Hal-hal
yang disunnatkan kita berwudlu
1.
Memperbaharui wudlu untuk tiap-tiap shalat
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لَوْ لاَ اَنْ اَشُقَّ
عَلَى اُمَّتِى َلاَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ وَ مَعَ كُلّ
وُضُوْءٍ بِسِوَاكٍ. احمد باسناد صحيح، فى نيل الاوطار 1: 248
Dari
Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sekiranya tidak memberatkan
ummatku, tentu aku perintahkan kepada mereka supaya berwudlu untuk tiap-tiap
shalat dan setiap berwudlu supaya bersiwak (menggosok gigi)”.
[HR. Ahmad dengan sanad yang shahih, dalam Nailul Authar 1
: 248]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلّ
صَلاَةٍ. قِيْلَ لَهُ: فَاَنْتُمْ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ: كُنَّا
نُصَلّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ نُحْدِثْ. الجماعة الا مسلما
Dari
Anas, ia berkata, “Biasanya Rasulullah SAW berwudlu
pada setiap akan shalat”. Lalu ada orang bertanya kepada Anas, “Sedangkan
kalian, bagaimana kalian berbuat ?”. Anas menjawab, “Kami biasa shalat beberapa shalat dengan satu kali
wudlu, selama kami belum bathal”.
[HR. Jama’ah, kecuali Muslim, dalam Nailul Authar 1 :
248]
2. Berwudlu setelah makan makanan yang disentuh
api
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيّ ص تَقُوْلُ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: تَوَضَّأُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ. مسلم 1: 273
Dari
‘Urwah, ia berkata : Saya mendengar ‘Aisyah istri Nabi SAW berkata : Rasulullah
SAW bersabda, “Berwudlulah kamu karena makan makanan yang disentuh
api”.
[HR. Muslim 1 : 273]
عَنْ مَيْمُوْنَةَ رض قَالَتْ: اَكَلَ النَّبِيُّ ص مِنْ كَتِفِ شَاةٍ
ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 246
Dari
Maimunah RA, ia berkata : Nabi SAW pernah makan daging
sampil depan kambing, sesudah itu beliaupun bangun lalu shalat dengan tidak
berwudlu lagi”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar 1 :
246]
عَنْ عَمْرِو بْنِ اُمَيَّةَ الضَّمَرِى قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ص
يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَدُعِيَ اِلَى الصَّلاَةِ فَقَامَ
وَ طَرَحَ السّكّيْنَ وَ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 246
Dari
‘Amr bin Umayyah
Adl-Dlamariy,
ia
berkata, “Saya melihat Nabi SAW memotong sampil kambing lalu
memakannya.
Maka ketika ada panggilan shalat, beliau berdiri, meletakkan pisau lalu shalat
tanpa berwudlu lagi”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar 1 :
246]
Keterangan
:
Pada
hadits pertama, Nabi SAW memerintahkan kepada ummatnya supaya berwudlu setelah
makan makanan yang disentuh api. Sedang pada riwayat
kedua, Maimunah menjelaskan bahwa Nabi pernah makan sampil depan kambing (yang
tentunya dimasak diatas api), setelah itu beliau shalat
tanpa berwudlu lagi, begitu pula riwayat yang ketiga.
Dari
riwayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa perintah supaya berwudlu sehabis
makan makanan yang tersentuh api pada hadits pertama
itu hukumnya adalah sunnah.
3. Sunnah berwudlu sebelum tidur
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا
اَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى
شِقّكَ اْلاَيْمَنِ وَ قُلْ: اَللّهُمَّ اَسْلَمْتُ نَفْسِى اِلَيْكَ وَ فَوَّضْتُ
اَمْرِى اِلَيْكَ وَ اَلْجَأْتُ ظَهْرِى اِلَيْكَ رَهْبَةً وَ رَغْبَةً اِلَيْكَ
لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَى مِنْكَ اِلاَّ اِلَيْكَ امَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى
اَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيّكَ الَّذِى اَرْسَلْتَ. فَاِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى
اْلفِطْرَةِ. وَ اجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ. فَقُلْتُ: اَسْتَذْكِرُهُنَّ وَ
بِرَسُوْلِكَ الَّذِى اَرْسَلْتَ. قَالَ: لاَ، وَ نَبِيّكَ الَّذِى
اَرْسَلْتَ. البخارى 7: 146
Dari
Baraa’ bin ‘Azib RA, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Apabila kamu akan tidur, maka berwudlulah sebagaimana wudlu untuk
shalat. Kemudian berbaringlah atas lambung kananmu dan bacalah [Allaahumma
aslamtu nafsii ilaika wa fawwadltu amrii ilaika wa
alja’tu dhahrii ilaika rahbatan wa raghbatan ilaika laa malja-a wa laa manjaa
minka illaa ilaika. Aamantu bi kitaabika lladzii anzalta wa bi Nabiyyika lladzii arsalta] (Ya Allah aku serahkan
diriku kepada-Mu, aku pulangkan segala urusanku kepada-Mu dan aku melindungkan
diriku kepada-Mu, karena takut dan cintaku kepada-Mu. Tidak
ada tempat berlindung dan melepaskan diri dari-Mu melainkan kepada-Mu.
Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang
telah Engkau utus), maka jika kamu mati, niscaya kamu mati di dalam fithrah
(kesucian) dan jadikanlah doa itu sebagai akhir
perkataanmu. (Baraa’ berkata) lalu aku mengulangi doa
itu (supaya didengar Nabi SAW) dengan [Wa bi rasuulika lladzii arsalta]. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak begitu, tetapi [Wa bi Nabiyyika
lladzii arsalta]”.
[HR. Bukhari 7 : 146]
4. Berwudlu bagi orang yang berjunub bila hendak
tidur
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا اَرَادَ اَنْ
يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ
لِلصَّلاَةِ. الجماعة، فى نيل الاوطار 1: 253
Dari
‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW apabila akan
tidur sedang beliau junub, beliau membasuh kemaluannya dan berwudlu sebagaimana
wudlunya untuk shalat”.
[HR. Jama’ah, dalam Nailul Authar 1 :
253]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ عُمَرَ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَنَامُ
اَحَدُنَا وَ هُوَ جُنُبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ اِذَا تَوَضَّأَ. الجماعة، فى نيل الاوطار 1: 253
Dari
Ibnu ‘Umar, bahwasanya ‘Umar (bin Khaththab) berkata, “Ya Rasulullah, apakah
boleh seseorang diantara kita tidur padahal ia sedang junub
?”. Nabi SAW menjawab, “Ya boleh, apabila ia
berwudlu”.
[HR. Jama’ah, dalam Nailul Authar 1 :
253]
5. Berwudlu bagi orang junub bila hendak
mengulangi persetubuhan
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اِذَا اَتَى اَحَدُكُمْ
اَهْلَهُ ثُمَّ اَرَادَ اَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ. الجماعة الا البخارى، فى نيل الاوطار 1: 254
Dari
Abu Sa’id (Al-Khudriy), dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Apabila seseorang
diantara kamu mengumpuli istrinya kemudian akan mengulanginya, hendaklah ia
berwudlu”.
[HR. Jama’ah, kecuali Bukhari, dalam Nailul Authar 1 :
254]
6. Berwudlu bagi orang junub bila akan makan dan minum
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص رَخَّصَ لِلْجُنُبِ
اِذَا اَرَادَ اَنْ يَأْكُلَ اَوْ يَشْرَبَ اَوْ يَنَامَ اَنْ يَتَوَضَّأَ
وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ. احمد و الترمذى و صححه، فى نيل الاوطار 1: 254
Dari
‘Ammar bin Yasir RA bahwasanya Nabi SAW memberikan keringanan bagi orang
berjunub, apabila hendak makan-minum atau tidur supaya berwudlu sebagaimana
wudlu untuk shalat”.
[HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan ia menshahihkannya, dalam Nailul Authar 1 : 254]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا اَرَادَ اَنْ
يَأْكُلَ اَوْ يَشْرَبَ وَ هُوَ جُنُبٌ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَ
يَشْرَبُ. احمد و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 255
Dari
‘Aisyah RA, ia berkata : Nabi SAW apabila hendak makan
atau minum, sedang beliau junub, beliau membasuh kedua tangannya, sesudah itu
beliau makan dan minum”.
[HR. Ahmad dan Nasai, dalam Nailul Authar 1 :
255]
Orang
yang berhadats boleh membaca/menyentuh Al-Qur’an
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلّ
اَحْيَانِهِ. مسلم 1: 282
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Adalah Nabi SAW selalu menyebut
(nama) Allah di setiap waktu”.
[HR Muslim 1: 282]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: اَخْبَرَنِى اَبُوْ سُفْيَانَ اَنَّ هِرَقْلَ
دَعَا بِكِتَابِ النَّبِيّ ص فَقَرَأَهُ، فَاِذَا فِيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ. يَا اَهْلَ اْلكِتَابِ تَعَالَوْا اِلى كَلِمَةٍ الآية ... البخارى 1: 79
Ibnu
‘Abbas berkata : Abu Sufyan telah memberitahukan kepada
saya, bahwa Heraclius pernah meminta surat
yang (dibawa) dari Nabi SAW, kemudian ia membacanya, sedang di situ tertulis
“Bismillaahir rahmaanir rahiim. (Dengan nama Allah, yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang), hai ahli kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat ..... (QS. Ali ‘Imraan : 64)
“.
[HR. Bukhari 1 : 79]
لَمْ يَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِاْلقِرَاءَةِ لِلْجُنُبِ
بَأْسًا. البخارى 1: 79
Ibnu
‘Abbas RA tidak memandang sebagai suatu kesalahan bagi seorang yang sedang
berjunub membaca Al-Qur’an.
[HR. Bukhari 1 : 79]
اِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَقْرَأُ وِرْدَهُ وَ هُوَ
جُنُبٌ. ابن المنذر
Sesungguhnya
Ibnu ‘Abbas biasa membaca wiridnya (sebagian dari Al-Qur’an) walaupun ia
junub.
[HR. Ibnu Mundzir]
قَالَ اْلحَكَمُ: اِنّى َلاَذْبَحُ وَ اَنَا جُنُبٌ وَ قَالَ اللهُ
عَزَّ وَ جَلَّ: وَ لاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ
عَلَيْهِ. البخارى 1: 79
Hakam
(salah seorang shahabat) berkata : Sesungguhnya saya
pernah menyembelih (dengan membaca basmalah), padahal saya sedang junub, karena
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Janganlah kalian memakan (sembelihan) yang
tidak disebut nama Allah atasnya”.
[HR. Bukhari 1 : 79]
Keterangan
:
Dari
hadits ‘Aisyah RA diatas dengan keumuman lafadhnya, berarti Nabi SAW selalu
menyebut nama Allah, baik dalam keadaan suci maupun
berhadats besar ataupun kecil.
Shahabat
Ibnu ‘Abbas membolehkan orang berjunub membaca Al-Qur’an dan beliau sendiri
melakukannya. Riwayat shahabat Hakam yang menyembelih dengan (menyebut) nama Allah, yaitu Bismillah yang merupakan sebagian
dari ayat Al-Qur’an, padahal beliau sedang junub. Begitu pula riwayat Abu
Sufyan, bahwa seorang penguasa Romawi yang beragama Nashrani yang tentu saja
tidak mengenal syariat mandi janabat atau wudlu bila berhadats, dia dikirimi
surat oleh Nabi SAW dengan menyertakan ayat sebagai materi dakwah
kepadanya.
Maka
dari hadits dan riwayat tersebut, bisa diambil kesimpulan, bahwa hukum bagi
seseorang yang sedang berhadats besar maupun kecil untuk membaca Al-Qur’an
adalah boleh dan tidak dilarang oleh agama.
Tentang
wanita haidl atau nifas membaca Al-Qur’an
Tentang
wanita haidl atau nifas membaca Al-Qur’an ini, memang ada hadits yang
melarangnya, tetapi setelah diselidiki, ternyata hadits itu lemah, hadits itu sebagai
berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَقْرَأُ اْلجُنُبُ وَ
لاَ اْلحَائِضُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ. ابو داود و الترمذى و ابن ماجه، فى نيل الاوطار 1: 266
Dari
Ibnu ‘Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Orang yang berjunub dan wanita yang
haidl tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”.
[HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nailul Authar I
: 266]
عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَقْرَأُ اْلحَائِضُ وَ لاَ
النُّفَسَآءُ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئًا. الدارقطنى، فى نيل الاوطار 1: 267
Dari
Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita yang sedang haidl dan yang sedang
nifas tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”.
[HR. Daruquthni, Nailul Authar I :
267]
Hadits-hadits
tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan
hukum, karena pada hadits pertama dalam isnadnya terdapat Ismail bin ‘Ayyasy dan
dia dilemahkan oleh imam-imam Bukhari, Ahmad dan lain-lain ahli
hadits.
Sedang
hadits kedua dalam isnadnya terdapat seorang yang bernama Muhammad bin Fadl yang
dikenal oleh para ahli hadits sebagai seorang pemalsu hadits yang
terkenal.
Kesimpulan
:
Karena
tidak ada dasar yang kuat yang melarang wanita yang sedang haidl dan nifas untuk
membaca Al-Qur’an, maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu
boleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar