Haidl,
istihadlah dan nifas
1.
Cara membedakan darah haidl
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ
تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اِذَا كَانَ دَمُ اْلحَيْضَةِ فَاِنَّهُ
اَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَاِذَا كَانَ كَذلِكَ فَاَمْسِكِى عَنِ الصَّلاَةِ. فَاِذَا
كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِى وَ صَلِّى فَاِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ. ابو داود و
النسائى
Dari
‘Urwah, dari Fathimah binti Abu Hubaisy, sesungguhnya ia beristihadlah, lalu
Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jika benar darah itu darah haidl, maka warnanya
adalah hitam sebagaimana yang sudah dikenal, maka apaila benar demikian
keadaannya, tinggalkanlah shalat. Akan tetapi apabila berwarna lain, maka
berwudlulah dan shalatlah, karena sesungguhnya ia adalah dari gangguan
urat”.
[HR. Abu Dawud dan Nasai]
عَنْ اُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَ
اْلكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا. ابو داود و البخارى و لم يذكر بعد
الطهر
Dari
Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Warna kuning dan keruh sesudah suci itu tidak kami
anggap sesuatu darah hadil”.
[HR. Abu Dawud dan Bukhari, tetapi Bukhari tidak menyebutkan kata-kata, “sesudah
suci”]
Keterangan
:
Hadits-hadits
tersebut menunjukkan tentang cara membedakan sifat darah, yaitu : Kalau darah
itu warnanya hitam (merah kehitam-hitaman) berarti darah haidl, dan kalau tidak
demikian berarti darah istihadlah.
2.
Lamanya haidl
Tentang
lamanya haidl bagi para wanita adalah tidak sama. Hanya biasanya wanita-wanita
haidl selama 6 atau 7 hari, tetapi bisa juga kurang atau lebih dari
itu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ
لِرَسُوْلِ اللهِ ص: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَأَدَعُ
الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ، وَ لَيْسَ
بِاْلحَيْضَةِ. فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا
ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى. البخارى و النسائى و ابو
داود
Dari
‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy memberitahu kepada Rasulullah
SAW, “Sesungguhnya saya seorang perempuan yang beristihadlah, karena itu aku
tidak suci, bolehkah aku meninggalkan shalat ?”. Maka Rasulullah SAW menjawab,
“Sesungguhnya yang demikian itu hanya gangguan urat, bukan haidl. Oleh karena
itu bila datang hadil tinggalkanlah shalat, lalu apa bila waktu haidl sudah
habis, maka cucilah darah itu darimu, dan shalatlah”.
[HR. Bukhari, Nasai dan Abu Dawud]
و فى رواية للجماعة الا ابن ماجه: فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ
فَدَعِى الصَّلاَةَ. وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ
صَلِّى
Dan
dalam satu riwayat oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah dikatakan, “Kemudian apabila
waktu haidl datang, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila waktu haidl telah
lewat maka hendaklah kamu cuci darah darimu dan shalatlah”.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَائَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى
النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ. اَفَأَدَعُ
الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ لَهَا: اِجْتَنِبِى الصَّلاَةَ اَيَّامَ مَحِيْضِكَ، ثُمَّ
اغْسِلِى وَ تَوَضَّإِى لِكُلِّ صَلاَةٍ. ثُمَّ صَلِّى وَ اِنْ قَطَرَ الدَّمُ
عَلَى اْلحَصِيْرِ. احمد و ابن ماجه
Dari
‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi SAW, lalu ia
bertanya : Sesungguhnya saya seorang wanita yang beristihadlah, karena itu saya
tidak suci, bolehkah saya meninggalkan shalat ?”. Kemudian Nabi SAW menjawab
kepadanya, “Jauhilah shalat pada hari-hari haidlmu, kemudian mandilah, dan
berwudlulah untuk setiap shalat, kemudian shalatlah walaupun darah itu menetes
diatas tikar”.
[HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: كُنْتُ اُسْتَحَاضُ حَيْضَةً
كَثِيْرَةً شَدِيْدَةً، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص اَسْتَفْتِيْهِ، فَقَالَ: اِنَّمَا
هِيَ رِكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَتَحِيْضِى سِتَّةَ اَيَّامٍ اَوْ سَبْعَةَ
اَيَّامٍ، ثُمَّ اغْتَسِلِى. فَاِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّى اَرْبَعَةً وَ
عِشْرِيْنَ اَوْ ثَلاَثَةً وَ عِشْرِيْنَ وَ صُوْمِى وَ صَلِّى. فَاِنَّ ذلِكَ
يُجْزِئُكِ. وَ ذلِكَ فَافْعَلِى كُلُّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءِ. فَاِنْ
قَوِيْتِ عَلَى اَنْ تُؤَخِّرِى الظُّهْرَ وَ تُعَجِّلِى اْلعَصْرَ، ثُمَّ
تَغْتَسِلِى حِيْنَ تَطْهُرِيْنَ وَ تُصَلِّى الظُّهْرَ وَ اْلعَصْرَ جَمِيْعًا.
ثُمَّ تُؤَخِّرِيْنَ اْلمَغْرِبَ وَ تُعَجِّلِيْنَ اْلعِشَاءَ. ثُمَّ
تَغْتَسِلِيْنَ وَ تَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِى وَ
تَغْتَسِلِيْنَ مَعَ الصُّبْحِ وَ تُصَلِّيْنَ. قَالَ: وَ هُوَ اَعْجَبُ
اْلاَمْرَيْنِ اِلَيَّ. الجماعة الا النسائى و صححه الترمذى و حسنه
البخارى
Dari
Hamnah binti Jahsyin RA, ia berkata : Aku pernah istihadlah yang banyak dan
deras, lalu saya datang kepada Nabi SAW meminta fatwanya, maka sabdanya, “Yang
demikian itu adalah gangguan dari gangguan syaithan, maka berhaidl lah kamu enam
hari atau tujuh hari, kemudian mandilah. Maka apabila kamu sudah merasa bersih,
shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, puasalah dan shalatlah,
karena yang demikian itu sudah mencukupimu. Dan demikian itu lakukanlah setiap
bulan sebagaimana wanita-wanita berhaidl. Dan apabila kamu kuat mengakhirkan
Dhuhur dan memajukan ‘Ashar (lakukanlah). Kemudian mandilah ketika kamu bersih
dan shalatlah Dhuhur dan ‘Ashar bersama. Kemudian kamu akhirkan Maghrib dan
menyegerakan ‘Isya’. Kemudian kamu mandi dan menjama’ antara dua shalat,
lakukanlah. Dan kamu mandi untuk Shubuh dan shalat”. Beliau bersabda, “Dan
demikian itu adalah yang lebih aku sukai dari yang lainnya”.
[HR. Khamsah, kecuali Nasai, dishahihkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh
Bukhari]
3.
Larangan bagi wanita yang sedang haidl
Wanita
yang sedang haidl tidak boleh bersetubuh, shalat, thawaf dan tidak boleh
berpuasa.
وَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا
النّسَاءَ فِى اْلمَحِيْضِ وَ لاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ. فَاِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ اْلمُتَطَهّرِيْنَ. البقرة:222
Mereka
bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah, “Haidl itu adalah kotoran”. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan
diri.
[QS. Al-Baqarah : 222]
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ اْليَهُوْدَ كَانُوْا اِذَا حَاضَتِ
اْلمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكِدُوْهَا وَ لَمْ يُجَامِعُوْهَا فِى اْلبُيُوْتِ.
فَسَأَلَ اَصْحَابُ النَّبِيِّ ص، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: وَ
يَسْاَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ .... الى آخر الآية .... فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
ص: اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ النِّكَاحَ و فى لفظ: اِلاَّ اْلجِمَاعَ.
الجماعة الا البخارى
Dari
Anas bin Malik, bahwa orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haidl, mereka
tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam
rumah. Lalu para shahabat Nabi SAW bertanya (kepada beliau), kemudian Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang
(hukum) haidl, katakanlah, “Dia itu kotoran”, karena itu jauhilah
perempuan-perempuan (istri-istri) yang sedang berhadil .... “. Lalu Rasulullah
SAW bersabda, “Berbuatlah apasaja kecuali setubuh”. Dan di dalam satu lafadh
dikatakan, “kecuali jimak”.
[HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
عَنْ مَسْرُوْقِ بْنِ اْلاَجْدَعِ قَالَ: سَاَلْتُ عَائِشَةَ رض: مَا
لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ اِذَا كَانَتْ حَائِضًا؟ قَالَتْ: كُلُّ شَيْءٍ اِلاَّ
اْلفَرْجَ. البخارى فى التاريخ
Dari
Masruq bin Al-Ajda’, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, “Apa yang boleh
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?”. Ia
menjawab, “Apasaja boleh, kecuali farjinya”.
[HR. Bukhari di dalam tarikhnya]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ص فِى الَّذِي يَأْتِى امْرَأَتَهُ
وَ هِيَ حَائِضٌ يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ اَوْ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ.
الجماعة
Dari
Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia
sedang haidl, yaitu, “Hendaknya ia memberi sedeqah dengan satu dinar, atau
dengan setengah dinar”.
[HR. Khamsah]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ فِى حَدِيْثٍ لَهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص
قَالَ لِلنِّسَاءِ: اَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ
الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا. اَ
لَيْسَ اِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ:
فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا. البخارى، مختصرا
Dari
Abu Sa’id Al-Khudriy (dalam satu hadits baginya), bahwa Nabi SAW bertanya kepada
orang-orang perempuan, “Bukankah kesaksian perepuan itu sama dengan separonya
kesaksian laki-laki ?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau SAW bersabda, “Demikian
itulah kekurangan agamanya”.
[HR. Bukhari, secara ringkas]
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ
اْلحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَ لاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ
يُصِيْبُنَا ذلِكَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص. فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَ لاَ
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. الجماعة
Dari
Mu’adz, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, yaitu “Mengapa perempuan yang
haidl itu menqadla puasa dan tidak menqadla shalat ?”. Lalu ia menjawab,
“Begitulah memang yang kami alami bersama Rasulullah SAW, yaitu kami
diperintahkan mengqadla puasa dan tidak diperintahkan mengqadla
shalat”.
[HR. Jama’ah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ. قَالَ
النَّبِيُّ ص: اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ اْلحَاجُّ غَيْرَ اَنْ لاَ تَطُوْفِى
بِاْلبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى. متفق عليه فى حديث طويل
Dari
‘Aisyah RA, tatkala kami sampai ke Sarif (suatu tempat + 10 mil dari
Madinah ke Makkah) saya berhadil. Maka Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah segala
yang dilakukan oleh orang yang berhajji, hanyasaja tidak boleh berthawaf di
Baitullah sehingga kamu suci”.
[HR.Muttafaq ‘alaih, dalam hadits yang panjang]
4.
Suami boleh menyetubuhi istrinya dalam keadaan istihadlah
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ
تُسْتَحَاضُ وَ كَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا. ابو داود
Dari
‘Ikrimah, dari Hamnah binti Jahsy, bahwa ia (pernah) beristihadlah, sedang
suaminya menyetubuhinya”.
[HR. Abu Dawud]
5.
Nifas
عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ اَبِى سَهْلٍ وَ اسْمُهُ
كَثِيْرُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مَسَّةَ اْلاَزْدِيَّةِ عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ:
كَانَتِ النِّسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
وَ كُنَّا نُطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا
النسائى
Dari
‘Ali bin ‘Abdil A’laa, dari Abu Sahal (namanya sendiri : Katsir bin Ziyad), dari
Massah Al-Azdiyah, dari Ummu Salamah ia berkata, “Adalah wanita-wanita nifas di
masa Rasulullah SAW tidak shalat selama 40 hari, dan kami memberikan pilis pada
wajah-wajah kami dengan warna merah tua yang terbua tdari daun
wars”.
[HR. Khamsah kecuali Nasai]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: كَانَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ
النَّبِيِّ ص تَقْعُدُ فِى اْلنِّفَاسِ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لاَ يَأْمُرُهَا
النَّبِيُّ ص بِقَضَاءِ صَلاَةِ النِّفَاسِ. ابو داود
Dari
Ummu Salamah, ia berkata : Adalah wanita-wanita dari istri-istri Nabi SAW,
mereka tidak shalat diwaktu nifas selama 40 hari, dan Nabi SAW tidak
memerintahkannya mengqadla shalat karena nifas”.
[HR. Abu Dawud]
Keterangan
:
Dalil-dalil
yang menunjukkkan batas waktu nifas 40 hari, satu sama lain saling kuat
menguatkan, sehingga sampai kepada tingkatan boleh dipakai dan diterima, dengan
40 hari itu menjadi suatu batas yang tertentu. Oleh karena itu perumpamaan nifas
wajib meninggalkan shalat 40 hari, kecuali jika ia melihat dieinya bersih
sebelum itu. Dan hukumnya nifas itu sama dengan haidl dan semua
hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar