
barisan musyrikin ada seorang budak belian bangsa Habsyi bernama Wahsyi (ahli
lempar lembing dan jarang sekali meleset), diberi janji oleh majikannya,
“Jika kamu dapat membunuh Hamzah paman Muhammad, nanti kamu akan kami
merdekakan”.
Dan ada pula penyair yang terkenal bernama Abu ‘Azzah (‘Amr bin ‘Abdillah), yang
ia ketika tertawan oleh tentara muslimin di Badar lalu
dibebaskan oleh Nabi SAW dengan tidak membayar tebusan sepeser pun. Tetapi ia berjanji tidak akan mengganggu Islam dan tidak akan
memerangi kaum muslimin. Ia diminta oleh Shafwan bin
Umayyah supaya ikut berangkat memerangi kaum muslimin, dan supaya membuat
syair-syair yang berisi ejekan kepada tentara Islam dan menggirangkan kaum
Quraisy. Ketika itu ia menjawab, “Saya sudah
berjanji tidak akan memusuhi Muhammad
dan kaumnya, maka dari itu jika saya tertawan lagi, tentu saya
dibunuh”.
Ia
terus-menerus diminta oleh Shafwan supaya ikut berangkat, maka akhirnya ia
berangkat dan dijadikan tukang sya’ir bagi tentara
musyrikin.
Kemudian
tentara musyrikin sebanyak 3.000 orang lebih, berangkat menuju ke Madinah dengan
dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Ketika itu mereka tidak lupa membawa tuhan
mereka yang paling besar ialah berhala Hubal, dan tidak lupa dengan diiringkan
oleh perempuan-perempuan penyanyi, perempuan-perempuan ronggeng dan
perem-puan-perempuan penghibur, untuk memberikan semangat kepada mereka, dan
juga membawa bunyi-bunyian seperti tambur dan lain sebagainya. Dan minuman keraspun dibawa
sebanyak-banyaknya.
3.
Abbas bin Abdul Muththalib mengirim surat kepada Nabi SAW
Kemudian
Abbas bin Abdul Muththalib mengirim sepucuk surat
kepada Nabi SAW di Madinah dengan perantaraan seorang dari Banu Ghifar yang
sanggup membawa surat dengan cepat, dengan upah yang secukupnya, asal surat itu
dapat sampai kepada Nabi SAW dalam waktu paling lambat tiga malam. Dalam surat tersebut beliau mengkhabarkan kepada Nabi SAW tentang
segala apa yang akan dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap Nabi dan kaum
muslimin.
Dengan
secepatnya, utusan ‘Abbas tersebut dalam waktu tiga hari tiga malam telah sampai
di Quba’.
Dan kebetulan waktu itu Nabi SAW sedang berjalan-jalan di sana
dengan berkendaraan keledai dan tengah berhenti di muka pintu masjid
Quba’.
Setelah
menerima surat, lalu Nabi SAW segera memberikan kepada
shahabat Ubay bin Ka’ab RA supaya dibacakannya. Setelah surat itu dibaca oleh Ubay, Nabi SAW berpesan kepadanya,
“Supaya isi surat itu dirahasiakan dulu, dan jangan disiarkan kepada orang
lain”.
4.
Persiapan tentara kaum muslimin
Setelah
menerima surat dari pamannya (‘Abbas) tersebut, maka Nabi SAW segera kembali
dari Quba’.
Pada malam harinya, dalam tidurnya Nabi SAW bermimpi demikian
: Seekor lembu disembelih, ujung pedang beliau sumbing, pedang beliau
yang bernama Dzulfaqar terlepas dari sarungnya, tangan beliau dimasukkan ke
dalam baju besinya yang kokoh, dan beliau mengiringkan seekor
kibasy.
Kemudian
keesokan harinya beliau menceritakan mimpi itu serta menerangkan kepada kaum
muslimin yang ada di hadapannya.
Dan
ketika beliau menceritakan mimpi tersebut, ada sebagian dari shahabat-shahabat
yang hadir bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana ta’wil mimpi tuan itu ?”.
Nabi
SAW lalu menerangkan, “Lembu yang disembelih itu, ialah sebagaian dari
shahabatku akan terbunuh.
Ujung pedangku sumbing ialah seorang dari keluargaku akan terbunuh. Pedangku Dzulfaqar terlepas dari sarungnya
ialah akan adanya dua perkara yang hebat. Tanganku
kumasukkan ke dalam baju besi yang kokoh itu ialah kita harus di dalam kota
Madinah, jangan sampai kita keluar dari Madinah, dan jika ada musuh yang datang
dari luar, haruslah kita hadapi dan kita perangi di dalamnya (Madinah), adapun
kibasy yang kuiringkan itu, ialah aku akan membunuh seorang pembesar
kaum”.
Demikianlah
ta’wil beliau terhadap impiannya, kemudian beliau mengadakan rapat dengan kaum
Muslimin, terutama ketua-ketua shahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar dan
lain-lainnya untuk menghadapi musuh yang akan datang menyerang itu. Apakah akan keluar dari Madinah ataukah tidak.
Dalam
rapat itu, Nabi SAW mengemukakan pendapatnya yaitu tidak usah keluar dari
Madinah.
Lebih baik
berjaga-jaga dan bersiaga di dalam kota saja. Karena di sekeliling
kota Madinah sudah penuh gunung-gunung dan bukit-bukit
laksana benteng yang kokoh, dan tidak mudah diserang oleh musuh. Maka jika musuh datang dari luar lalu berhenti tidak menyerang,
biarlah mereka berhenti dengan sejelek-jeleknya, dan jika mereka terus menerus
menyerang maka tentara muslimin harus menolak serangan mereka dengan
sehebat-hebatnya.
Pendapat
Nabi SAW yang demikian ini sama dengan pendapatnya
‘Abdullah bin Ubay bin Salul (kepala munafiqin) dan didukung para shahabat
angkatan tua. Tetapi oleh sebagian besar dari shahabat angkatan muda yang
dipimpin oleh shahabat Hamzah RA menolak pendapat itu dengan mengemukakan berbagai alasan yang kuat dan bagus. Maka dalam rapat itu terjadi dua
pendapat.
Pihak
pertama, berpendapat bahwa tidak usah keluar, mereka berkata, “Sebaiknya kita
tidak usah keluar, kita bertahan saja di dalam kota, menunggu sampai musuh
datang dan masuk, kemudian mereka itu baru kita
serang.
Pendapat ini dikuatkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang pembesar kaum
munafiq yang sudah banyak pengalamannya tentang berperang mempertahankan kota Madinah. Dia berkata, “Pengalaman
memberi pengajaran kepada kami, bahwa untuk mempertahankan kota ini sebaiknya
kita bersikap menanti di dalam, karena setiap kami bertahan di dalam selalu
mendapat kemenangan, sebaliknya setiap kami keluar menghadapi musuh di luar
kota, kami selalu mendapat kekalahan”.
Selanjutnya
ia berkata, “Sesungguhnya keadaan sekeliling kota
ini merupakan tembok yang sangat kokoh kuat sebagai benteng, dan inilah kota
pertahanan yang sangat baik. Selain dari itu, kalau kita berperang di dalam
kota, para perempuan kita dan anak-anak kita dapat membantu, di jalan-jalan kita
berkelahi dengan senjata, dan jika perlu kita bertempur, sedang dari atas rumah
kita masing-masing para perempuan dan anak-anak kita dapat menolong melempari
batu kepada fihak musuh. Demikian inilah cara
peperangan yang telah kita kuasai turun-temurun dari orang-orang tua kita untuk
mempertahankan kota ini, dan dengan pembelaan secara demikian inilah kami
senantiasa mendapat kemenangan. Maka saya harap sekali lagi ya Rasulullah,
mudah-mudahan engkau mau mendengarkan pendapat dan pertimbangan saya yang telah
saya kemukakan ini”
:
Pendapat
kedua dari angkatan muda yang dipimpin oleh Hamzah yang memilih menyongsong
musuh di luar kota, mereka berkata : Kita hendaklah
keluar dari kota untuk menyambut dan menyongsong kedatangan musuh. Karena kita
tidak ingin melihat tentara Quraisy nanti pulang dengan membuka mulut besar dan
mengatakan, “Kami telah mendatangi dan mengepung tentara Muhammad di dalam
rumah, sehingga tidak berani keluar”. Karena telah menjadi kebiasaan bagi mereka
itu congkak dan sombong, dan suka bermulut besar.
Selanjutnya
Hamzah berkata, “Sekarang mereka telah menginjak-injak tanah perkebunan kita
yang ada di sekeliling kota ini, dan sudah menunjukkan kesombongan
mereka.
Mereka sudah setahun lebih mengumpulkan kekuatan dan senjata
untuk menyerang kita. Para kawan sekutu mereka dari
seluruh pelosok tanah ini telah mereka tarik sebanyak-banyaknya, bahkan
budak-budak, binatang unta dan kuda mereka semua telah dikerahkan kemari, ke
tanah perkebunan kita. Oleh sebab itu, apakah segala perbuatan congkak
dan sombong dari mereka itu akan kita biarkan dan kita
diamkan saja, ya Rasulullah. Jika kita bertindak sedemikian rupa, berarti kita
membiarkan mereka bersikap congkak, berkelakuan sombong dan berbuat
sewenang-wenang dan tentulah mereka itu akan bertambah manja, bertambah berani
mengepung dan menyerang kita berulang-ulang, yang selanjutnya mereka akan
menghancur binasakan kita”.
Demikianlah pihak
angkatan muda dengan semangat yang menyala-nyala dan perkataan yang berapi-api
mengemukakan pendapatnya di hadapan Nabi SAW, supaya pihak musuh itu disambut
dan disongsong di luar kota, jangan dibiarkan mendekat atau masuk ke dalam kota.
Selanjutnya mereka mengatakan sebagai penutup uraiannya, kepada Nabi SAW, “Ya
Rasulullah, apa yang kita khawatirkan dan apa pula yang kita takutkan ?, jika kita menang, itulah yang kita harapkan, dan
jika kita kalah, kita mati sebagai syahid, tempat kita sudah disediakan di dalam
surga, di hadlirat Allah SWT”.
Oleh
karena Nabi SAW melihat suara yang menuntut supaya keluar dari kota itu lebih
banyak, padahal wahyu dari Allah yang memberitahukan tentang hal tersebut itu
tidak ada, maka beliau mengambil keputusan dalam rapat itu, menurut suara yang
terbanyak.
Memang
sudah menjadi kebiasaan bagi Nabi SAW bilamana terjadi suatu peristiwa mengenai
urusan keduniaan, padahal belum didapat keterangan dari wahyu, maka beliau
mengambil dasar untuk memutuskan dengan musyawarah yang didatangi oleh para
shahabat yang dipandang cakap dan dapat ikut bermusyawarah.
Dalam musyawarah itu jika timbul suatu perselisihan pendapat,
maka suara terbanyak yang dipakai sesudah dibicarakan dengan baik.
Akhirnya keputusan diambil dengan suara bulat bahwa kaum muslimin akan keluar dari kota Madinah untuk menghadapi dan
menyongsong musuh di luar kota.
Sehabis
shalat Jum’at (tanggal 10 Syawwal tahun ke-3 Hijrah) dan pimpinan ummat Islam di
Madinah telah diserahkan kepada ‘Abdullah bin Ummi Maktum, lalu beliau pergi
sebentar menshalatkan jenazah shahabat Anshar bernama Malik bin ‘Amr yang
meninggal pada hari itu.
Sehabis
shalat ‘Ashar bersama shahabat, beliau masuk ke rumahnya untuk memakai pakaian
perang.
Kemudian beliau keluar dengan menyandang pedang dan
perisai. Sementara itu di kalangan shahabat terjadi keributan tentang
jadi keluar kota atau bertahan di dalam
kota.
Waktu
itu orang ramai membicarakannya kembali, dan ada yang takut kalau-kalau hal
tersebut melanggar suatu ketentuan dari Allah.
Oleh karena itu diantara mereka ada yang berkata, “Mengapa kalian memaksa
Rasulullah supaya keluar dari kota Madinah untuk menyongsong musuh, dan mengapa
kalian menolak pendapat beliau ?”. Sebagian lagi ada yang berkata, “Alangkah baiknya tentang hal ini
kita serahkan saja pada beliau, dan kita tinggal menthaatinya”. Ada shahabat yang berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah,
kami tidak memaksa engkau. Kami tidak akan menyalahi perintah engkau. Berbuatlah mana yang engkau
kehendaki, dan kami akan thaat kepada engkau”.
Pada
waktu itu beliau menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah
menyandang pakaian perangnya akan meletakkannya kembali sehingga Allah
memberikan keputusan antaranya dan antara
musuh-musuhnya”.
Kemudian Nabi SAW menyerahkan tiga bendera kepada tiga orang shahabat, yaitu
bendera Islam dari kaum Muhajirin diserahkan kepada Mus’ab bin ‘Umair, bendera
tentara Islam golongan ‘Aus diserahkan kepada Usaid bin Hudlair dan bendera
tentara Islam golongan Khazraj diserahkan kepada Hubbab bin
Mundzir.
Nabi
SAW keluar dari Madinah bersama 1.000 orang kaum muslimin, yang berjalan di
depan beliau adalah shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah, dan diantara mereka yang berkuda
hanya 2 orang, dan yang memakai baju besi sebanyak 100
orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar