A. PENDAHULUAN
Umat
Islam adalah umat yang satu (ummatan wahidah). Kesatuan umat ini dinyatakan
dengan ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Islam). Allah dan Rosul-Nya telah
mengajarkan hal ini melalui petunjuknya sebagaimana berikut:
Firman
Allah SWT :
اِنَّمَا اْلمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ. الحجرات:10.
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.
[QS. Al-Hujurat : 10]
.
التوبة:71 بَعْضٍ
أَوْلِيَاءُ بَعْضُهُمْ وَالْمُؤْمِنَاتُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Dan
orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain.
[QS. At-Taubah : 71]
Hadits Nabi
SAW:
مَثَلُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ
اْلجَسَدِ، اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ
بِالسَّهَرِ وَ اْلحُمَّى. احمد
و مسلم
Perumpamaan kaum
mukminin dalam saling mencintai, saling kasih-mengasihi, bantu-membantu seperti
satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya
merasa sakit, merasa demam dan tidak dapat tidur.
[HR. Ahmad, dan Muslim]
اْلمُسْلِمُ
اَخُو اْلمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَ لاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ
اَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ، وَ مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً
فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَ مَنْ
سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.
البخارى و مسلم
Seorang
muslim adalah saudara orang
muslim lainnya. Tidak boleh ia medhalimi dan tidak boleh membiarkan tidak
menolongnya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah
akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa melepaskan kesusahan saudaranya,
maka Allah akan melepaskan kesusahannya di hari qiyamat. Barangsiapa menutup
aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat
[HR. Bukhari dan Muslim].
Dengan
Firman Allah dan Hadits Nabi SAW tersebut mestinya mendorong umat Islam untuk
saling mencintai saudaranya, menyambung silaturahim dan saling menjaga
saudaranya.
Akan tetapi pada kenyataannya kita
sering menyaksikan umat Islam saling berselisih antara satu dengan yang
lainnya. Perselisihan ini menyebabkan umat islam saling bermusuhan dan
membenci, yang kadang-kadang sampai menimbulkan saling olok-mengolok, fitnah
memfitnah, bahkan saling serang antar umat Islam. Hal ini tentu saja sangat
bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya sebagaimana
tersebut di atas.
Perselisihan umat Islam sering terjadi
karena ketidakmampuan umat ini untuk menyikapi perbedaan pemahaman yang terjadi
dikalangan umat Islam. Perbedaan pemahaman yang bersifat furu’hiyah sudah lama terjadi dikalangan umat Islam, bahkan sejak
zaman sahabatpun sudah pernah terjadi perbedaan diantara para sahabat dalam
memahami perintah Nabi SAW. Demikian juga madzhab-madzhab fiqih yang berkembang
dikalangan umat Islam juga tidak luput dari adanya perbedaan-perbedaan. Dalam
menyikapi perbedaan ini para Imam madzhab dapat bersikap saling menghargai dan
menghormati diantara mereka. Namun seringkali di kalangan para pengikut madzhab
yang bersikap berlebih-lebihan dengan mewajibkan orang lain mengikuti madzhab
mereka dan menyalahkan orang yang tidak sefaham dengan mereka.
Oleh karena itu dalam makalah ini
dibahas secara singkat empat madzhab fiqih yang terkenal, yakni : Madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali agar dapat difahami dan disikapi dengan
benar sesuai tuntunan Allah swt dan Rasul-Nya.
MADZHAB
FIQH
1. Pengertian
Madzhab
Secara bahasa, kata madzhab (مذهب)
merupakan kata bentukan dari kata dasar dzahaba (ذهب)
yang artinya pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa
menjadi isim zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna:
الطريق
ومكان الذهاب وزمانه
Artinya: Jalan atau tempat untuk
pergi, atau waktu untuk pergi.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki
menyebutkan bahwa makna etimologis dari madzhab adalah :
محل
الذهاب كالطريق المحسوسة
Artinya:
Tempat untuk pergi, seperti jalanan secara fisik.
Adapun
makna madzhab secara istilah yang digunakan dalam ilmu fiqih, didefinisikan
sebgai:
ما ذهب إليه إمام من الأئمة في
الأحكام الإجتهادية
Artinya:
Pendapat yang diambil oleh seorang imam dari para imam dalam masalah yang
terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah.
Pendapat yang diambil oleh seorang imam ini kemudian diikuti
oleh muridnya dari generasi ke generasi, inilah yang kemudian dikenal sebagai
madzhab fiqih.
2. Riwayat Singkat Imam-imam Madzhab.
2.1. MADZHAB
HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)
a.
Riwayat Singkat
Imam Abu Hanifah (80 -150 H)
Imam
Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Kufah,
Iraq pada tahun 80 H. Ia hidup pada dua masa kekhalifahan yaitu Bani Umayyah
Abdul Malik bin Marwan dan Bani Abbasiah. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci,
lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi
perbuatan dosa dan keji.
Abu
Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai
an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang
bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V). Abu hanifah termasuk salah seorang tabi’in,
beliau bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya.
Imam
Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dari Hammad bin Abu Sulaiman selama 18 tahun.
Setelah gurunya wafat, maka penduduk Kufah menyerahkan persoalan fiqih dan
masalah-masalah yang mereka hadapi kepada Abu Hanifah. Pada tahun 130 H beliau
pergi ke Mekaah menetap untuk beberapa tahun, serta bertemu dengan murid Ibnu Abbas.
Imam Abu Hanifaf meninggal pada tahun 150 H di Baghdad.
b.
Pemikiran Madzhab Imam Hanafi
Madzhab
Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia dikenal
banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam
memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama
dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan.
Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai
berikut :
“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli
Kufah yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan.
Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni
apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas,
dan apabila qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya
dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas,
Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan
apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan
berbagai masalah. Alasannya ialah kaidah umum (qiyas) tidak bisa
diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas
apabila suatu hadist mereka nilai sebagai hadist ahad.
Yang menjadi pedoman
dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan madzhab Hanafi adalah :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah Nabi SAW
3) Ijma’ sahabat
4) Qiyas
5) Istihsan
6) ijma’ dan urf.
Berbagai pendapat Abu
Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain :
a. Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir yang
dibukukan oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
b. Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (w. 344 H)
c. Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan dianggap
sebagai kitab induk madzhab Hanafi ) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam
as-Sarakhsi
d. Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa
Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai
peletak dasar usul fiqh madzhab Hanafi
Madzhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat
dikenal dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih.
Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits.
Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka
beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya
di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah
dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup
di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari
dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
2.2. MADZHAB MALIKI
(IMAM MALIK)
a.
Rimayat Singkat
Imam Malik (93 – 179 H)
Imam
Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas ibn Abi Amir Al-Asbahi. Ia
lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah
salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia
tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan
mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar.
Imam
Malik belajar agama dari ulama-ulama Madinah, diantaranya adalah: Nafi’ maula
Ibnu Umar, Ibnu Syahab az Zuhri, Rabi’ah dan lainnya. Kecintaannya terhadap
ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Diantara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan,
Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin
Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al
Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as
Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain. Imam
Malik meninggal di Madinah tahun 179 H pada usia 86 tahun.
b.
Pemikiran Madzhab
Imam Maliki
Imam
Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih madzhab Maliki tersebut dalam empat
hal, yaitu :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah Nabi SAW
3) Amal penduduk madinah
4) Qiyas
Alasannya : menurut
imam Maliki, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya
merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas
jarang sekali digunakan madzhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan
tradisi penduduk Madinah daripada qiyas. Kitab yang disusun oleh imam
Malik berjudul al-Muwaththa’.
2.3. MADZHAB SYAFI’I
(IMAM SYAFI’I)
a. Riwayat Singkat Imam Syafi’I (150 –
203 H)
Imam
Syafi’I bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ustman bin Syafi bin
as-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthalib bin ‘Abd
Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H, berasal dari keturunan
bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis
keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Kecerdasan
Imam Syafi’I telah terlihat ketika berusia 7 tahun. Saat itu ia telah menghafal
seluruh ayat al-Qur’an dengan lancar. Imam Syafi’I menekuni bahasa Arab di
Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan
belajar fiqih kepad Imam Muslim bin Khalid Azzanni yang juga mufti kota
Mekah pada saat itu. Selanjutnya Beliau
belajar kepada Imam malik di Madinah setelah beliau menghafal kitab Al Muwatho’
karangan Imam Malik. Kemudian beliau ke Irak bertemu dan menimba ilmu kepada murid
Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Hasan. Di Irak inilah pendapat-pendapat
beliau yang dikenal dengan Qaul Qodim. Selanjutnya beliau pindah ke Mesir pada
tahin 198 H. Ketika pindah ke Mesir ini beliau menyusun pendapat yang baru yang
dikenal dengan Qaul Jadid. Beliau meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Meskipun ia menguasai hampir seluruh
disiplin ilmu tetapi Imam Syafi’I lebih dikenal sebagai ahli hadist dan hukum
karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Ia meninggal
dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir dan mengembangkan madzhabnya dengan
jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang kitab ar-Risalah (dalam
ushul fiqh) dan beberapa kitab lainnya.
b.
Pemikiran Madzhab
Imam Syafi’i
Keunggulan
Imam Syafi’I sebagai ulama fiqih dan hadist pada zamannya diakui sendiri oleh
ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan
antara aliran Ahlulhadist dan Ahlurra’yi, Imam Syafi’I berupaya
untuk mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam
Maliki sebagai tokoh Ahlulhadist dan Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Dalam penetapan hukum
Islam, Imam Syafi’I menggunakan :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah Rasulullah SAW
3) Ijma’ 4) Qiyas
Imam Syafi’I menolak istihsan
sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’.
Penyebarluasan pemikiran madzhab Syafi’I diawali melalui kitab ushul fiqhnya
ar-Risalah dan kitab fiqihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H/846
M) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264
H/878 M), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
2.4. MADZHAB
HANBALI ( IMAM AHMAD BIN HANBALI)
a. Riwayat Singkat Imam Hanbali (164 -241
H)
Imam
Hanbali bernama Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, lahir di Mirwa
(Baghdad) pada tahun 164 H . Nasabnya
bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh
ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia pada masa muda, pada usia 16 tahun,
keinginannya yang besar membuatnya belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama
lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu
hadist tak diragukan lagi, putera sulungnya yakni, Abdullah bin Ahmad
mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadist di luar kepala. Hadist
sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam
kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadist berdasarkan susunan nama
sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak tokoh
ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadist
terkenal semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ahmad bin Hanbal meninggal pada
tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.
b. Pemikiran Madzhab Imam Hanbali
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqih. Imam Syafi’i
berkata, ”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang
yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Bin Hanbal,”
Di antara murid Imam Ahmad adalah putra-putra beliau yakni Shalih
bin Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih
menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadist. Murid yang lain
adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad ,
Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , dan Abul Qasim.
Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip dasar Madzhab
Hanbali adalah sebagai berikut:
1. An-Nusus (jamak dari nash),
yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
2. Fatwa Sahabat;
Jika terdapat perbedaan pendapat para
sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang
lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW;
4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung
oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’;
5. Apabila dalam keempat dalil di atas
tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam
Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab
Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad bin Hanbal.
Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali generasi berikutnya, madzhab ini
juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para
pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal)
diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani
al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275
H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali
al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab
Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing
menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hanbali di atas.
Tokoh
lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hanbali
adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini
tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka
dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali. Disamping itu, jasa
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hanbali
juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hanbali menjadi madzhab resmi
Kerajaan Arab Saudi.
Berdasarkan riwayat di atas dapat
dilihat bahwa imam madzhab yang pertama (Imam Abu Hanifah) berjarak 69
tahun dari wafat Nabi SAW yakni tahun 11
H, Imam Malik hidup sezaman dengan Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, tetapi Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad tidak sezaman dengan Imam Abu Hanifah.
3. Perbedaan
Pendapat Imam Madzhab
Perbedaan pendapat di
antara imam Madzhab dalam satu masalah fiqh sangat banyak, berikut ini
diberikan beberapa contoh perbedaan tersebut.
a. Mengusap kepala dalam wudlu
n Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad
berpendapat satu kali,
n Imam Syafi’i berpendapat tiga kali.
b. Menyentuh Kemaluan setelah wudlu
n Imam Abu Hanifah berpendapat tidak
membatalkan wudlu secara mutlak.
n Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat membatalkan wudlu secara mutlak.
n Imam Ahmad berpendapat tidak wajib
wudlu hanya disunahkan.
c. Menyentuh wanita tanpa pembatas
n Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu
secara mutlak.
n Imam Abu Hanifah berpendapat tidak
batal wudlu secara mutlak.
n Imam Malik dan Ahmad berpendapat batal
wudlu jika diiringi syahwat.
d. Duduk dalam sholat
n Imam Abu Hanifah: duduk iftirosy baik
untuk tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
n Imam Malik : duduk tawaruk baik untuk
tasyahud awal maupun tasyahun akhir.
n Imam Syafi’i: duduk iftirosy untuk
tasyahud awal dan duduk tawaruk untuk tasyahud akhir.
n Imam Ahmad: duduk iftirosy untuk
shalat yang 2 rekaat, dan seperti madzhab Syafi’i untuk sholat yang 3 atau 4
rekaat.
e. Sholat jamaah bagi laki-laki
n Imam Ahmad berpendapat fardlu ‘ain
kecuali bila ada udzur.
n Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik
berpendapat tidak fardlu ‘ain.
f. Tentang Katak
n Imam Malik mengatakan boleh dimakan.
n Imam Ahmad mengatakan tidak boleh
dimakan
g. Tentang Kuda
n Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan kuda
itu halal.
n Imam Malik mengatakan kuda itu makruh.
n Imam Abu Hanifah mengatakan kuda itu
haram.
Dan masih banyak lagi
perbedahan perbedaan pendapat diantara imam madzhab dalam masalah fiqh. Perbedaan
pendapat diantara imam madzhab tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain :
1.
Adakalanya
seorang Imam tidak mendapatkan sesuatu hadits tentang suatu masalah, maka
beliau menggunakan qiyas atau fikiran, sedangkan imam yang lain mendapatkan
hadits dalam masalah tersebut.
2. Adakalanya seorang Imam mengeluarkan
pendapatmya dari suatu hadits atau riwayat yang dianggapnya shahih, padahal bagi
yang lain hadits itu dianggap tidak
shahih.
3. Ada juga para imam itu tidak
mendapatkan suatu hadits untuk suatu masalah sehingga masing-masing menggunakan
qiyas atau fikiran, sedang dikemudian hari orang mendapatkan hadits itu.
4.
Pemikiran
para imam dalam menimbang suatu masalah berbeda, sehingga keputusannyapun
berbeda.
B. Wajibkah
Umat Islam Mengikut Satu Madzhab Tertentu?
Sering
kali orang menanyakan madzhab yang dianut oleh orang lain, bahkan kadang-kadang
ditekankan bahwa wajib untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Di dalam
Agama Islam tidak ada satupun dalil dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengikuti
salah satu madzhab tertentu. Umat Islam hanya diperintahkan untuk mengikuti
kebenaran, sedangkan kebenaran hanya terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi
SAW. Perhatikan petunjuk-petunjuk Allah SWT sebagai berikut:
Firman Allah SWT:
تَذَكَّرُونَ مَا قَلِيلا أَوْلِيَاءَ دُونِهِ مِنْ تَتَّبِعُوا وَلا رَبِّكُمْ مِنْ
إِلَيْكُمْ أُنْزِلَ مَا اتَّبِعُوا
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya). (QS Al A’raf : 3)
Yang dimaksud dengan
apa yang diturunkan kepadamu adalah Al Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang
menjelaskan isi Al Qur’an tersebut, bukan pendapat orang.
بَغْتَةً الْعَذَابُ يَأْتِيَكُمُ أَنْ قَبْلِ مِنْ
رَبِّكُمْ مِنْ إِلَيْكُمْ أُنْزِلَ أَحْسَنَ مَا وَاتَّبِعُوا
تَشْعُرُونَ لا وَأَنْتُمْ
“ Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya,” (QS Az Zumar 55)
Tidak
diragukan lagi bahwa Al Qur’an adalah sebaik-baik apa yang Allah turunkan
kepada kita, dan sunnah Nabi SAW menjelaskan isi kandungan Al Qur’an tersebut.
Dalam ayat tersebut Allah mengancam orang-orang yang enggan mengikuti Al Qur’an
dengan azab yang datang dengan tiba-tiba.
سَبِيلِهِ عَنْ بِكُمْ فَتَفَرَّقَ السُّبُلَ
تَتَّبِعُوا وَلا فَاتَّبِعُوهُ مُسْتَقِيمًا صِرَاطِي هَذَا وَأَنَّ تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ
بِهِ وَصَّاكُمْ ذَلِكُمْ
“ dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS Al An’am 153).
Jalan Allah
SWT yang lurus adalah Al Qur’an, maka Allah SWT perintahkan manusia supaya
mengikuti Al Qur’an jangan mengikuti jalan-jalan selain Al Qur’an, karena hanya
dengan mengikuti Al Qur’an maka orang dapat menjadi bertakwa.
الآخِرَ وَالْيَوْمَ اللَّهَ يَرْجُو كَانَ
لِمَنْ حَسَنَةٌ أُسْوَةٌ اللَّهِ رَسُولِ فِي لَكُمْ كَانَ لَقَدْ
كَثِيرًا اللَّهَ وَذَكَرَ
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab : 21)
Suri
teladan bagi orang yang beriman adalah Rasulullah SAW, meneladani rasulullah
berarti mengikuti sunnah-sunnah beliau.
رَحِيمٌ غَفُورٌ وَاللَّهُ ذُنُوبَكُمْ
لَكُمْ وَيَغْفِرْ اللَّهُ يُحْبِبْكُمُ فَاتَّبِعُونِي اللَّهَ تُحِبُّونَ كُنْتُمْ
إِنْ قُلْ
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron 31)
Jalan untuk memperoleh
kasih sayang dan ampunan Allah SWT adalah dengan mencintai-Nya, untuk dapat
mencintai Allah SWT maka umat Islam harus mentaati dan mengikuti petunjuk
Rasulullah SAW.
حَفِيظًا عَلَيْهِمْ أَرْسَلْنَاكَ فَمَا
تَوَلَّى وَمَنْ اللَّهَ أَطَاعَ فَقَدْ الرَّسُولَ يُطِعِ مَنْ
“ Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS An Nisa : 80)
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa barangsiapa mentaati Rasulullah SAW berarti dia
mentaati Allah SWT. Ketaatan kepada Beliau mengandung arti mengkaji mempelajari
dan mengamalkan sunnah-sunnah beliau.
تَنَازَعْتُمْ فَإِنْ مِنْكُمْ الأمْرِ
وَأُولِي الرَّسُولَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ أَطِيعُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
خَيْرٌ ذَلِكَ الآخِرِ وَالْيَوْمِ بِاللَّهِ تُؤْمِنُونَ كُنْتُمْ إِنْ وَالرَّسُولِ
اللَّهِ إِلَى فَرُدُّوهُ شَيْءٍ فِي تَأْوِيلا وَأَحْسَنُ
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa 59).
Ayat
tersebut mengandung perintah kepada orang beriman untuk merujukkan segala
perbedaan pendapat kepada Allah dan kepada Rasul, yakni kepada Al Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW.
Sabda Nabi
SAW:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ نَبِيّهِ. مالك
Aku
tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
[HR. Maalik]
دُوْرُوْا مَعَ كِتَابِ اللهِ حَيْثُمَا دَارَ.
الحاكم
Beredarlah kamu mengikuti Al-Qur’an ke mana saja
Al-Qur’an beredar. [HR. Hakim]
Dua hadits
tersebut memberi pentunjuk bahwa umat Islam harus senantiasa mengikuti Al
Qur’an dan Sunnah Nabi SAW agar tidak tersesat dalam menenpuh kehidupan di
dunia dan memperoleh keselamatan di Akhirat kelak.
Memperhatikan ayat-ayat dan hadits
di atas dapat disimpulkan bahwa mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah dengan
beramal sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sehingga menjadi kewajiban
bagi tiap muslim untuk senantiasa merenungkan Al Qur’an, mempelajari, memahami,
dan mengamalkan apa saja yang diketahuinya dari firman Allah tersebut dengan
ilmu yang benar, baik sedikit maupun banyak.
Oleh karena itu umat Islam tidak
diwajibkan mengikuti pendapat seseorang dalam beramal, melainkan wajib
mengikuti Al Qur’an dan Sunnah, Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa
tidak wajib bagi umat Islam untuk bertaqlid kepada seorang ulama dalam setiap
pendapatnya dan tidak wajib mengikatkan diri dengan salah satu madzhab. Umat
Islam hanya boleh mengikatkan diri dengan apa yang dikatakan oleh Rasul, bukan
selainnya. Beliau berdalil dengan firman Allah dalam QS an Nisa ayat 59 di
atas.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Taimiyyah tersebut sejalan dengan apa yang dipesankan oleh Imam-Imam Madzhab
sebagaimana pesan-pesan beliau sebagai berikut:
1.
Perkataan Imam Abu
Hanifah
اُتــْرُكُوْا قَوْلــِى لِقَوْلِ اللهِ وَ رَسُوْلــِهِ
وَ الصَّحَابَةِ
Tinggalkanlah
perkataan (pendapatku) yang berlawanan dengan firman Allah dan Sabda Rasul-Nya
dan perkataan shahabat.
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِـيـْلِى اَنْ يُفْتِيَ كَلاَمِى
Haram
atas orang yang belum mengetahui dalil (alasan) fatwaku untuk berfatwa dengan
perkataanku
اِنَّهُ قِيْلَ ِلاَبِى
حَنِيْفَةَ: اِذَا قُلْتَ قَوْلاً وَ كِـتَابُ اللهِ يُخَالِفُهُ ؟ قَالَ:
اُتْرُكُـوْا قَوْلــِى بِكِـتَابِ اللهِ. فَقِيْلَ لَهُ: اِذَا كَانَ خَبَرُ
الرَّسُوْلِ يُخَالِفُهُ ؟ قَالَ: اُتْرُكُوْا قَوْلــِى بِخَبَرِ الرَّسُوْلِ ص.
فَقِيْلَ لَهُ: اِذَا كَانَ قَوْلُ الصَّحَابِيِّ يُخَالِفُهُ ؟ قَالَ:
اُتْرُكُوْا قَوْلــِى بِقَوْلِ الصَّحَابِيِّ.
Bahwasanya Imam Abu Hanifah pernah ditanya :
"Bagaimana apabila engkau mengatakan suatu pendapat, sedangkan Kitab Allah
menyalahkannya ?" Beliau menjawab : "Tinggalkanlah pendapatku dan
ikutilah Kitab Allah". Lalu beliau ditanya lagi : "Bagaimana kalau
hadits Rasulullah SAW menyalahkannya ?" Beliau menjawab: 'Tinggalkanlah
pendapatku dan ikutilah hadits Rasulullah SAW ?" Dan beliau ditanya lagi :
"Bagaimana kalau perkataan shahabat menyalahkannya ?". Beliau
menjawab : "Tinggalkanlah pendapatku dan ikutilah perkataan shahabat itu''.
اِنْ كَانَ قَوْلــِى يُخَالِفُ
كِـتَابَ اللهِ وَ خَبَرَ الرَّسُوْلِ فَاتْرُكُوْا قَوْلــِى.
Jika
pendapatku menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah
pendapatku itu.
Dan beliau (Imam Abu Hanifah) apabila memberi fatwa
tentang suatu perkara, mengatakan :
هذَا رَأْيُ النُّعْمَانِ بـْنِ
ثَابِتٍ وَ هُوَ اَحْسَنُ مَا قَدَّرْنَا عَلَـيْهِ. فَمَنْ جَاءَ بِأَحْسَنَ
مِنْهُ فَهُوَ اَوْلَى بِالصَّوَابِ.
Ini
pendapat An-Nu'man bin Tsabit (Imam Abu Hanifah), dan ini sebaik-baik yang
telah kami pertimbangkan. Barang siapa yang datang dengan membawa yang lebih
baik dari padanya, maka itulah yang lebih pantas dengan kebenaran.
Perkataan-perkataan
Imam Abu Hanifah di atas jelas memberikan pengertian kepada kita bahwa beliau
tidak suka dan melarang ummat Islam bertaqlid kepada pendapat (madzhab) beliau.
2.
Perkataan Imam
Malik
اِنَّمَا اَنــَا بَشَرٌ
اُخْطِئُ وَ اُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُـلُّ مَا وَافَقَ اْلكِتَابَ
وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَ كُـلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ اْلكِتَابَ وَ السُّنَّةَ
فَاتْرُكُوْهُ.
Aku ini hanya seorang manusia yang boleh jadi salah, dan
boleh jadi betul. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Tiap-tiap yang
cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, ambillah dia dan tiap-tiap yang tidak
cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah.
كُلُّ اَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ
كَلاَمِهِ وَيـُرَدُّ عَلَـيْهِ اِلاَّ صَاحِبَ هذَا اْلقَبْرِ. وَ يُشِيْرُ اِلَى
الرَّوْضَةِ الشَّرِيْفَةِ. وَ فِى رِوَايَةٍ: كُلُّ كَلاَمٍ مِنْهُ مَقْبُوْلٌ وَ
مَرْدُوْدٌ اِلاَّ كَلاَمَ صَاحِبِ هذَا اْلقَبْرِ.
Setiap orang boleh diambil perkataannya dan boleh pula
ditolak, kecuali perkataanpenghuni qubur ini (beliau sambil menunjuk kearah
makam yang mulia (makam Nabi SAW). Dan dalam riwayat lain : "Semua
perkataan orang itu boleh diterima dan boleh ditolak, kecuali perkataan
penghuni qubur ini".
اِنَّمَا اَنــَا بَشَرٌ اُخْطِئُ
وَ اُصِيْبُ فَاَعْرِضُوْا قَوْلــِى عَلَى اْلكِتَابِ وَ السُّنَّةِ
Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, yang boleh jadi
benar dan boleh jadi salah, maka dari itu bandingkanlah pendapatku itu kepada
kitab dan sunnah.
لَــيْسَ كُـلَّمَا قَالَ رَجُلٌ
قَوْلاً وَ اِنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ يُتْبَعُ عَلَـيْهِ.
Tidak setiap pendapat yang dikatakan oleh seseorang itu
harus diikut, walaupun dia mempunyai kelebihan.
Beliau
pernah berpesan kepada Ibnu Wahab, katanya :
يَا عَبْدَ اللهِ، مَا عَلِمْتَهُ
فَقُلْ بِهِ وَ دُلَّ عَلَـيْهِ. وَمَا لَمْ تَعْلَمْ فَاسْكُتْ عَنْهُ. وَ
اِيـَّاكَ اَنْ تُقَلِّدَ النَّاسَ قِلاَدَةَ سُوْءٍ.
Wahai
Abdullah, apa-apa yang telah kau ketahui, maka katakanlah dengannya dan
tunjukkanlah dasarnya, dan apa-apa yang engkau belum mengetahuinya, maka
hendaklah engkau diam darinya, dan jauhkanlah dirimu dari bertaqlid kepada
orang dengan taqlid yang buruk.
Perkataan-perkataan
Imam Malik di atas, jelas menunjukkan bahwa orang beragama itu jangan bertaqlid
saja kepada pendapat orang, termasuk bertaqlid kepada pendapat beliau sendiri,
karena beliau itupun manusia biasa yang fatwa atau pendapatnya bisa juga benar,
dan bisa juga salah. Tetapi hendaknya mengikut kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.
3.
Perkataan Imam
Syafi’i
لاَ قَوْلَ ِلاَحَدٍ مَعَ سُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ ص.
Tidak boleh diterima perkataan seseorang jika berlawanan
dengan sunnah Rasulullah SAW.
اِذَا صَحَّ اْلحَدِيْثُ فَهُوَ
مَذْهَبِى.
Apabila telah shah satu hadits, maka itulah madzhabku.
اِذَا صَحَّ خَبَرٌ يُخَالِفُ
مَذْهَبِى فَاتَّبِعُوْهُ وَاعْلَمُوْا اَنــَّهُ مَذْهَبِى.
Apabila sah khabar dari Nabi SAW yang menyalahi
madzhabku, maka ikutlah khabar itu, dan ketahuilah bahwa itulah madzhabku.
كُـلُّ مَسْأَلــَةٍ تَكَــلَّمْتُ
فِيْهَا صَحَّ اْلخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ ص عِنْدَ اَهْلِ النَّقْلِ
بِخِلاَفِ مَا قُـلْتُ، فَاَنــَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَ بَعْدَ
مَمَاتِى.
Tiap-tiap masalah yang pernah saya bicarakan, kemudian
ada hadits yang riwayatnya sah dari Rasulullah SAW dalam masalah itu di sisi
ahli hadits dan menyalahi fatwaku, maka aku ruju' (tarik kembali) dari fatwaku
itu diwaktu aku masih hidup maupun sesudah mati.
اِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِـتَابِى
خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَقُوْلُـوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
Apabila kalian dapati di dalam kitabku sesuatu yang menyalahi
sunnah Rasulullah SAW, maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rasulullah
SAW (dan tinggalkanlah perkataanku).
اِذَا وَجَدْتُمْ قَوْلـِى يُخَالِفُ
قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاضْرِبُـوْا بِقَوْلــِى عُرْضَ اْلحَائِطِ.
Apabila kalian mendapati pendapatku menyalahi perkataan
Rasulullah SAW, maka lemparkanlah pendapatku ketepi dinding.
مَا قُلْتُ وَكَانَ النَّبِيُّ ص قَدْ
قَالَ بِخِلاَفِ قَوْلــِى فَمَا صَحَّ مِنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ ص اَوْلَى وَ لاَ تُقَلِّدُوْنــِى.
Apasaja yang telah aku katakan, apabila Nabi SAW telah
mengatakan dengan menyalahi perkataanku, maka apa yang telah shah dari hadits
Nabi SAW itulah yang lebih pantas (untuk diambil), dan janganlah kalian
bertaqlid kepadaku.
اِذَا صَحَّ اْلحَدِيْثُ عَلَى
خِلاَفِ قَوْلـــِى فَاضْرِبُوْا قَوْلــِى بِاْلحَائِطِ وَاعْمَلُوْا
بِاْلحَدِيْثِ الضَّابِطِ.
Apabila telah sah suatu hadits dan menyalahi pendapatku,
maka buanglah pendapatku ke arah dinding, dan amalkanlah olehmu dengan hadits
yang kokoh kuat itu.
كُلُّ شَيْئٍ خَالَفَ اَمْرَ رَسُوْلِ
اللهِ ص سَقَطَ، وَلاَ يَقُوْمُ مَعَهُ رَأْيٌ وَلاَ قِيَاسٌ
Tiap-tiap
sesuatu yang menyalahi perintah Rasulullah SAW jatuhlah ia, dan tidak bisa
digunakan bersamanya pendapat dan tidak pula qiyas.
Kata Imam Syafi'i kepada Abu Ishaq :
يـَا اَبـَا اِسْحَاقَ لاَ
تُـقَـلّـِدْنِى فِى كُلِّ مَا اَقُوْلُ وَ انْظُرْ فِى ذَالِكَ لـِنَـفْسِكَ
فَاِنَّهُ دِيْـنٌ.
Hai
Abu Ishaq, janganlah kamu bertaqlid kepadaku pada setiap apa yang aku katakan,
dan perhatikanlah yang demikian itu untuk dirimu, karena ia itu agama.
Perkataan-perkataan
Imam Syafi'i di atas adalah jelas melarang orang bertaqlid kepada madzhab
beliau, dan memerintahkan supaya orang beragama itu mengikut kepada kitab Allah
dan sunnah Nabi SAW.
4.
Perkataan Imam
Ahmad bin Hanbal
لاَ تُـقَـلِّدْنِى وَ لاَ مَالِكًا
وَ لاَ الشَّافِعِيَّ وَ لاَ اْلاَوْزَاعِيَّ وَ لاَ الثَّوْرِيَّ وَ خُذْ مِنْ
حَيْثُ اَخَذُوْا.
Jangan engkau bertaqlid kepadaku, jangan kepada Malik,
jangan kepada Syafi'i dan jangan kepada Al-Auza'i dan jangan kepada Ats-Tsauri,
tetapi ambillah (agamamu) dari tempat mereka mengambilnya (yaitu Al-Qur'an dan
Hadits).
مِنْ قِلَّةِ فِقْهِ الرَّجُلِ اَنْ
يُـقَـلِّـدَ دِيْـنَهُ الرِّجَالَ.
Diantara tanda sedikitnya pengertian seseorang itu ialah
bertaqlid kepada orang lain tentang urusan agama.
لاَ تُـقَـلِّـدْ دِيـْنَكَ اَحَدًا.
Janganlah engkau bertaqlid terhadap seseorang tentang
agamamu.
لاَ تُـقَـلِّـدْ دِيـْنَكَ اَحَدًا
مِنْ هؤُلاَءِ. مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ وَ اَصْحَابِهِ فَخُذْ بِهِ.
Janganlah kamu bertaqlid tentang agamamu kepada
seseorang di antara mereka (para ulama),
tetapi apa yang datang dari Nabi SAW dan shahabatnya, maka ambillah dia.
اُنــْظُرُوْا فِى اَمْرِ
دِيـْنِكُمْ. فَاِنَّ التَّـقْـلِــيْدَ لِغَيْرِ اْلمَعْصُوْمِ مَذْمُوْمٌ وَ
فـِيْهِ عُمْيٌ لِلْبَصِيْرَةِ
Hendaklah kamu memperhatikan tentang urusan agamamu,
karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak ma'shum itu tercela, dan
padanya ada kebutaan bagi kecerdikan pandangan.
لاَ تُقَلِّدْ دِيْـنَكَ الرِّجَالَ.
فَإِنَّـهُمْ لَمْ يَسْلَمُوْا اَنْ يَغْلُطُوْا.
Janganlah
kamu bertaqlid kepada orang-orang tentang agamamu, karena sesungguhnya mereka
itu tidak terjamin dari kesalahan.
Perkataan-perkataan
Imam Ahmad bin Hanbal di atas jelas melarang orang-orang untuk bertaqlid, baik
bertaqlid kepada madzhab beliau sendiri maupun kepada imam-imam atau
ulama-ulama yang lain.
Itulah antara lain ucapan-ucapan dari beliau-beliau para
imam itu, dengan jujur melarang siapa saja untuk mengikuti pendapat/madzhab
mereka.Dan masih banyak pula ucapan-ucapan dan pesan-pesan beliau-beliau itu
yang lain, dan semuanya melarang siapa saja, kapan saja dan dimana saja menurut
secara buta pendapat mereka, tetapi hendaknya dalam beragama ini selalu
mengikuti sumber agama yang asli, yakni Al-Qur'an dan Sunnah.
Dengan demikian pendapat orang yang mengatakan; wajib
orang Islam itu mengikuti salah satu madzhab dan menganggap bahwa orang yang
tidak bermadzhab itu seolah-olah sesat, berdosa dan sebagainya, adalah
nyata-nyata menyalahi Al-Qur'an, menyalahi sabda-sabda Nabi SAW. dan menyalahi
pula pesan dan perkataan atau pendapat para Imam Rahimahumullah itu sendiri.
Dan sudah sama dimaklumi dan diyaqini bahwa
shahabat-shahabat Nabi dan orang-orang yang lahir sebelum lahirnya para imam
itu tidak ada seorangpun yang bermadzhab, bahkan sama sekali tidak mengenalnya.
Demikian juga Imam Malik tidak bermadzhab Hanafi, Imam Syafi'i tidak
bermadzhab Maliki atau Hanafi, begitu
pula, Imam Ahmad bin Hanbal tidak bermadzhab Hanafi atau Syafi'i atau Maliki.
C.
PENUTUP
Imam-Imam
madzhab Fiqih adalah orang-orang ‘alim yang telah mencurahkan tenaga dan
fikirannya untuk menggali masalah-masalah agama menurut Al Qur’an dan sunnah
Nabi SAW. Umat Islam mencintai mereka, menghormati, memuliakan dan memberikan
pujian untuk mereka karena kedalaman ilmu dan ketakwaan serta keteguhan mereka
dalam mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Kecintaan umat terhadap para
Imam seyogyanya tidak menjadikan umat Islam ini menjadi umat yang taklid atau
fanatik buta terhadap madzhab tertentu sebagaimana pesan-pesan para Imam-imam
madzhab, tetapi semakin mendorong umat ini untuk mengikuti jejak para imam yang
senantiasa mengkaji, mempelajari dan mengamalkan Al Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Wallahu’alam bish
shawab.
D.
Referensi
1.
Al Qur’an dan terjemahannya, Depag
RI
2.
Kumpulan Brosur Ahad Pagi tahun
1996, MTA, Surakarta
3.
Shahih Fiqih Sunnah jilid 1, Abu
Malik Kamal bin As Sayid Salim, Pustaka At Tazkia, Jakarta, 2006
4.
http:\\www. Abufurqon.com\Mengkaji Posisi Madzhab
Fiqih dalam Peradaban Keilmuan Islam, Dulu dan Sekarang
5.
http:\\
punyasuhanda.blogspot.com\Pemikiran Empat Mazhab Fikih.